Natal :

Masalah Nilai dalam Kerangka Filsafat Proses
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Ada satu ulasan ringkas dari John B. Cobb, Jr., Professor Teologi di Claremont School of Theology, Claremont, California, dalam http://www.religion-online.org, dengan judul “Whitehead’s Theory of Value”. Beta membacanya dalam rangka mencari-cari, kira-kira bagaimana mengkhotbahkan masalah ‘nilai Natal’. Sebenarnya itu pun iseng, yah…kebetulan saja, pada saat menulis Tesis di UKSW-Salatiga (tahun 2000), beta ‘taika’ (tertarik) dengan kerangka Teologi Proses (TP) yang dikembangkan John B. Cobb, yang ternyata berlandas pada Filsafat Proses (FP) gurunya, Alfred North Whitehead.

Apa sumbangan TP dalam memahami ‘nilai natal?” Meminjam term-nya Cobb, beta lalu bertanya, apakah kelahiran Yesus itu sendiri adalah ‘the subject aim’ Allah? Atau sesungguhnya ‘initial aim’ dari penulis-penulis Kristen – yang berkepentingan dengan pentuhanan Yesus di masa-masa kekristenan mulai membentuk (lht. Tulisan beta yang lain dlm bulan ini “Asimilasi dan Konfrontasi”, untuk mendapat gambaran ttg bagaimana realitas yang dihadapi Kristen dalam kekaisaran Romawi – jika memang titik acuan penulisan Teks Perjanjian Baru harus menjadi referensi kita bersama).

Sebab jika kelahiran Yesus dimaknai sebagai ‘the subject aim’-nya TUHAN, berarti karyanya selama hidup adalah ‘the daily activity’ yang dilakukan untuk mengarah kepada ‘the initial aim’ TUHAN. Apakah ‘initial aim’ TUHAN? Keselamatan, dalam bentuk kesejahteraan, keadilan, kebenaran, kesetaraan, kepedulian sosial, kepada manusia. Bukankah itu yang Yesus sendiri nyatakan, seperti dalam Matius 11:2-6; 25:35-40; Lukas 4:18,19, dll.

Tetapi jika itu adalah ‘the initial aim’ dari penulis-penulis Kristen, maka ‘pentuhanan Yesus’ adalah suatu provokasi injil yang cukup penting kala itu. Mereka, dan kekristenan perdana, merasa perlu menarasikan cerita tentang Yesus (Jesus story) sehingga sang Yesus itu diterima sebagai Tuhan yang menyejarah (the historical Jesus). Artinya, ‘daily activity’ yang dilakukan Yesus (the deeds), adalah perbuatan-perbuatan yang mengarah pada pentuhanan itu sendiri. Makanya, mengapa kisah kelahiranNya dipoles sedemikian rupa sehingga berbeda dari kelahiran orang kebanyakan lainnya, termasuk misalnya dari Ishak (lht. Tulisan beta yang lain, berjudul “Tuhan Vs Tuhan”).

Beta sendiri tidak mau mengambil keputusan dari dua kondisi itu. Karena itu, beta sengaja menelusuri lagi apa yang ada di dasar FP sebagai jalan tengah (middle way) untuk memahami ‘nilai natal’ itu sendiri.

Whitehead dan “Value”

Bagi Whitehead, sebuah nilai tidak bisa dilepaskan dari suatu subyek, karena subyek itu secara intrinsik menentukan nilai. Subyek itu bermakna di dalam dan untuk dirinya. Sebaliknya obyek itu eksis karena ditentukan oleh sesuatu yang lain. Ia memiliki nilai instrumental yang semata-mata ditentukan oleh subyek.

Beberapa pemikiran pokok Whitehead di sini, bahwa:

Pertama, nilai [subyektifitas] itu hanya bisa ditemui dalam pengalaman manusia, karena pengalaman menyediakan serangkaian aspek dari subyektifitas itu. Bertumpu pada pengalaman, maka subyektifitas itu mengandung ‘receptivity’ dan ‘activity’. Di sini Whitehead menekankan kedua-duanya penting, sehingga subyek baginya adalah subyek yang bertindak dan terkena imbasan dari tindakannya [atau subyek] lain. Artinya, relasi antar-subyek, sebagai bentuk komunalitas dari pengalaman, memposisikan subyek pada dua kondisi tersebut.

Sebenarnya, ini juga yang membuat manusia menjadi [sangat] berbeda dari binatang atau makhluk lainnya. Secara psikologis, seperti juga Freud, kebedaan itu terletak pada suatu kecenderungan perilaku yang disebut ‘kesadaran’ (consciousness). Whitehead memahami baha dengan kesadaran itu, setiap entitas yang aktual memiliki karakter yang subyektif. Tetapi ia tidak bermaksud membatasi atau mendefenisikan subyektifitas itu pada kesadaran subyektif. Baginya, kesadaran muncul, hanya ketika dalam pengalaman, manusia berjumpa dengan beragam kompleksitas yang terjadi/pasti, suatu kompleksitas yang mungkin juga menggerakkan sistem pusat saraf, seperti tampak dalam ‘kegelisahan’ [kepekaan]. Karena itu, pengalamanlah, menurut Whitehead, yang selalu mengembangkan nilai.

Di sini ia agak berbeda dengan filusuf naturalistik lain, dengan menekankan bahwa subyektifitas itu adalah kejadian-kejadian sub-atomik di mana molekul-molekul itu secara berangsur-angsur terbentuk hingga menjadi sempurna (ultimately constituted).

Kedua, penekanan tidak saja pada event (serangkaian peristiwa) ketimbang substansi. Dalam filsafat Barat, dunia ini tersusun atas substansi dan atribusinya. Ia mengandung kekuatan atom yang hampir tidak berubah dan memproduksi sesuau yang lain melalui gerakan relatif ke yang lain. Whitehead menolak anggapan ini baik secara filosofis maupun fisik. Baginya, usaha filosofis untuk mengarah ke substansi, akan kolapse sebelum waktunya. Makanya filusuf beralih pada fenomena.

Whitehead percaya bahwa situasi ini cukup membingungkan. Ada solusi yang ditawarkannya: mengapa kita tidak melihat pada peristiwa-peristiwa yang menyusun setiap pengalaman itu sendiri. Pengalaman manusia adalah suatu peristiwa, dan juga suatu pergeseran quantum. Bahkan dalam masyarakat, serangkaian peristiwa juga memberi bentuk pada sesuatu pengalaman dalam jangka waktu yang panjang.

Ketiga, lalu bagaimana dengan nilai? Whitehead tidak sependapat dengan sebagian orang yang memberi nilai atributif pada segala sesuatu, karena bukan urusan kita untuk mencoba mendefenisikan perbedaan antara satu unsur dengan lainnya, entah setiap unsur itu memiliki nilai yang sama atau tidak. Di sini Whitehead berbicara mengenai ‘gradasi nilai’ (perkembangan nilai).

Suatu nilai yang telah dirumuskan oleh seseorang, di suatu waktu dapat dikembangkan oleh pengikutnya. Di sini masalah hermeneutika menjadi kunci secara metodologi. Ini menjadi semacam ‘kebiasaan’ dalam tradisi beragama. Karena itu, persoalan kita bukan dengan nilai orisinil, tetapi bagaimana nilai itu sendiri terhubung dengan subyek [yang bernilai].

Berikutnya, dunia ini adalah juga sesuatu entitas fisik. Artinya, gradasi nilai akan sangat ditentukan oleh bagaimana subyek itu berada di dalam alam fisik. Pendapat ini membuat Whitehead sebenarnya tidak bebas dari pengaruh filsafat naturalisme. Point pemikiran ini yang menunjukkan bahwa masalah ‘bernilai’ tidaknya suatu subyek, turut ditentukan oleh lingkungan fisik/lingkungan sosial di mana ia berada. Dimensi ‘event’ dalam pengalaman tadi yang memberi kepada peristiwa dan subyek itu suatu nilai.

Aspek yang tidak kalah penting dalam gradasi nilai itu adalah kesempatan (occasion) di dalam hidup. Ini yang dalam TP dikembangkan Cobb dalam ‘daily activity’ atau ‘occasion’ itu sendiri.

Artinya dalam hal itu ada serangkaian tindakan yang dilakukan. Menariknya ialah di dalam kesempatan itu, semua tindakan diarahkan untuk mencapai tingkatan yang tertinggi (prestasi) di dalam bingkai ‘order’. Ini juga yang dalam TP makanya Cobb mengatakan bahwa dosa itu terjadi ketika manusia keluar dari tatanan order yang sedang dijalaninya, termasuk ‘order’ agama. Tindakan manusia setiap hari hanya mencapai apa yang disebutnya ‘subject aim’. Tuhan yang menggerakkannya atau menemaninya dalam perkembangan tindakannya agar mereka mencapai ‘initial aim’. Initial aim itu yang dikontrol oleh Tuhan – Tuhan tidak mengendalikan manusia ibarat robot, karena itu aspek kesadaran tadi penting.

Nah, dalam mencapai ‘subject aim’ dari waktu ke waktu mengarah ke ‘initial aim’, kalau manusia keluar dari jalur itu, atau mengalami bias, itu yang disebut dosa. Artinya, dosa ialah ketika manusia keluar dari jalur tujuan ideal yang sedang dijalani dan dikontrol oleh Tuhan. Manusia lepas kendali.

Sampai di situ dulu, tentang pemahaman nilai dalam FP-nya Whitehead.

Natal: event in human experience

Lalu bagaimana dengan Natal? Di sini soalnya. Hermeneutika gereja selalu melihat pada Natal sebagai lahirnya Yesus. Lokusnya di Betlehem. Tepatnya, bayi Yesus lahir di kandang domba, berselimutkan lampin dan dibaringkan di dalam palungan.

Subyek yang bernilai di situ adalah Yesus, dalam relasinya dengan Maria, sang ibu, dan Yusuf, sang bapak. Jika kita memakai kerangka TP tadi, nilai intrinsiknya ada pada Yesus dan Maria. Yusuf adalah subyek yang ternyata bernilai secara atributif. Di sini masalah subyek di dalam cerita Natal itu.

Yusuf bahkan tidak bisa mempledoid perintah ‘mengawini Maria’, padahal untuk tidak mencemarkan nama tunangannya, ia hendak menceraikannya secara diam-diam. Teks Matius 1:20 membuat Yusuf mengurungkan tindakannya itu. Menariknya ialah ungkapan ‘jangan takut’ (do not be fear) muncul sebagai pengantar sebuah pesan baru. Ungkapan ini kalau di hitung-hitung, disampaikan Malaikat kepada Maria, untuk memberitahu bahwa dia akan mengandung ‘oleh Roh Kudus’. Demikian pun kepada para gembala untuk mengatakan kelahiran sang Yesus.

Malaikat sebagai subyek [transhistoris] selalu tampil dan membuat subyek-subyek historis itu terperangkap dalam kebingungan tersendiri; lalu harus mengambil keputusan tertentu.
Maria, pada saat mendengar ‘pemberitahuan’ Malaikat, hanya bisa berkata ‘sesungguhnya aku ini hanyalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk.2:38).

Begitupun Yusuf, malah tidak bersuara – tidak seperti tokoh laki-laki lainnya dalam Alkitab – langsung mengambil Maria sebagai istri (mengawini), dan wajib menamai bayi itu Yesus (Mat.1:21); nama yang juga ‘diperintahkan’ kepadanya. Keputusan Yusuf yang berikut, sebagai dampak dari tindakan tadi, adalah ‘tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirka anaknya laki-laki’ (Mat. 1:25).

Begitupun para gembala, kepada mereka diberitahukan kelahiran Yesus disertai dengan tanda: bayi yang dibungkus dengan lampin, dan dibaringkan di dalam palungan.

Ternyata subyek-subyek ini mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan yang cukup kompleks. Dalam kerangka FP, peristiwa itu mengarah pada gradasi nilai dari sebuah peristiwa kelahiran Yesus. Gradasinya terjadi dalam konteks setiap subyek digerakkan oleh suatu order agama, yang sengaja dipakai para penulis Perjanjian Baru.

Tujuannya adalah agar subyek-subyek itu dipandang sebagai subyek-subyek yang bergerak di dalam order, tidak keluar darinya. Di sini tidak terkesan adanya dilemma. Kecuali Yusuf, tetapi dilemma personalnya itu cepat teratasi menyusul perintah baru yang diterimanya. Kita bisa melihat di sini bagaimana penulis Perjanjian Baru membangun cerita yang mengesankan bahwa kesadaran Yusuf itu terbentuk langsung karena adanya pergulatan di dalam bathinnya, dihadapkan pada perintah yang bersumber pada order agama tadi.

Kepentingan beta adalah melihat bagaimana suatu order itu bisa membentuk dan bahkan memaksa manusia/subyek untuk bertindak di dalam lingkungan di mana ia hidup. Karena itu, jika natal kita lihat sebagai suatu peristiwa (event), pertanda natal itu terus menyajikan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang selalu bermuara pada ‘bagaimana ketika Tuhan menjadi manusia?”

Beta kira sampai di situ dulu, sebab beta harus melakukan ‘daily activity’ dalam kerangka pencarian nilai natal itu. Nanti baru disambung lagi.

Tetapi ada pertanyaan baru yang mungkin perlu dikaji lagi: jika Markus adalah injil yang tertua, mengapa Markus tidak memproduksi satu pun cerita tentang kelahiran Yesus? Teori biblika akan mengatakan, Matius dan Lukas yang kemudian mengembangkan cerita Markus. Masih memakai pendapat Whitehead, kalau benar mereka mengembangkannya (gradasi nilai), berarti cerita kelahiran Yesus itu adalah cerita baru, yang tidak ada dalam sumber Quele (Q). Tetapi teologi tidak akan melihat ke situ. Demikian pun hermeneutika. Yang dilihat teologi dan hermeneutika adalah ‘gradasi’ suatu peristiwa mengantar kita masuk pada narasi. Narasi mengantar kita masuk ke teks. Teks mengantar kita masuk ke dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial itu sarat pengalaman faktual. Yang faktual itu kemudian diabstraksikan dalam narasi, dan terus dikaji, ditafsir, dan bahkan dihitung. (*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara