Tuhan Penolong di Tengah Krisis (?)

Habakuk 3:17-19

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Pengantar
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah, apakah umat telah ada dalam malapetaka yang besar? Atau mestikah kita setuju untuk mengatakan bahwa krisis global yang sedang dihadapi adalah malapetaka bagi umat? Sebenarnya pertanyaan itu menghadapkan kita pada kenyataan bahwa ‘mengandalkan Tuhan sebagai penolong’ (sebagai tema bulanan kita), bukan berarti kita tidak berdaya upaya lagi/atau sudah tidak bisa berdaya upaya karena berbagai himpitan, lalu beramai-ramai berteriak minta pertolongan Tuhan.

Jika pun krisis global ini adalah juga bentuk ‘malapetaka’, mestinya hal “Tuhan Penolong dalam Malapetaka’, bukan pula sebuah kalimat sakti agar umat tidak usah takut menghadapi krisis, karena ‘selalu ada Tuhan’. Ini hiburan-hiburan yang membuat teologi dan gereja memperlakukan sebagai robot, seakan-akan teologi dan gereja meminta pertanggungjawaban Tuhan untuk mengatasi masalahnya. Lalu ‘untuk apakah manusia itu? Dan siapakah manusia itu?

Materi ini mencoba masuk ke dalam jalur utama teologi, yaitu ‘prakarsa manusia’ sebagai bentuk ‘partisipasinya dalam dunia yang memang ‘dar kamuka’ dilanda krisis’. Dari prakarsa dan partisipasi manusia, baru kita bisa memahami krisis, dan dalam krisis itu baru kita memahami siapakah Tuhan bagi manusia.

Orientasi ke dalam Kitab Habakuk
Habakuk (Ibr. hăvaqqŭq – rangkulan/polo rapat-rapat; dalam bahasa Akad, berarti sejenis tanaman (bunga) yang mahal dan diincar orang – mungkin seperti sekarang orang banyak mengincar bunga ‘gelombang cinta’ atau ‘anggrek larat’, atau ‘bunga thailand’), adalah kitab nabi-nabi kecil (nabi ke-8 dari 12 nabi kecil yang menulis kitab dengan nama mereka, seperti juga Zefanya.

Orientasi ke dalam kitab ini menunjukkan bahwa:
Pertama, nabi disebut sebagai anak perempuan Sunem; walau tradisi lain yang dikutip dalam Septuaginta menyebut dirinya sebagai anak laki-laki Jesus dari suku Lewi. Tidak ada petunjuk yang jelas mengenai hal itu, tetapi indikasi ia adalah suku Lewi jelas dalam bentuk nyanyian pujian (hymne ritual) pada bagian akhir tulisannya (pasal 3:17-19). Tentang perannya, pasal 2:1 menunjuk bahwa dia menjadi saksi dari jatuhnya Yerusalem dan hidup sampai dengan tahun kedua sebelum Israel kembali dari pembuangan Babel – atau dibebaskan oleh Persia.

Kedua, kitab ini dibentuk oleh beberapa episode, yakni: (1) dialog antara nabi dengan Tuhan (1:2-2:4); (2) sebuah keluhan dalam lima bentuk kejahatan (lht. Formulasi ‘celakalah…’, 2:5-20); dan (3) puisi yang menggambarkan kemenangan Tuhan (psl.3) – tetapi dalam dilema mengenai ‘dalam hal apa kemenangan itu; bagaimana itu berlangsung, dan bentuk pembebasan seperti apa yang diharapkan terjadi. Dari situ dapat disimpulkan bahwa kitab ini dimulai dengan keresahan, dan juga berakhir dengan keresahan. Karena itu, model penceritaan yang dipakai penulis kitab ini adalah ‘ratapan’ (lamentation) – seperti dalam kitab Ratapan itu sendiri.
Ketiga, untuk memahami dinamika sosial dalam teks, perlu dipaparkan beberapa aspek yang penting, dan terkait dengan tema khotbah kita.

(1) menurut Habakuk 1:2-4, Yehuda berada dalam situasi yang sudah korup; penindasan terhadap orang-orang benar oleh orang-orang jahat, menjadi alasan moral mengapa nabi berteriak memanggil Tuhan untuk bertindak melawan para penindas. Menariknya ialah 1:5-11 menunjuk jawaban Tuhan atas teriakan nabi, dengan menegaskan IA memakai orang Kasdim untuk melakukan penghukuman atas Israel. Tidak masuk akal bagi nabi, mengapa Tuhan justru memakai orang-orang barbaris untuk menghukum orang-orang yang lebih benar dari mereka.

(2) Dialog dalam pasal 2:1-5 menjadi kunci jawaban, yang juga menegaskan bahwa orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri akan runtuh, kekuasaannya itu temporer, sebaliknya orang benar akan tetap hidup. Maka 2:5-20 adalah simbolisasi perlawanan terhadap kejahatan, termasuk terhadap orang Kasdim – sebenarnya terhadap orang yang terlalu memuja kekuasaan, dan menggunakannya untuk menekan orang lain.

(3) Dalam 2:1-4 itu, sebenarnya Allah menjanjikan pembebasan. Karena itu peran nabi sebagai ‘pelihat’ dari zaman runtuhnya Yerusalem sampai menjelang pembangunan kembali, cukup memberi gambaran bahwa pembebasan itu terjadi di dalam sejarah masyarakat yang terus berkembang. Ada maksud Allah dengan sejarah penindasan, kesengsaraan, krisis, dan situasi kelam-kabut yang dihadapi umat/masyarakat.

(4) Israel menghadapi beragam penindasan dan kesengsaraan, mulai dari Asyur (621-615 BCE; Mesir (608-604 BCE), dan kemudian Kasdim (605-604 BCE), dan Babel (600 BCE). Karena itu menjadi penting, mengapa nabi mewakili umat berteriak meminta pembebasan dari Tuhan. Situasi ‘malapetaka’ terjadi dalam regime-regime kekuasan asing yang silih-berganti. Dalam kondisi seperti itu dapat diterka nasib Israel sebagai bangsa yang dijajah, dan kebijakan regime asing yang terus berganti-ganti. Di Indonesia, pergantian regime dari Orde Lama ke Order Baru, dan ke era Reformasi saja sarat dengan beban krisis.

Tafsir Habakuk 3:17-19
Habakuk 3 berisi puisi lirika yang bertajuk ‘doa’. Nabi bertindak mewakili umat, dan bagaimana ia mengenang karya Allah kepada umat (3;2); bahkan karena mereka hati Allah menjadi ‘belisah’. Dalam hal ini mari kita melihat tradisi tua dalam naskah-naskah PL, di mana Allah digambarkan sebagai subyek yang juga prihatin dengan nasib umatNya, lalu bertindak menyelamatkan mereka karena ingat pada ‘janji’ dengan leluhur mereka (3:2). Di sini konsep pemilihan Allah (God election) menjadi dasar dari kepedulian Allah, dan bahkan tuntutan umat akan pembebasan.

Karena itu, dalam 3:3-11, puisi lirika itu disusun dalam syair-syair pengagungan akan penyataan diri Allah di masa lampau. Ini menjadi pengantar ke dalam tuntutan pembebasan, bahwa Allah terikat pada apa yang telah dikerjakanNya di masa lampau. Dimensi pengalaman umat dengan Tuhan menjadi point penting di sini. Suatu gambaran bahwa Tuhan adalah subyek yang bekerja bersama-sama dengan manusia.

Sedangkan 3:12-16, konsep keterpilihan umat menjadi point penting berikut yang mendapat penegasan. Di sini, tampak pengaruh sastra hikmat. Sebab perilaku para penindas diibaratkan sebagai perilaku orang fasik, dan umat tetap digambarkan sebagai orang benar yang mengalami penderitaan – walau mereka tidak bersalah. Di sini, bentuk kejahatan yang mengedepan adalah trick atau skandal – kesepakatan di bawa telapak tangan, atau ‘keinginan terselubung (the hiden agenda: sesuatu yang selalu ada dalam praktek manipulasi, ekspolitasi, dan provokasi).

Ada hal yang menarik di situ yakni paham retribusi (balas jasa seimbang) yang masih mengedepan. Di sinilah sebenarnya Habakuk mencoba mempertanyakan maksud dari hikmat Allah dengan penindasan dan kemalangan yang dialami umat (bnd. 1:2-3). – gambaran yang sama kita temui dalam plediod Ayub atas penderitaannya.

Nah, ayat 17-19 adalah sebuah hymne yang perlu ditafsir secara kritis dalam perspektif baru. Sebab, orientasi kultis sangat mewarnai nyanyian ini. Lihat saja ayat-ayatnya yang melukiskan suatu kondisi sosial yang sarat krisis:
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,…” (3:17).

Bentuk krisis itu terjadi dalam hal ketersediaan bahan pangan (krisis ekonomi). Artinya, derita umat akibat tekanan politik kemudian ditambahi dengan krisis ekonomi yang cukup parah. Mereka tidak hanya menghadapi kekuasaan yang sudah sangat korup, tetapi lingkungan alam/hutan produktif yang juga sudah tidak menghasilkan apa-apa untuk hidup. Beban struktural dan beban sosial itu melengkapi wajah derita atau malapetaka yang menimpa umat.
Dalam konteks seperti itu, bagi Habakuk, praktek ‘kejahatan’ secara struktural membuat orang-orang kuat (pemerintah) menjadi penindas. Mereka sebenarnya mengharapkan keadilan, tetapi yang didapati adalah ketidakadilan (penindasan). Kebebasan mereka dikekang, karena nilai keadilan telah diselewengkan.

Pada saat bersamaan, alam yang menyediakan sumber-sumber ekonomi tidak lagi menjanjikan. Memang kurang jelas di sini apakah krisis ekonomi itu akibat tidak ada kesempatan untuk umat bekerja – karena harus melayani kepentingan penindas (penjajah/pemerintah), atau memang lingkungan produksi pun sudah sangat langkah akibat perampasan tanah, dll.
Sejenak mari kita melihat lagi frasa lanjutan dari nyanyian tadi:
“namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku…” (ay.18).

Apakah ini jawaban di dalam krisis? Seperti syair DSL “asal Tuhan jua hidupku…”. Kita perlu melanjutkan frasa ini ke ay.19: “Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku”. Artinya, jawaban krisis bukanlah komitmen kesetiaan dan kepercayaan kepada Tuhan saja. Titik! Tetapi pengelolaan potensi diri yang diberi Tuhan.

Gambaran “kakiku seperti kaki rusa, dan …berjejak di bukit-bukitku” adalah bentuk operatif dari iman kepada Tuhan. Bahwa Tuhan membuat kita menjadi orang-orang yang kuat untuk berusaha dalam mengatasi krisis. Itu adalah simbol dari upaya untuk keluar dari krisis dengan melakukan tindakan pensejahteraan hidup [di dalam konteks kerja dan usaha masing-masing jemaat].

Sebenarnya dalam krisis kita tidak boleh berdoa: “Tuhan, lepaskan kami dari derita ini”. Tetapi “Tuhan, beri kami kekuatan untuk berusaha keluar dari derita ini”. (*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara