Peralihan Pemikiran Tradisional ke Kontekstual-Transformatif dalam Berteologi

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Catatan Awal
Tulisan ini muncul dari refleksi bersama mengenai perkembangan teologi di Indonesia, dan terutama di Maluku. Suatu refleksi dari tengah kisruhnya konteks bermasyarakat dan beragama, terutama ketika terjadi benturan-benturan peradaban dan persinggungan psikologis-ethnis, serta maraknya peralihan paradigma berpikir dalam dunia ilmu pengetahuan, tanpa kecuali teologi. Sambil lalu, refleksi Fritjof Capra (2000) mengenai peralihan paradigma ilmu merupakan imperative bagi perubahan ilmu itu sendiri.

Tidak berarti beralihnya suatu corak pemikiran sekedar mengisi agenda sosial yang ada, melainkan sebuah desakan untuk berkembang dan memantapkan signifikansi serta relevansi diri dari ilmu itu sendiri. Pada sisi lain peralihan pemikiran, terutama dalam teologi merupakan kulminasi perenungan mendalam (yang melahirkan insight) serta kepekaan yang tinggi terhadap konteks teologi itu sendiri. Secara metodologis, hal itu terjadi karena teologi tidak memiliki infentarisasi data yang tetap, konstan, atau baku, melainkan datanya selalu ada dalam konteks yang berubah.

Dala kerangka itu, tulisan ini mengajukan beberapa tema yang patut dijadikan bahan refleksi bersama, antara lain: Teologi: Tradisional dan Kontekstual; Perspektif Teologi Agama-agama; dan Teologi Proses sebagai sebuah model. Tema-tema ini kiranya dikritisi secara bersama untuk melihat kegunaannya dalam berteologi.

Teologi: Tradisional dan Kontekstual
Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah defenisi yang baku atau standar mengenai ‘apa teologi’ itu? Atau pengertian teologi ialah…. Apalagi kalau defenisi teologi itu kemudian diurai secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan teologi itu terdiri dari dua kata Yunani, yaitu theous yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang/mengenai Tuhan.

Hal ini tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu menyebabkan kesalahan latent di mana teologi diperangkapkan dalam satu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam ‘credit point’ untuk masuk surga.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku beragama yang sangat normatif. Apa pun yang dilakukan harus berdasarkan pada ‘hukum-hukum Tuhan’ sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci. Sehingga perilaku beragama sangat verbalis, tidak sebagai sebuah pula beragama masyarakat, atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun vatalnya ialah, kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Orang kristen, di berbagai tempat, termasuk di Indonesia atau Maluku/Ambon, telah mengidentifikasi dirinya sebagai ‘Israel Baru’. Akibatnya seluruh fantasi kehidupan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi yang selama ini dianut gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas beragama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir.

Mentalitas yang dianut justeru sebuah duplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dari mana agama itu datang/lahir, atau tempat asal peziarah/penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini, orang kristen lebih suka diidentikkan dengan Israel dan lingkungan Pelstinanya (bnd. Ideologi ‘Tanah Kanaan”) atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

John Macquire (1996) merumuskan teologi sebagai suatu studi yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunikasi iman berusaha menyatakan inti iman dalam bahasa yang jelas dan sepadan mungkin.

Rumusan itu mengisyaratkan pentingnya partisipasi refleksi dan ekspresi dalam teologi. Partisipasi-refleksi mengindikasikan bahwa teologi itu adalah suatu usaha berkelanjutan (continuity), sebab ia harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman itu (Titaley, 2001). Teologi menghadap umat yang sudah terbentuk struktur berimannya sebagai hasil dari sejarah keagamaan mereka. Di dalam komunikasi beriman itu, teologi mengalami pendefenisian dan juga perubahan. Pada sisi yang lain, teologi adalah juga suatu keterputusan (discontinuity), sebab ia harus memformulasi iman itu dalam bentuk yang defenitif (credo/insight).

Sementara dimensi ekspresi dalam teologi terungkap melalui penggunaan berbagai media sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, komunikasi. Media-media itu merupakan media artikulasi teologi. di sini aspek bahasa memainkan peran sentral, bukan sekedar sebagai tanda atau simbol komunikasi melainkan sebagai penerjemah teologi dan perantara untuk memasuki ‘struktur dalam’ (emic perspective) suatu masyarakat atau komunitas berumat.

Definisi ini mengisyaratkan bahwa pergulatan teologi adalah sebuah pergulatan historis. Teologi itu menyejarah dan dalam penyejarahannya mengalami perwajahan (dalam bentuk dogma, liturgi, credo, dll); sekaligus membentuk sikap dan perspektif umat (apakah itu eksklusif, inklusif, dll); mengalami benturan kontekstual, kemudian direfleksikan dan direformulasi atau dibarui.

Kesan umum bahwa kita mempunyai suatu teologi yang sudah tertanam berabad-abad lamanya, mulai dari masa agama suku (tribe religion), sampai dengan masa datangnya agama besar (Islam dan Kristen). Warisan teologi ini membentuk corak agama tertentu, meliputi pandangan terhadap diri, lingkungan, sesama, kerja, dan kemudian mengenai Tuhan. Dalam khazanah ilmu teologi, corak itu disebut teologi naturalis. Saya tidak suka menyebutnya tradisionalis, sebab jangan sampai kita terperangkap memahami tradisionalis sebagai melulu lama. Warisan-warisan itu yang kemudian dipertahankan sebagai suatu yang khas, dan tanpa sadar sulit diubah. Kita bahkan menjadikannya sebuah ‘dogma’ yang dijadikan dasar pengujian segala sesuatu di masa kini.

Bagaimana keluar dari kungkungan itu? Dekonstruksi? Tentu iya, tetapi bagaimana mengerjakannya? Jawabannya adalah membangun sebuah teologi kontekstual.
Bevans (1996) mendefenisikan teologi kontekstual itu sebagai teologi yang dilakukan dengan memperhatikan roh dan berita injil, tradisi kristen, kebudayaan tempat seseorang berteologi, perubahan sosial dan kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan teknologi barat atau perjuangan rakyat kecil bagi keadilan, kesetaraan dan pembebasan. Dengan demikian teologi merupakan suatu yang baru karena harus mengembangkan sesuatu yang benar-benar baru, tetapi juga tradisional, karena merupakan kelanjutan dari apa yang telah ada.

Dari situ, teologi sebetulnya merupakan refleksi kontekstual akan kehadiran manusia di dalam sejarah serta panggung sosial, dengan aktifitas-aktifitasnya. Teologi bukanlah refleksi mengenai Tuhan an-sich; justeru refleksi mengenai Tuhan itu dibentuk kemudian oleh refleksi terhadap kemanusiaan manusia itu. Pada ambang batas tertentu, barulah muncul ide mengenai Tuhan.
Dengan begitu, teologi kontekstual mesti melepaskan kiblat lama yang cenderung mengarah ke lingkungan luar, yaitu lingkungan dari mana agama itu datang/lahir, atau lingkungan para peziarah injil. Termasuk melepaskan keterikatannya dengan konsep-konsep yang terlampau mengidentikkan diri kita dengan orang lain di luar lingkungan kita.

Teologi mesti merupakan kesadaran berproses di dalam sejarah yang baru; membaca konteks sendiri sebagai sebuah data teologi, dan menggali produk beriman dari tengah konteks sendiri, sebagai sesuatu yang orisinil, dan bukan reduplikasi atas apa yang ada pada komunitas yang lain. Karena itu, teologi bukan saja memandang sejarah, melainkan juga selalu mengalami sejarah; berada di dalam sejarah perkembangan itu, karena teologi tidak pernah mencapai ‘hasil yang selesai’. Di sini, refleksi merupakan kunci, karena apa yang dicapai harus selalu ditafsirkan secara baru menurut perkembangan manusia.

Menjadikan Konteks Sendiri sebagai Bahan Pembelajaran Teologi
Tanpa sadar, secara akademis dan praktis, selama ini kita berteologi dengan memandang pada konteks Palestina, Arab, dan Eropa dan Amerika Utara/Latin, Asia Barat. Hal ini nampak melalui produk-produk teologia yang dijadikan semacam ‘Bahan Ajar’, baik dalam lingkungan akademik maupun lingkungan beragama.

Corak ini tampak, karena orang terlampau membatasi teologi sebagai sebuah persoalan keagamaan dan bukan fenomena ilmu yang telah berkembang berabad-abad lamanya [dalam kerangka itu, tidak heran jika teologi baru diterima sebagai lmu di Indonesia pada tahun 1996, atas provokasi para teolog dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, seperti Prof. John A. Titaley, Dr. Soegeng Hardiyanto, Dr. Mesach Krisetya, Prof. Sem Patty, Dr. Danny Nuhamara, dll). Padahal dalam sejarah ilmu, teologi disebut ‘ibu ilmu’]. Karena pembatasan lingkungan teologi tadi, maka ‘materi ajar’ teologi masih merupakan produk-produk dogmatik yang bertujuan untuk menanamkan pemahaman kepada umat mengenai integritas dirinya. Tanpa sadar, sebuah pelajaran moral kepada umat, langsung dicontohkan dengan kisah-kisah dari dalam Alkitab atau Al-Qur’an.

Narasi-narasi lokal/kontekstual, yang memuat pandangan hidup dan pandangan dunia masyarakat setempat tidak pernah dipandang sebagai ‘unit data’ yang kontekstual. Di atas prinsip itu, teologi kontekstual merupakan produk lingkungan di mana ia ada dan di mana orang yang berteologi itu hidup. Lingkungan itulah yang mesti digarap dalam berteologi. Di sinilah tanggungjawab kita untuk memandang Indonesia dan juga Maluku sebagai sebuah fenomena teologi.

Indonesia dan juga Maluku merupakan ‘locus teology’, di mana mesti muncul corak hidup yang setara, adil, sejahtera, demokratis. Sebuah ‘locus teology’ yang tidak diskriminatif, tidak terkristal menurut kelompok-kelompok tertentu (secara sosial maupun politik), melainkan sebagai fenomena beragama, fenomena masyarakat manusia yang setara di hadapan Tuhan yang satu.

Dengan begitu, teologi bukanlah monopoli orang yang mempelajari teologi secara akademis, atau para ulama, tetapi tugas kepada setiap manusia dalam menjalankan setiap aktifitasnya.
Dengan begitu teologi mesti ada dalam setiap kebudayaan, harus lahir dari tengan setiap jenis aktifitas manusia, harus dikemnbangkan dari semua sisi pemikiran (paradigma), dan mesti merupakan spirit dalam berpikir, bertindak dan berperilaku menuju kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang.

Dalam konteks Maluku seperti adanya kini, teologi bukanlah pilihan ‘kalau suka’ tetapi perintah untuk mewujudkan rekonseliasi, dan spirit membangun sebuah kohesi sosial dan politik, demi masa depan bersama. Teologi adalah ‘keberpihakan kepada kehidupan’(*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara