Renungan Harian: Mazmur 107:33-38

Teologi Kitab Ulangan (Karya Sasatra Deuteronomium) dalam formulasi “berkat dan kutuk” menjadi inspirasi dalam kemasan syair, lagu, puisi, seloka, soneta, dan bahkan prosa di dalam kitab-kitab Sastra Hikmat, atau juga himpunan Tulisan-tulisan (khethubhim), termasuk Mazmur.

Di dalam kaitan itu, paham retribusi (balas jasa seimbang), tetap menjadi model pengemasan puisi, prosa dan syair Mazmur. Orang fasik cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mencelakakan orang lain, dan karena itu selalu ditimpakan penghukuman. Orang benar cenderung melakukan perbuatan-perbuatan keadilan, dan bahkan sabar menghadapi fitnahan orang fasik, dan karena itu mendapat berkat. Ini menjadi isyarat pokok dalam memahami teks-teks Mazmur, dan tulisan-tulisan hikmat lainnya.

Dalam gaya paralelismenya, dilukiskan di dalam Mazmur 107:33-34, bagaimana bentuk tindakan Tuhan dalam memberikan penghukuman kepada orang fasik. “sungai-sungai menjadi kering…pancaran air menjadi tanah gersang”. Kawasan-kawasan potensial itu berubah menjadi kawasan-kawasan kritis, akibat dari ulah kefasikan tadi. Ini adalah simbol bahwa apa yang diperoleh (berkat) dengan jalan kefasikan, temporer dan akan habis dengan sendirinya, tanpa bekas.

Sebaliknya, ay.35-38, paralelismenya terus dikembangkan dalam ragam simbol kehidupan, a.l: “…padang gurun menjadi kolam air, tanah kering menjadi pancaran air. Orang-orang lapar akan tinggal di sana (dikawasan produktif), mereka akan berdiam di situ, bekerja di situ, dan beranak-cucu di situ”.

Ay.35-38 itu adalah kebalikan dari ay.33-34. Apa maksudnya? Kata ‘DibuatNya…” dalam ay.35a memberi jawaban bahwa Allah berpihak kepada keadilan. Keberpihakan Allah adalah keberpihakan kepada kehidupan: suatu suasana baru ketika segala potensi kehidupan yang ada, dalam segala keterbatasannya mengalami pemulihan atau dipulihkan kembali (renewable).
Dimensi pemulihan kembali sumber-sumber penghidupan itu adalah semangat untuk keluar dari krisis multidimensional. Di sini kita perlu memberi perhatian pada tanggungjawab pengelolaan dalam tatanan keutuhan ciptaan Tuhan.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin Maluku yang dahulu menjadi incaran dunia internasional karena kekayaan rempah-rempah, dan juga menjadi lumbung devisa bagi Indonesia, kini hanya menjadi “Kawasan Indonesia Timur”, yang jauh dari sentuhan perubahan.
Apakah sumber-sumber penghidupan itu sudah mengering seiring cengkeh yang terus jatuh harga? (eltom)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara