MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009

A. Perspektif


Ibadah merupakan suatu aktifitas agama yang dikemas sedemikian rupa sehingga tampak kesakralannya. Kesakralan itu dikemas melalui suatu tata liturgi, sehingga umat yang beribadah masuk dalam situasi yang khusuk, beralih dari dunianya, dari aktifitas kesehariannya, dan merasakan ‘kehadiran Tuhan’ (God Presence) di dalam ibadah itu.

Pengertian lain memahamkan ibadah sebagai aktifitas pelayanan dalam ruang sosial, melalui serangkaian perbuatan baik, atau pekerjaan baik yang mendatangkan keadilan, kebenaran, kesejahteraan kepada orang lain/sesama.

Ketika digunakan dalam lingkungan ritus agama, ibadah lalu dibawa masuk ke dalam hubungan antara Tuhan dengan umat. Bentuk relasi sosial tadi diubah menjadi suatu relasi ritual yang terkadang mistis. Karena itu aspek pelayanan dimengerti sebagai pelayanan ritual.

Aspek ekspresi umat sebetulnya yang menjadi hal penting dalam liturgi. Ekspresi yang muncul sebagai cara umat meresponi Tuhan yang telah menyatakan diri dan hadir di dalam kehidupan mereka.

Orang-orang Yahudi lebih suka memahami tindakan itu sebagai ‘abodah’ yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘wor[k]ship’. Kedua istilah itu menunjuk pada ada suatu sistem yang teratur di dalam tindakan melayani. Artinya sebuah realitas pelayanan itu tidak dilakukan secara serampangan, tanpa aturan dan tanpa tujuan. Ada aspek ‘kerja’ yang diatur melalui suatu sistem kerja agar dapat berjalan secara tertib dan terarah kepada tujuan.

Orang-orang Yunani memahamkannya dari apa yang disebut ‘latreia’, atau ‘leitourgea’.
Referensi dalam bahasa Inggris pun menterjemahkan kata itu sebagai ‘wor[k]ship’. Tentu dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan ‘abodah’. Tetapi istilah Yunani ini lebih menjurus pada pelayanan praksis, dalam hal ini ‘membantu orang lain [miskin]’.

Apa istilah kita di Indonesia yang cocok untuk menampung falsafah pelayanan seperti itu? Ibadah? Agaknya istilah ini cenderung pada suatu aktifitas ritual an-sich, sehingga orang terkesan terbawa masuk ke dalam suatu lingkungan ‘mistis’ yang memiliki gap dengan lingkungan sosialnya. Ini tentu beralasan, sebab orang telah memisahkan lingkungan ibadah sebagai yang sakral dengan lingkungan sosial sebagai yang profan. Demikian pun kerja di dalam lingkungan ibadah itu mulia, dan lainnya tidak/kurang mulia.

Saya kira istilah ‘ke-bakti-an’ cukup penting untuk menggambarkan realitas pelayanan seperti dimaksudkan dalam falsafah ‘abodah’ dan ‘latreia’ itu. Dalam istilah itu ada dimensi aktifitas yang riil. Ini bisa menjadi spirit yang membantu orang memaknai tanggung jawabnya di dalam dunia nyata, dalam relasi dengan orang lain. Bahkan dengan begitu ‘tata kebaktian’ pun diharapkan memberi ruang bagi terwujudnya interaksi antarumat.

Liturgi juga bermakna teknis, yaitu ‘tata ibadah’. Bentuk pemahaman ini yang selama ini dipahami warga gereja. Ketika menyebut liturgi, warga gereja akan terfokus pada formulir tata ibadah [di GPM telah dibukukan].

Pengertian teknikus ini memperlihatkan bahwa liturgi itu disusun dan perlu ada untuk mengarahkan jalannya ibadah, terutama mengarahkan pola-pola respons umat terhadap Tuhan yang telah menyapa mereka. Liturgi ada ada supaya suatu ibadah dapat berjalan dengan tertib/teratur.

B. Unsur-unsur dalam Liturgi
Ada banyak teori mengenai unsur-unsur liturgi (baca. Abineno). Bahkan dalam Tata Ibadah GPM, kita bisa melihat beragam unsur, antara Model A-F (Liturgi lama) atau Minggi I-V (Liturgi baru yang sedang disosialisasi). Demikian pun tata ibadah Wadah Pelayanan, Unit/Sektor. Unsur-unsur itu dinamai secara beragam dan ada unsur tertentu yang tidak ada dalam suatu model tertentu.

Terlepas dari semua variasi itu, ada tujuh unsur pokok di dalam liturgi, yaitu [1] Votum; [2] Pengakuan Dosa, Pengampunan Dosa dan Petunjuk Hidup Baru; [3] Pemberitaan Firman; [4] Respons dan Jawaban umat, dalam bentuk [4.1] Pengakuan Iman; dan [4.2] Persembahan Syukur; [5] Doa Syafaat; dan [6] Pengutusan dan Berkat.

Setiap unsur dikembangkan di dalam setiap liturgi di semua kalangan kristen, hanya dengan metode dan pola pengembangan yang tentu berbeda pada masing-masingnya.

Saya tidak membahas kebedaan itu, karena yang penting adalah apa makna dari setiap unsur itu. Pengembangannya dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan pola liturgi apa pun yang dikreasikannya.

[1] Votum, adalah proklamasi yang menandai bahwa Tuhan telah masuk ke dalam Ibadah, dan melandasi ibadah itu. Artinya ibadah adalah perintah Tuhan kepada umat, sehingga melaluinya umat berjumpa dengan Tuhan. Secara formulatif, proklamasi itu berbunyi ‘Ibadah ini berlangsung dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus’. Dengan demikian Votum bukanlah doa permulaan ibadah.

[2] Pengakuan Dosa, Berita Anugerah Pengampunan Dosa dan Petunjuk Hidup Baru. Setiap manusia yang beribadah adalah orang berdosa. Di dalam ibadah ia akan mengalami suatu anugerah pengampunan dosa, setelah ia mengakui dosanya. Pengampunan dosa akan diikuti oleh petunjuk hidup yang baru, agar umat hidup sesuai dengan firman dan kehendak Tuhan, dan tidak melakukan dosa yang sama itu lagi. Pengakuan dosa berarti manusia merendahkan diri di hadapan hadirat Allah yang kudus, lalu memohonkan anugerah dan Allah memberi perintah yang baru untuk dilakukan.

[3] Pemberitaan Firman. Ibadah protestan berpusat pada pemberitaan Firman (bnd, konsep sola scriptura). Artinya Tuhan yang menyapa umat dalam ibadah adalah Tuhan yang memberi firman kepada mereka. Ia hadir di dalam ibadah dan bertindak melalui firmanNya. Karena itu, setiap pemberitaan firman (khotbah) adalah penyampaian maksud dan kehendak Tuhan kepada manusia. Untuk itu, khotbah berisi pesan firman, dan bukan pesan pengkhotbah.

[4] Respons atau Jawaban Umat. Umat yang mendengar Firman adalah umat yang meresponi Tuhan. Ada dua bentuk respons umat dalam ibadah yaitu:
[4.1] Pengakuan Iman (affirmasi), yaitu bentuk respons umat tentang siapa Tuhan yang memberi kepadanya pengampunan dosa dan firmanNya. Pengakuan Iman ini adalah pernyataan kepercayaan umat/gereja yang ada di dalam dunia, di dalam pergumulan dengan realitas dunianya. Gereja yang sadar bahwa dalam pergumulan itu, Tuhan tidak meninggalkan dia. Pengakuan iman juga mengandung janji eskhatologis yaitu kasih setia Tuhan yang tetap nyata di dalam hidup umat/gereja.
[4.2] Persembahan syukur (offerings). Unsur ini adalah unsur respons umat terhadap realitas anugerah yang ia terima dari Tuhan di dalam hidup sehari-hari. Persembahan yang dipolakan dalam liturgi adalah manifestasi dari tindakan pelayanan umat dalam hidup sesehari. Karena itu, persembahan di dalam ibadah harus menjadi spirit yang terus menyemangati pelayanan sosial di dunia. Artinya, ibadah protestan adalah ibadah yang terbuka dan terarah ke dunia.

[5] Syafaat. Unsur ini adalah doa yang biasa diselenggarakan di dalam ibadah. Syafaat berarti doa bersama secara pasti/tepat/tegas/tidak berubah. Kata itu sendiri berarti hukum. Tetapi ada aspek perilaku yang berhubungan dengan hukum dalam kata itu, yaitu ‘kesetiaan’ atau ‘kepatuhan’ terhadap hukum. Karena itu ‘syafaat’ dimengerti sebagai doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan umat dituntut untuk setia dan patuh terhadap apa saja yang didoakan.

Syafaat adalah doa umum yang dipimpin oleh Juru Doa (Pendeta/Pendoa). Dalam kebiasaannya, syafaat biasa diakhiri dengan berdoa Bapa Kami secara bersama-sama, sebagai cara melibatkan jemaat dalam aktifitas berdoa secara bersama itu. [Doa Bapa Kami bukanlah Doa sempurna, melainkan salah satu bentuk doa yang diajarkan [Yesus] kepada umat, agar mereka bisa berdoa [bersama-sama]. Juga bukan pelengkap doa syafaat, tetapi cara gereja melibatkan jemaat dalam doa umum.

[6] Pengutusan dan Berkat. Unsur ini merupakan unsur penting dalam liturgi.umat yang beribadah adalah umat yang telah mengalami perjum,paan dengan seluruh realitas anugerah Tuhan. Umat telah mendengar firmanNya, dan diutus ke untuk bersaksi tentang Tuhan yang ia jumpai dalam ibadah di tengah hidup sesehari. Karena itu, berkat Tuhan adalah jaminan dasar dari kesaksian hidup manusia/umat. Di situ berarti ada korelasi yang jelas antara ibadah dengan tugas di dunia.

Semua unsur itu berhubungan satu dengan lainnya, dan saling menopang. Selain itu, aspek spontanitas umat yang tidak boleh diabaikan dalam liturgi adalah Nyanyian Umat. Ini adalah bentuk ekspresi umat yang harus dibiarkan bertumbuh secara spontan. Ada dua corak nyanyian jemaat, yaitu nyanyian primer dan nyanyian sekunder. Nyanyian primer adalah nyanyian umat secara bersama-sama, sedangkan nyanyian sekunder adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan secara khusus oleh kelompok Paduan Suara (Chorus), Vocal Group, dll. Penempatan nyanyian sekunder dalam liturgi lebih tepat pada bagian Respons Umat.

B. Cara Pengerjaan Liturgi Kreatif
Setiap liturgi pada dirinya telah kreatif. Karena sesungguhnya disusun dari realitas hidup masyarakat/umat yang riil. Yang diperlukan sesungguhnya adalah kreatifitas liturgi. Terkait dengan itu, inti liturgi adalah pemberitaan firman, maka kreatifitas liturgi harus dilaksanakan sebagai cara mengimplementasi firman secara nyata dalam ibadah dan kehidupan nyata. Ada korelasi yang jelas antara keduanya.

Kreatifitas liturgi itu harus membuat ibadah bersentuhan langsung dengan pergumulan nyata umat. Karena itu mesti dapat mengakomodasi atau mengangkat realitas kehidupan umat secara khusus ke dalam ibadah.

Maka setiap unsur liturgi dapat dikreasikan. Prinsipnya adalah isi dari unsur-unsur itu harus benar-benar mewakili atau memuat unsur-unsur pergumulan nyata umat. Kemasan liturgi tidak boleh berbau asing dari kehidupan nyata umat. Kemasannya harus ‘berbau’ umat setempat dan bukan ‘bau asing’.

Demikian pun firman yang diberitakan harus benar-benar menjawab pergumulan nyata umat, dan bukan menceritakan sepakterjang sejarah masyarakat Israel Alkitab. Teks Alkitab yang dipakai harus pertama-tama dibaca dari perspektif sosial umat setempat, kemudian ditafsir dengan menggunakan kacamata orang setempat (tafsir sosiologis), lalu seluruh dinamikanya coba diresapi ke dalam dinamika orang-orang setempat pula.

Kreatifitas liturgi harus memperhatikan isu pokok yang penting sebagai pokok pergumulan liturgi. Jika ada isu, maka seluruh unsur dan perangkat liturgis dapat dikreasikan sesuai dengan isu itu. Jika itu dilakukan, ibadah dan semua perangkat liturgisnya adalah benar-benar ‘milik kita’.

[pernah disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Liturgi Kreatif – AMGPM Ranting 6 Cabang Bethel, Oktober 2003]

Comments

Popular posts from this blog

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara