KETIKA TUHAN MEMILIH MENJADI MANUSIA

(Memahami Inkarnasi sebagai Pilihan TUHAN atau Rekayasa Kristen)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. “Jang marah kalu seng batul”


Maksud saya dengan sub topik di atas semata-mata untuk menghadapkan kepada kita bahwa refleksi atau pemahaman seseorang mengenai TUHAN bisa saja menimbulkan kontroversi, atau juga melahirkan pemahaman beriman yang baru. Mengapa demikian, sebab TUHAN telah menjadi keyakinan dasar dan ultima semua manusia. Ketika pemahaman itu berubah menjadi “keyakinan” atau ketika manusia “mengimani” sang TUHAN itu, maka mereka bukan saja akan terusik jika ada pemahaman lain yang berbeda dari keyakinannya, tetapi juga “menjauhkan” TUHAN dari sifat-sifat yang “manusiawi”. Seakan TUHAN itu tidak bisa atau “tidak boleh dipercayai” beraktivitas seperti halnya manusia.

Ini menjadi masalah bagi kekristenan. Ketika kita meyakini bahwa TUHAN itu telah menjadi manusia melalui inkarnasi diri-Nya di dalam YESUS, kita kemudian sepertinya “menjauhkan” TUHAN itu dari sifat-sifat “manusiawi”. Padahal “menjadi manusia” (being human) adalah cara yang TUHAN pilih untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Dengan perkenalan itu, manusia memahami TUHAN tidak lagi sebagai sesosok makhluk asing dari luar angkasa yang tiba-tiba datang ke dunia, melainkan memahami-Nya secara langsung melalui pengalaman diri-Nya itu ~Ia lahir dari seorang perempuan yang mengandungnya, ia menyusui pada ibunya, ia belajar menjadi seperti tukang kayu pada bapaknya, ia bertumbuh dalam lingkungan pergaulan sehari-hari bersama teman-teman sebayanya, dan bahkan sampai dewasa pun ia bergaul bersama dengan semua orang di zamannya itu.

Saya tidak bermaksud memperpanjang kontroversi seputar TUHAN dan YESUS, sebab ada sesuatu yang lebih produktif untuk dibicarakan di sini yaitu memahami sifat-sifat YESUS yang membuatnya menjadi sedemikian idealnya, yang dengannya kita semakin mengerti perbuatan-perbuatan TUHAN secara nyata dalam hidup manusia. Sebab dengan memilih “menjadi” manusia, TUHAN itu “telah ada di dalam dunia”, dan “diam di antara kita (manusia)” (bnd. Yoh. 1:14). Artinya, ia telah benar-benar masuk ke dalam medan hidup manusia, dan karena itu ia dapat dipahami sebagai “TUHAN dalam sejarah manusia”.

2. YESUS ~REKONSTRUKSI TUHAN YANG BARU

Jika kita membaca keempat injil (Markus, Lukas, Matius dan Yohanes) kita sebetulnya membaca penjelasan mereka mengenai “bagaimana YESUS itu memiliki (atau diberi) kualitas diri yang lebih dari manusia umumnya”. Atau secara teologis (Kristologis) mengenai “bagaimana ia diberi ciri-ciri keilahian, yang membuatnya menjadi berbeda dari manusia kebanyakan”.

Pencirian keilahian YESUS itu dilakukan oleh kekristenan pada masa jauh setelah YESUS mati. Pencirian itu dimaksudkan untuk membentuk suatu paham baru (Kristen) menjadi paham yang otonom dan memiliki otoritas tersendiri sebagai suatu aliran resmi dalam dunia agama-agama kala itu. Aspek utamanya adalah membangun pemahaman mengenai “TUHAN”, yang melahirkan iman kepada TUHAN itu pula. Di sini kekristenan melakukan suatu tindakan revolusioner terhadap pemahaman KETUHANAN Yahudi yang transenden ~memahami TUHAN sebagai makhluk adikodrati yang ada pada wilayah abstrak. Apa yang dilakukan kekristenan adalah mendekonstruksi TUHAN yang transenden itu ke dalam format baru yang imanen, yaitu TUHAN yang mengambil rupa dalam diri seorang manusia.

Dekonstruksi itu melahirkan suatu cara memahami yang baru, yaitu melihat TUHAN di dalam diri seorang manusia yang ideal, yaitu YESUS. Karena itu, injil memperlihatkan ~tidak lebih~ dari suatu pemberian kualitas ketuhanan kepada YESUS, sehingga ia dipahami dan kemudian diyakini sebagai TUHAN itu sendiri. Injil, seperti Markus, Lukas dan Matius, mencoba merekonstruksi sekelumit sejarah kehidupan seorang yang bernama YESUS, sesuai dengan sumber-sumber lisan yang beredar di masyarakat kala itu. Ini penting dipahami sebab injil itu ditulis pada masa kemudian, hampir empat puluh sampai tujuh puluh tahun setelah YESUS itu mati. Mereka menginterpretasi sumber-sumber yang ada, dan bukan merekam pernyataan saksi mata (Spong, 2005:279).

Penulisan injil memuat gambaran baru mengenai kehidupan YESUS yang dijadikan sebagai figur sentral di dalam masa awal munculnya kekristenan (Wilken, 1984:xv). Dalam tulisan injil itu, kita menemukan beberapa gambaran mengenai YESUS.

Pertama, Injil Markus, Matius dan Lukas, sama-sama hendak menjelaskan mengenai siapa YESUS itu, dengan memberi kepadanya ciri PENTUHANAN yang jelas.

- Markus, sebagai injil tertua (ditulis sekitar tahun 70-an) menyusun ceritanya dengan maksud menjelaskan detail tentang “YESUS” yang diberi gelar “KRISTUS” (Mark. 1:1). Tetapi penginjil ini justru memakai model “kemesiasan Yahudi”, dengan menunjuk pada nubuat Yesaya sebagai pendahuluan penjelasannya mengenai YESUS. Tidak hanya itu, Markus menghadirkan YESUS melalui perantaraan Yohanes Pembaptis, sebagai tokoh yang bertindak mengokohkan KETUHANAN YESUS. Karena itu, baptisan merupakan cerita yang mengokohkan KETUHANAN YESUS, dalam injil Markus, melalui suara dari langit “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11). Artinya Markus berbeda dengan Paulus yang mengokohkan KETUHANAN YESUS pada peristiwa kebangkitan.

- Matius, yang ditulis pada kurun waktu 80-an, sebetulnya masih melanjutkan model “kemesiasan Yahudi”, tetapi Matius memberi tempat pada malaikat sebagai tokoh supranatural yang memberitahu Maria dan Yusuf mengenai kelahiran seorang anak, yang harus dinamai YESUS (bnd. Peristiwa yang sama pada Sara dan Abraham dalam Kej. 18:10-15). Di sini sebetulnya Roh Kudus telah memainkan peran penting dalam peristiwa PENTUHANAN YESUS. Sebab Matius mengatakan “...sebab anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus” (Mat. 1:20c). Dari catatan Matius ada dua hal yang penting, yaitu (a) YESUS yang digambarkannya memiliki garis keleluhuran yang jelas dalam keyahudian, dari suku Yehuda, suku yang oleh PL ditentukan sebagai pemimpin; (b) kelahirannya adalah sebuah peristiwa yang unik, berbeda dari kelahiran anak-anak manusia umumnya. Di sini Matius menggunakan gembaran Kejadian 18, 21 mengenai kelahiran Ishak, dengan memberi bobot tertentu pada kelahiran YESUS. Bahwa Sara adalah perempuan yang telah mati haid (menopause), tetapi dikaruniai TUHAN seorang anak laki-laki (catatan: tidak ada penjelasan mengenai Abraham “menyetubuhi” Sara sehingga ia hamil).[1] Berbeda dengan Sara, Maria ibu YESUS adalah seorang “anak dara” yang mengandung karena Roh Kudus (Mat. 1:18; bnd. Yes. 7:14). Tafsir umum terhadapnya ialah Maria hamil bukan sebagai hasil kontak sexual dengan Yusuf, melainkan “intervensi” TUHAN melalui Roh Kudus. Matius melukiskan PENTUHANAN YESUS itu melalui sebuah kisah mujisat/keajaiban.

- Dengan mengembangkan sumber Markus dan Matius, Lukas-lah (ditulis pada akhir 80-an – awal 90-an) memberi sebuah kisah yang cukup rapih. Ia lebih banyak memakai sumber Matius, dan karena itu malaikat Gabriel (Matius tidak menyebut nama malaikat itu) juga merupakan tokoh yang berperan dalam kisah PENTUHANAN YESUS. Sebetulnya dalam injil ini ada dua kisah kelahiran yang memiliki kualitas yang sama, yaitu kelahiran YOHANES PEMBAPTIS dan YESUS. YOHANES PEMBAPTIS lahir juga atas intervensi TUHAN kepada Zakaria yang sudah tua dan Elizabeth (bnd. Abram dan Sara) perempuan mandul. Kedua, kalahiran YESUS yang oleh Lukas melalui “seorang perawan”. PENTUHANAN YESUS dalam injil ini bersumber dari “kuasa Ilahi” yang mengambil prakarsa dalam hidup manusia. Karena itu YESUS dikukuhkan sebagai “Yang Kudus” dan “Anak ALLAH” (Luk. 1:32).

- Sementara injil Yohanes (akhir tahun 90-an) sama sekali tidak merekam kisah kelahiran YESUS. Sebab Yohanes tidak mengulas mengenai YESUS Sejarah, sebaliknya ia mengintepretasi YESUS dari Nazareth dalam sebuah proses mediasi kuasa ALLAH di dalam diri seorang manusia. Yohanes menjelaskan mengenai “Firman yang telah menjadi daging dan diam di antara kita” (Yoh. 1:1,14). Yohanes berkonsentrasi pada gambaran-gambaran simbolik yang merepresentasi “kuasa TUHAN” (Christpower), dengan memberi sebuah sifat tambahan kepada YESUS melalui rumusan “AKU ADALAH...” (ego eimi) sebagai formulasi langsung dari YESUS.

- Paulus-lah (ditulis dalam kurun tahun 30-an) yang pertama-tama memahami PENTUHANAN YESUS melalui kebangkitan diri-Nya. Bahwa kebangkitan tubuh adalah sebuah tindakan Ilahi yang membuat YESUS masuk ke dalam KEALAHANNNYA (Spong, 1973:88,89; 2005:280-1).

Kedua, PENTUHANAN YESUS dalam kekristenan dilihat dari pemberian gelar-gelar atau sifat-sifat atributif TUHAN (devine charachter) kepada YESUS. Kita mencatat ada beragam gelar yang diberi kekristenan kepada YESUS untuk semakin mengokohkan KETUHANANNYA. Sesungguhnya gelar-gelar itu diberi berdasarkan pengalaman kekristenan dengan TUHAN.

Saya kira kita harus mulai dengan memahami siapa TUHAN itu ~walau mungkin sebagian kalangan memandang bahwa realitas TUHAN itu sudah final dan tidak perlu diutak-atik lagi. Saya setuju dengan cara memahami seperti itu, tetapi yang dimaksudkan di sini ialah bagaimana pemahaman mengenai TUHAN itu telah membuat kita menjadi sedemikian terpautnya pada TUHAN, dan kemudian bagaimana pemahaman itu terimplementasi dalam hubungan kemanusiaan kita sesehari.

TUHAN itu bukan manusia yang berada di angkasa, yang berpikir dan bertindak, atau yang memiliki perasaan tertentu (seperti Kasih). TUHAN itu adalah sumber kehidupan. TUHAN itu tampak di mana ada kehidupan, dan Ia bukanlah makhluk asing atau yang terpisah dari hidup itu. TUHAN itu adalah sumber cinta. TUHAN itu ada ketika ada cinta yang terbagi, dan Dia tidak terasing atau terpisahkan dari cinta itu. TUHAN adalah dasar dari semua yang hidup. TUHAN itu tampak di mana seseorang mampu merangkul orang lain, dan ia tidak terpisahkan atau asing dari rangkulan itu (Spong, 1973:89).

Injil, dan juga kita kemudian menyebut YESUS KRISTUS sebagai sebuah identitas diri sang YESUS itu sendiri. Padahal KRISTUS itu adalah atributif TUHAN yang dikenakan kepada YESUS. Terjemahan yang sederhana ialah TUHAN YESUS. Lalu muncul pemahaman bahwa TUHAN itu adalah YESUS, atau TUHAN itu hanyalah YESUS. Ini adalah suatu klaim ketuhanan yang kerap membuat TUHAN itu sendiri terkurung di dalam “batasan-batasan” (boundaries) yang disusun menurut proyeksi manusia atau klaim agama tertentu. Padahal jika kita memahami TUHAN sebagai dasar dari semua yang hidup (groud of being), maka IA tidak bisa dibatasi oleh klaim agama atau sistem religius dan ritus agama itu sendiri.

YESUS adalah nama, dan KRISTUS adalah gelar yang diberi kepada nama itu; suatu gelar teologis. YESUS itu tokoh historik; sedangkan KRISTUS itu melampaui sejarah. YESUS adalah manusia, lemah dan terbatas, sedangkan KRISTUS itu ilahi, kuat dan tidak terbatas. YESUS memiliki ibu dan bapak, leluhur, dan kekayaan kemanusiaan. Ia dilahirkan. Ia mati. KRISTUS adalah suatu prinsip yang melampaui semua kapasitas dan pengalaman kemanusiaan itu. YESUS itu adalah manusia yang melaluiNya manusia dapat menyaksikan betapa TUHAN itu beroperasi secara aktif di dalam hidup manusia. Karena itu baru muncul klaim “ENGKAU ADALAH KRISTUS”.

Sebagai yang demikian, YESUS memiliki kualitas yang cukup handal untuk memerankan perbuatan-perbuatan TUHAN (divine deity) di dalam hidup manusia. Dari Perjanjian Baru, dan juga pengalaman beriman, kita melihat bahwa YESUS itu adalah seseorang yang memiliki kualitas hidup yang sangat luar biasa dibandingkan manusia lainnya. Ia secara jelas mempraktekkan “pemerintahan TUHAN” di dalam hidup manusia, di mana setiap hal yang tidak mungkin, bisa dicapai/terjadi. Ia menentang diskriminasi (atas ras ~Samaria-Yahudi, atas gender ~laki-laki – Perempuan, atas agama ~kafir – Yahudi, atas status sipil ~budak dan orang merdeka, dll). Dia menyingkirkan sekat-sekat sosial di dalam masyarakat, dan sambil melakukan itu, dia membentuk suatu tatanan sosial yang baru, di mana setiap orang bisa berelasi satu sama lain secara setara. Ia mengembangkan komunikasi kritis dengan pemerintah, dan karena itu pun menentang tindakan-tindakan yang menindas masyarakat, termasuk pajak. Ia menerobos semua itu tanpa rasa takut, ia mengajarkan orang banyak untuk tidak “menjadi takut” dalam melakukan tindakan-tindakan yang baik; ia menganjurkan orang banyak untuk melakukan perlawanan terhadap kesewenangan hukum dan pemerintahan (bnd. Hal menampar pipi kiri, beri pipi kanan).

YESUS itu menyatakan kehadiran TUHAN, yang melaluinya kita masuk ke dalam realitas TUHAN; memahami realitas TUHAN yang semula transenden dan terkurung pada lingkungan agama.

YESUS membuat TUHAN itu dikenal dan semakin dapat dimengerti. Dengan kata lain, inkarnasi telah membuat manusia mengenal dengan benar mengapa TUHAN memilih menjadi manusia. YESUS, dengan gelar apa pun yang kita beri padanya, telah membimbing kita untuk memahami siapa TUHAN itu: TUHAN dalam dirinya, TUHAN dalam sifatnya, TUHAN dalam kemahakuasaannya, dan TUHAN dalam suatu lingkungan yang luas, yaitu di alam, dalam relasi dengan sesama dan seterusnya.

YESUS membuat kita memahami TUHAN secara baru.

3. Amin dan Iman

Suatu hari Amin bertanya kepada Iman: “apakah engkau mengenal aku?”. Iman menundukkan kepalanya beberapa saat. Amin menyela, “loh, apa yang kau pikirkan?”. “Aku lagi mengenang saat pertama kita bertemu”, jawab Iman. “Lalu, apakah setelah kita berteman sampai saat ini, engkau sudah benar-benar mengenal aku?”, tanya Amin lagi. “Itulah yang membuatku tadi merenung”, sanggah Iman.

Mereka kemudian terdiam beberapa saat, dan Iman berkata: “Amin”. Amin jadi bingung sendiri. “Maksud kamu?”, tanyanya. “Amin”, jawab Iman lagi. “Maksud kamu”, tanya Iman lagi. “Ya Amin. Kamu Amin – kan?”, tegas Iman.

Pernah disampaikan dalam - Diskusi di AMGPM Cabang Bethania, 27 April 2006 -



[1] Dalam tradisi PL, peristiwa kehamilan seorang perempuan selalu digambarkan sebagai hasil kontak biologis (sexual intercourse) seorang laki-laki (suami) dengan perempuan (istri). Lihatlah Kej. 4:1, 25, Adam “bersetubuh” dengan Hawa; ay. 17 – Kain “bersetubuh” dengan istrinya...; 16:2,4 – Abram “menghampiri” Hagar lalu Hagar mengandung...” dll.

Comments

Anonymous said…
salam baku dapa bu
bagaimana dengan inkarnasi jika dilihat dari sisi mitos?
sebab signifikasi mitos terletak di dalam kekuatan pengungkapannya ketimbang dalam kebenaran mutlaknya yang tidak dapat diekspresikan. Namun dalam hal tertentu, mitos memang menyampaikan sesuatu yang tidak dapat disampaikan kecuali dengan mitos, karena mitos ini memperluas metafora. Metafora dapat diartikan sebagai sesuatu yang ‘digenerasikan’ oleh hubungan dua bagian dari berbagai ide. Metafora melibatkan sebuah pelintasan makna: suatu istilah diterangkan dengan menambahkan kepadanya sebuah asosiasi istilah lainnya. Keterbukaan jaringan asosiasi ini mencegah metafora ditafsirkan secara literal, karena itu tidak bisa dibatasi pada asosiasi-asosiasi tertentu saja. Saat metafora semakin berkembang, maka batas-batas semantik mitos semakin berkurang sehingga tidak dapat digantikan oleh pernyataan yang sepenuhnya literal.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara