PENGENALAN KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI LOKUS PEKABARAN INJIL

Bagian 2 - MASYARAKAT ADAT di Kepulauan Lease

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Pengantar
Saya hanya melanjutkan bahasan pertama yang telah dilewati. Kali ini kita lebih fokus pada konteks masyarakat adat dalam seluruh dinamikanya. Sorotan kita masih sama yakni pemetaan masyarakat adat di Lease. Dalam kaitan itu, saya memiliki keterbatasan tersendiri, karena kurang memiliki referensi yang memadai tentang masyarakat adat di Lease.

Tetapi saya memiliki beberapa pengalaman langsung di dalam basis-basis kultural masyarakat Adat di Lease. Saya pernah menjalani serangkaian penelitian di Nusalaut – dengan fokus untuk menstudikan ‘Ideologi Pusa Pulu’ yang menjadi pembentuk mentalitas sosial dan religius orang-orang Nusahulawano. Di Saparua, saya pernah terlibat dalam “ibadah Natal” masyarakat Nolloth dan Itawaka di ‘Batu Damai’ (desember 1998), dan terlibat dalam Panas Pela di Tuhaha (desember 2007) antara Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) dan Rohomoni (Mandalise Haitapessy).

Beberapa kali membimbing Mahasiswa STAKPN Ambon menulis Skripsi tentang aspek-aspek tertentu dalam adat orang-orang Haruku (perkawinan di Wasuu), pela Hulaliu-Tulehu, Kora-kora Raja di Ullath, dan budaya Masulio di Ullath, mungkin tidak cukup untuk mengatakan bahwa saya telah bisa mengenal konteks masyarakat adat di Lease. Pengalaman baru yang bagi saya membuat saya bisa merasakan dinamika ber-adat di Saparua adalah ketika melangsungkan acara adat ‘bayar harta’ di Tuhaha (Juli 2007), sebagai konsekuensi menikah dengan gadis Tuhaha dari mata rumah Raja Adat (Aipassa).

Karena itu, saya mungkin tidak akan ‘molo’ lebih dalam, sehingga materi ini adalah suatu kupasan di permukaan mengenai hal-hal pokok dari masyarakat adat itu sendiri. Tetapi saya mengakui bahwa pengenalan intens dengan masyarakat adat setempat (pada masing-masing negeri) menjadi suatu pengalaman emic sekaligus etik yang penting bagi gereja. Termasuk bagi tugas PIKOM.

Alasan kedua ialah, suatu ajakan untuk menghentikan seluruh polemik Injil-Adat dalam paradigma dikotomis. Karena INJIL ketika masuk ke dalam dunia pun telah mengadaptasikan diriNya dengan adat masyarakat. Suatu relasi intens dan intim yang tidak bermuara pada sinkretisme, tetapi adaptasi yang kuat. Dalam adaptasi itu muncul fungsi koreksi dan penyelarasan. Suatu hal yang selama ini diabaikan dalam sejarah PI di Maluku.

2. Relasi Injil-Adat
Saya merasa penting menjelaskan hal ini terlebih dahulu agar pandangan kita mengenai masyarakat adat terpola dalam suatu carapandang baru yang lebih adaptif (adaptable).
Dalam tulisan penghormatan saya kepada Opa Bu Louhenapessy (Putra Lease), saya menulis begini:

“Paparan Leonard Andaya mengenai “benturan pandangan dunia” antara penginjil dengan orang Maluku telah melukiskan bagaimana pemetaan antropologis itu diabaikan para misionaris untuk menyusun strateginya. Hanya Heurnius [1633-1638] yang berhasil mengadaptasi budaya injil dengan budaya masyarakat setempat [pulau Saparua]. Ia belajar bahasa Lease yang dipahaminya sebagai “bahasa hati” untuk membantu proses-proses penginjilannya di Saparua. Khotbahnya dalam bahasa itu telah mampu menggerakkan sensetifitas orang-orang Saparua untuk memahami injil di dalam alam atau lingkungan mereka. Demikian juga menerjemahkan bagian-bagian injil dan menggembleng beberapa pemuda untuk tugas pemberitaan firman. Karya itu disambut baik orang-orang Saparua yang lebih suka beribadah dalam bahasa mereka sendiri.[1]

Usaha Heurnius itu agaknya kurang memadai sebab ternyata ia sama saja dengan para pendeta Belanda lainnya. Sikap “tidak mau tahu” dengan budaya bukan kristen, merupakan ciri yang menyamakan Heurnius dengan teman-temannya itu. Selama bertugas di Saparua, ia telah menghancurkan ratusan tempat membawa sesajen, dan menghukum setiap orang yang kedapatan masih mempraktekkan penyembahan kepada roh-roh.[2]

Sikap “melawan kafir” menjadi karakteristik dasar para pekabar injil. Di berbagai tempat, gerakan “melawan kafir” itu dilakukan. Metode mereka dapat disebut sebagai “metode main larang”, tanpa diikuti oleh penanaman pemahaman yang memadai mengenai hal-hal dimaksud. Masyarakat yang dibimbing menjadi kristen cukup hanya mampu menghafal beberapa rumusan iman, dan itu sudah menjadi prasyarat kekristenannya. Kemudian mahir menyanyikan lagu-lagu rohani, dan menjalankan doa-doa malam, sudah menjadi “kepuasan” bahwa mereka telah menjadi kristen.

Padahal “metode main larang” meninggalkan residu yang menjadi ciri kedua dari kekristenan orang-orang Maluku. Suatu corak kekristenan yang masih bertindih rapat dengan agama leluhurnya. Kekristenan mistis, yang merupakan kombinasi pietisme dengan agama lama.
Mereka dikenal sebagai “orang-orang beriman”[3] dan loyal kepada gereja. Mereka gemar beribadah dan menjaga lingkungan serta suasana bergerejanya di setiap negeri dengan sangat baik. Ini misalnya terlihat dari tidak adanya aktifitas kerja yang dilakukan pada hari minggu. Bagi siapa yang tidak beribadah ke gereja pada hari minggu, dilarang keluar dari rumah, sampai jam ibadah selesai.[4]

Namun “Agama Ambon” dinilai merupakan suatu corak baru dalam kekristenan. Kritik terhadap agama Ambon adalah sikap dualisnya yang kuat; percaya kepada Allah Bapa, dan percaya kepada Leluhur. Sebuah kekristenan yang dikatakan tidak terlepas seluruhnya dari ketergantungan pada adat.[5] Suatu kritik yang dilekatkan pada fenomena theistik di dalam Agama. Tuhan telah diposisikan kembali dalam kawasan pantheon, suatu tema klasik yang ditolak oleh kalangan monotheis.

Orientasi seperti itu dinilai sebagai yang “tidak murni” kristen. Kramer menyebutnya sebagai “kristen setengah hati”. Pomeo yang cukup populer pada waktu itu adalah “di sini, di Ambon, agama adalah produk masyarakat, seperti cengkeh”. Hanya dengan membuka penutup orang Ambon, dan agama akan keluar”. Pernyataan yang lain bahwa “pada orang Ambon, agama hanya lapisan varnish yang tipis” [a thin varnish]. Semua itu melukiskan bahwa “Agama Ambon” telah menjadi sesuatu yang dipuja, tetapi juga ditimpali kritikan tajam [yang menyakitkan hati].[6]
Van den End melukiskan, ketika mendapat kritik sebagai orang-orang yang tidak taat beragama, orang-orang Ambon kembali mengkritik orang-orang Belanda, termasuk para pendeta. Pada tahun-tahun pertama orang Belanda belum melakukan kebaktian umum di benteng [New Victoria-Ambon], orang-orang Ambon bertanya “apakah kalian tidak mempunyai agama?” Segera diselenggarakan kebaktian umum untuk membuktikan bahwa orang-orang Belanda itu beragama. Mengenai kehidupan moral, orang-orang Ambon juga ditimpali kritik tajam sebagai yang berkelakuan “barbarism”. Tetapi dari laporan para pendeta Belanda, rupanya kelakuan orang-orang Belanda, termasuk para perempuannya jauh lebih buruk dari kehidupan orang Ambon. Sikap para Pendeta Belanda pun dibandingkan dengan para imam Yesuit yang terlihat saleh, serta mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, dibanding para Pendeta Belanda yang juga lebih banyak melayani pekerjaan VOC.[7]

Dari situasi itu tampak bahwa eksistensi “Agama Ambon” tidak serta merta merupakan fenomena yang negatif. Ia dinilai negatif, justru karena para pengkritik menghakimi “Agama Ambon” dengan tanpa melihat pada struktur kepercayaan asali mereka yang telah lama mengakar. Di sini dapat diajukan beberapa argumen:

Pertama, eksistensi “Agama Ambon” sebagai “setengah kristen” telah mengabaikan fakta bahwa ia menjadi demikian sebagai akibat dari penerapan strategi penginjilan yang kurang memperhatikan budaya setempat. Budaya injil datang secara ekspansif, dan memposisikan diri pada struktur dominan. Komunikasi injil berlangsung, tetapi sebatas pada komunikasi simbol dan penggantian forma, tanpa mampu membangun korelasi dengan tatanan filsafatis masyarakat. Dinamika psikologis masyarakat kurang mendapat perhatian serius. Orang tidak dibimbing bagaimana menjadi percaya, tetapi “dimasukkan” ke dalam suatu Corpus Christianum Belanda.

Kedua, “Agama Ambon” membentuk sebagai bukti dari orientasi politis yang terlalu kuat dari menjadi kristen. Menjadi kristen, berarti bersekutu dengan Belanda. Ini menjadi semacam “merk dagang” yang diiklankan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Dua kepentingan berjalan sekaligus, kepentingan VOC dan Belanda untuk menanamkan pengaruh serta memperluas kekuasaan monopoli, tetapi juga kepentingan orang-orang Ambon [khusus Leitimor] untuk mendapat perlindungan dan bantuan melawan musuh dari Seram dan Leihitu. Otomatis menjadi kristen ibarat menerima pangkat sarani, yang terkesan mengabaikan fungsionalisasi kekristenan itu sendiri.

Ketiga, orang-orang Ambon yang telah dikristenkan [pada masa Katolik, dan kemudian masa Protestan], terlalu lama “ditinggalkan” tanpa ada pelayanan gerejawi. Dalam kondisi demikian, orientasi dan praktek agama lama muncul kembali. Struktur ini yang terkesan diabaikan oleh para pengkritik. Mereka menyangka, kekristenan muda akan sanggup berkembang jika tidak “digembleng” oleh “yang tua”. Padahal justru di tengah masa kekosongan tadi, dan gencarnya ancaman yang mengurung mereka, kekristenan muda itu akan dapat jatuh ke suasana anomi, tanpa ada pegangan yang jelas. Kalangan Freudian akan menunjukkan bahwa, di situlah, bangkit memori akan pengalaman masa lalu, yang membuat “ego” kembali menemukan jati dirinya yang asali. Lalu berkembang di jalur itu, menjadi “ego” yang terasing dari “tubuh barunya”.

Di sini pun dapat dikatakan, “Agama Ambon” dalam kacamata antropologis, adalah suatu bentuk dari perjumpaan dan pengkomunikasian injil di Maluku. Ia menjadi demikian karena komunikasi injil telah memperkenalkan kepada mereka “apa yang mestinya mereka ketahui” tentang injil itu sendiri, dan dalam hal ini juga Tuhan. Tetapi pertanyaannya tidak sebatas pada “apa yang mereka ketahui”.

“Agama Ambon” mendiskrepansi suatu pertanyaan yang lebih mendalam yakni “bagaimana kita kemudian mengetahui apa yang kita [telah] ketahui”. Sebab fenomena “Agama Ambon” memperlihatkan bagimana ajaran-ajaran kristen itu telah dipercayai pada masa-masa yang lampau, melainkan juga bagaimana dan mengapa ia masih bertahan sampai kini.[8] Demikian pun “Agama Ambon” itu sendiri. Kritik terhadapnya mesti dibangun dari pertanyaan-pertanyaan dasar “bagaimana dan mengapa mereka masih percaya pada kepercayaan lama, dan bagaimana serta mengapa ia masih dipraktekkan sampai saat ini, ketika orang-orang Ambon telah menjadi Kristen”.

Kritik yang selama ini ada semata melihat fenomena itu sebagai hal yang mendikotomikan injil dan adat. Padahal fakta sosialnya justu lebih mendalam dari itu; yakni masyarakat telah terkonstruksi ke dalam dua sistem kepercayaan yang tidak mengalami asimilasi secara sempurna. Suatu fakta binaritas. Suatu waktu, dalam kasus tertentu, akan lebih menonjolkan sisi injil, atau sebaliknya sisi adat. Tetapi pada waktu dan kasus yang lain akan menampilkan interelasi kedua sisi itu secara bersama. Misalnya ketika injil dan institusi gereja terlibat di dalam suatu upacara adat, atau sebaliknya ketika adat dipakai sebagai “variasi” dalam ritus agama kristen.

3. Identifikasi Masyarakat Adat
Masyarakat adat di Lease memiliki tipikal yang sama dengan masyarakat adat di Maluku pada umumnya. Suatu masyarakat adat memiliki beberapa ciri yang sangat dominan. Adat sendiri telah dipandang sebagai:

(a). Suatu norma hukum, yang mengatur tata etika (misalnya dalam hal ‘bapanggel’ antara Ua dan Wate), dan kepemilikan dalam suatu masyarakat (misalnya kepemilikan tanah, dati, dusun, sasi, dll).

(b). Suatu norma sosial, yang mengatur pola kekerabatan (misalnya marga, soa, bahkan pela/gandong), pola relasi (ipar, konyadu), pembagian kerja (dalam peran adat, antara laki-laki dan perempuan), sistem komunikasi (melalui bahasa, dan juga pertemuan saniri), dan sistem kerjasama antarlembaga (misalnya Tiga Batu Tungku).

(c). Sistem kepercayaan, yang mengatur tentang carapandang (keyakinan/dogma tradisional), dan tata cara ritual dalam masyarakat.

Dalam pemahaman seperti itu, adat selalu diidentikkan dengan sistem kepercayaan dalam masyarakat. Ini yang menjadi pangkal mengapa dalam banyak kasus, kekristenan menjadi cukup curiga kepada adat, dan melakukan sikap ‘melawan’ adat pada dimensi kepercayaan, tetapi mengakomodasi adat dalam dimensi hukum dan sosial, malah mengambil alih ritus adat tertentu menjadi ritus gerejawi, seperti sasi.

Saya tidak aka masuk dalam debat itu. Baiklah kita melakukan identifikasi pada beberapa segi penting dari masyarakat adat yang dapat dikembangkan dalam model-model PIKOM Gereja.

3.1. Pola Pengaturan Masyarakat. Dalam sistem pengaturan masyarakat adat, setiap masyarakat adalah bagian dari klennya. Dalam bahasa kita di Maluku, soa merupakan organisasi sosial yang mengatur pola hidup masyarakat pada basis keluarga, atau mata rumah. Pada sistem soa, telah terkonstruksi pula jabatan dan peran adat yang harus dimainkan oleh masing-masing soa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini adalah suatu pola yang mengarah pada tertib sosial dalam relasi dan pembagian kerja antar-masyarakat.
Pola ini dalam sejarah masyarakat telah menjadi kekuatan integrasi sosial, sehingga perlu dikembangkan. Bahkan PIKOM pun dituntut untuk menggunakan beragam pola integrasi sosial dalam masyarakat di mana ia ada.

3.2. Pola Kerjasama antar-Institusi. Saya melihat bahwa TIGA BATU TUNGKU merupakan model kerjasama antarinstitusi (Pemerintah Negeri, Gereja, Pendidikan) yang sudah saatnya dikembangkan sebagai kekuatan membangun masyarakat secara bersama-sama. Perbedaan ketiga institusi itu bukanlah suatu titik singgung yang berujung pada konflik.

Dalam banyak kasus, ketidakcocokan Raja dan Pendeta disebabkan oleh faktor-faktor feodalistik, dalam hal ini klaim antara masyarakat dan jemaat. Raja merasa memiliki rakyat, pendeta memiliki jemaat. Padahal rakyat dan jemaat adalah unit sosial yang sama, seperti halnya jemaat berada di dalam negeri, dan negeri adalah satuan dari jemaat. Selain itu, Raja dan Pendeta, lebih sering terjebak dalam ‘kharisma adatis’ dan ‘kharisma religius’, yang ujung-ujungnya adalah persinggungan sikap dan relasi yang berdampak pada masyarakat dan jemaat. Belum lagi jika ketegangan itu bermuara pada paham ‘biking salah par nene moyang tuh capat dapa, biking salah par Tuhan tuh antua lanjar’. Akibatnya terjadi pelecehan spiritual dalam masyarakat/jemaat.

Peran TBT untuk mengatur keseimbangan peran setiap elemen sosial perlu disinergikan pula dengan tugas membangun masyarakat dan jemaat.

Pada beberapa negeri di Lease, ada jabatan Raja Adat (misalnya di Tuhaha) yang dalam struktur TBT yang lama/asli, merupakan figur pemersatu dan tokoh kharismatik yang memiliki peran untuk menyeimbangkan hidup sosial dan keagamaan masyarakat. Posisi Raja Adat ini pun kiranya dimanfaatkan dalam menjaga relasi kerjasama antar-institusi sosial.
Dalam hal ini, PIKOM gereja diharapkan bisa menjaga tertib sosial dalam masyarakat, dan mendorong usaha bersama masyarakat untuk membangun secara bersama-sama pula. PIKOM harus mewujudkan integrasi dan bukan dikotomi apalagi diskriminasi.

3.3. Sistem Kepercayaan. Masyarakat adat selalu dilihat sebagai pewaris agama lama/agama suku, atau kepercayaan kepada Tete Nene Moyang. Gereja selalu berusaha melawannya, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Dalam banyak segi, sikap gereja itu semata-mata dibentuk oleh kecurigaan missiologis, sehingga seluruh praktek adat dipandang gelap. Apa yang disebut ‘menginjilkan adat’ atau ‘mengadatkan injil’ selama ini adalah suatu usaha klasik yang tidak jelas wujudnya. Gereja malah mengembangkan cara-cara yang ambivalen. Setuju dengan praktek adat terentu, melawan praktek adat yang lain. Setuju dengan ritus adat tertentu, asal tidak ‘tiup kuli bia’ atau ‘tidak baca-baca’, tetapi membenarkan ‘kapata adat’ yang telah direformulasi dengan menyebut ‘Tiga Oknum’ (Bapa, Anak dan Roh Kudus).

Pada saat saya melaksanakan ritus ‘bayar harta kawin’ di Tuhaha, Raja Adat Tuhaha berkata begini: “akang pung lengkap ni, dong dua musti minong aer yang papa dong kasi, la musti mandi deng akang lai. Ini aer dari tanah Beinusa. Mar ambel pake doa adat”. Saat itu, saya menjawab begini: “papa biking saja iko yang su di ator adat di sini”. “Mar dong dua pandeta”, katanya. “Iya, mar ini adat, jadi beta yakin adat ini Tuangallah yang kasih par masyarakat Beinusa, jadi iko jua”.

Dialog itu sebenarnya adalah suatu dialog dalam konteks adat. Jabatan Pendeta yang dilibatkan di situ adalah suatu bukti bahwa dalam relasi Injil-Adat, pola yang mesti dikembangkan adalah pola adaptasi. Karena itu, saya memahami adat sebagai berkat TUHAN kepada masyarakat adat melalui tete nene moyang. Jika berkat itu tidak diberi di waktu dahulu, bisa dibayangkan saja, bagaimana keberadaan kita kini. Mungkin kita akan menikah tanpa memperhatikan norma yang semestinya, dan pernikahan pun mungkin tidak akan menjadi tanda persekutuan antar-dua keluarga, atau bahkan dua-komunitas adat yang berbeda. Saya percaya bahwa oleh karena aturan adat itu, saya yang adalah orang Rutung (Pulau Ambon), tidak hanya memperistri perempuan Saparua (Tuhaha), melainkan menjadi bagian dari orang Tuhaha (Saparua).
Dari situ kita belajar mengenai tujuan adaptasi Injil – Adat. Adaptasi injil adat harus melahirkan suatu hakekat kemanusiaan yang baru. Jika injil merombak adat dan tidak berhasil membangun kemanusiaan baru, injil itu tidak ada faedahnya. Sebaliknya pun jika adat tidak membangun kemanusiaan, adat itu tidak ada faedahnya. Injil yang memanusiakan adalah yang berfaedah.

3.4. Mitos. Dalam kaitan dengan sistem kepercayaan itu, masyarakat adat pun memiliki beragam mitos yang menceritakan mengenai asal-muasal negeri, manusia, atau juga suatu marga, dll. Mitos-mitos lain juga mengenai suatu tempat sakral (tampa karas), dll. Artinya, masyarakat adat itu memiliki corak pandangan dunia yang kosmogonik, yang juga terikat pada alam dan lingkungan sekitarnya.

3.5. Simbol dan ritus Budaya. Masyarakat adat itu kaya simbol. Bahkan seluruh carapandang atau pandangan dunia mereka dibentuk oleh simbol itu pula. Dalam hal ini, baileu selalu dijadikan simbol pusat, dan pusat makrokosmos suatu negeri. Baileu pun membentuk cara hidup dan pembagian peran dan kerja masing-masing kelompok (soa) dalam suatu negeri. Ini bisa dilihat dalam tradisi ‘tutu baileu’ atau ‘nai baileu’ atau ‘pemancangan tiang baileu’.

Simbol lain yang cukup kuat yaitu negeri lama. Pada beberapa negeri tertentu, negeri lama dilihat sebagai titik pusat dari suatu komunitas adat yang besar, misalnya Pusa Pulu di Nusalaut. Saya pun mendengar, bahwa orang Ullath, Itawaka dan Tuhaha, juga memiliki sejarah yang menghubungkan mereka pada satu negeri lama, sehingga tiga negeri ini pun mengakui dirinya sebagai ‘basudara’ (hal ini bisa saja dikoreksi, karena ini baru informasi yang saya dengar).
Ritus-ritus budaya yang menarik misalnya “kora-kora raja” di Ullath, atau juga Eklesiano (meja kawin) di Haria, adalah ritus yang perlu sekali dikembangkan dalam forma-forma Penginjilan yang transformatif. Terlebih lagi sasi lompa di Haruku, adalah suatu pola ritus yang bisa menjadi model dari PIKOM yang mengarah kepada kemanusiaan dan juga keutuhan ciptaan.
Berbagai ritus adat lain, termasuk hahi di Hulaliu, atau juga ritus pelantikan Raja di setiap negeri, sampai pada Pela/Gandong, dengan negeri-negeri Salam, adalah bentuk-bentuk ritus adat yang menantang gereja tentang bagaimana membangun suatu model PIKOM yang transformatif.

3.6. Ide Ketuhanan. Tuangallah, Allah Bapa, O Allah, Tuanggalah-Tuangisa, Elmeseh, adalah sebutan-sebutan untuk TUHAN yang ternyata telah ‘dikorupsi’ makna hakikinya oleh orang Lease Sendiri. Saya agak sulit mencari makna ide Upu Lanite atau Upu Tepele dalam bahasa orang Lease. Yang paling sering dijumpai adalah ide-ide ketuhanan sebagai warisan kekristenan yang ternyata telah mengalami pergeseran dalam ruang penggunaan dan pemaknaannya.
Orang Ambon-Lease memang telah menjadikan sebutan “Tuangallah, atau Tuangisa” sebagai semacam ucapan kasar (sarkastik) tentang Tuhan, dan karena itu dikaitkan dengan ‘basumpah’ atau ‘menyebut nama Tuhan dengan sia-sia’. Padahal jika kita teliti lebih mendalam, ide-ide itu adalah penyebutan TUHAN sesuai dengan konteks membahasa orang-orang Lease.
Apalagi Elmeseh. Ide ini dalam masyarakat Nusalaut hanya ada di Ameth. Pertanyaan kita ialah, mengapa enam negeri lainnya di Nusalaut yang semuanya Kristen, tidak menggunakan ide Elmeseh itu? Tetapi hanya orang Ameth? Hal ini tidak bisa dipahami sebagai fenomena membahasa an-sich, karena orang Nusalaut menganut satu rumpun bahasa yang sama.
Perbedaan hanya pada dialeg. Secara teologis, ini adalah ide ketuhanan lokal yang diproduksi oleh orang Ameth untuk menyebut TUHAN, dalam ISA Al Masih. Di sini sebenarnya kuatnya pengaruh bahasa Arab (bukan Islam) dalam hidup masyarakat kita.

Komunikasi injil harus pula bisa melihat ide-ide ketuhanan itu, dan melakukan transformasi terhadapnya. Sebab ide-ide itu menunjukkan telah ada struktur kepercayaan dasar yang perlu dikembangkan sesuai dengan jalur yang semestinya, dan tidak dibiarkan ‘terlecehkan’.

4. Penutup
Demikian beberapa hal untuk didiskusikan.


Materi Pelatihan Kader PIKOM
Klasis Pulau-pulau Lease
Ullath, 16-20 November 2008


[1] lht. Th. Van den End, Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia, jilid 1, 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, h.71,73
[2] ibid, h.23
[3] Bahkan Joseph Kam pun menemukan corak kekristenan yang tekun di kalangan orang-orang Ambon, ketika ia kemudian tahu bahwa di setiap rumah pada malam hari, terdengar kidung-kidung rohani dan orang khusuk berdoa. Baca. I.H. Enklaar, Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987
[4] Kraemer mencontohkan hubungan orang-orang Salam Tulehu dengan Sarane Waay. Pada setiap hari minggu orang-orang Tulehu yang melintasi negeri Waay tidak sedikitpun bersuara [baribot], demikian pun orang-orang Waay tidak akan mengambil babi melintasi negeri Tulehu. Suasana yang sama tampak pula di Tial, di mana penduduk Islam dan Kristen tinggal berbaur. Kraemer, op.cit, h.22
[5] Padahal kekristenan di manapun akan menampilkan fenomena itu sebagai hasil kontekstualisasi dengan lingkungannya sendiri. Kekristenan di Eropa pun adalah hasil yang demikian.
[6] Ibid, h.19
[7] Van den End, op.cit, h.74
[8] bnd. David J. Hesselgrave,Communicating Christ Cross-Culturally: An Introduction to Missionary Communication, Michigan: Grand Rapids, 1978, h. 199

Comments

Ferdy Lalala said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara