Buah Kerendahan Hati

Amsal 22:4-9
[Pdt. E.T. Maspaitella]

Membaca Amsal akan tetap mengingatkan kita betapa hikmat itu adalah hal yang penting bagi hidup. Berhikmat telah menjadi semacam ‘perintah kehidupan’, yaitu agar manusia berusaha mencari dan memperolehnya.

Sikap etis yang dituntut dari manusia dalam mencari dan memperoleh hikmat adalah ‘takut TUHAN’, yang sekaligus menjadi ‘norma’ dari usaha mencari dan memperoleh hikmat itu. Di dalam sikap takut Tuhan itu, manusia diharapkan bertindak, bertutur kata, berpikir, dan menyeimbangkan tingkah laku hidup sehari-hari dengan apa yang dikehendaki TUHAN. Singkatnya hidup tertib, dan berjalan pada jalan-jalan yang benar, yang mendatangkan kehidupan. Karena itu, berhikmat adalah cita-cita setiap orang percaya yang harus diraihnya.
Amsal 22:4-9 melihat selain takut TUHAN, sikap etis berikutnya yang penting adalah kerendahan hati. Point ini mengingatkan kita tentang manfaat ‘hati’ (leb) sebagai pusat kendali dan pusat pertimbangan seluruh keputusan etis di dalam hidup manusia. Hati menjadi pusat kendali intelektualitas dan emosional, atau pusat kendali spiritual dan perilaku sehari-hari.

Tuntutan ‘kerendahan hati’ dimaksudkan agar manusia mampu menjaga keseimbangan antara perilaku spiritual (iman) dan perilaku etis, atau perbuatan setiap hari. Dalam ay.4, kerendahan hati dan takut TUHAN diumpamakan sebagai kekayaan, kehirmatan dan kehidupan. Tiga simbol itu adalah manifestasi dari ‘buah’ kerendahan hati dan takut TUHAN. Artinya kerendahan hati [dan takut TUHAN] adalah sesuatu yang berharga dan harus dikejar dan dimiliki. Jika seseorang telah memilikinya, ia harus menjaga dan memeliharanya. Sikap menjaga dan memelihara ‘kerendahan hati’ dan ‘takut TUHAN’ adalah sikap orang berhikmat yang akan mampu menjaga perilaku hidupnya agar tetap ‘menjadi baik’.

Orang benar akan menikmati ‘ganjaran’ yang baik karena ‘kerendahan hati’ itu, tidak demikian orang fasik. Di sini letak perbedaan kualitas perilaku orang berhikmat dan orang fasik. Perbedaan kualitas perilaku itu memperlihatkan bagaimana suasana kehidupan keduanya. Dan Amsal memaparkan itu kepada kita agar kita semakin mampu mengendalikan perilaku kita. Mana yang mesti diikuti.

Tema Amsal ini kemudian dibagi lagi ke dalam tanggungjawab pendidikan kepada orang-orang muda (ay.6). Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan hikmat, agar orang-orang tua (guru hikmat) menunjukkan jalan-jalan yang baik, dan orang muda diharapkan mengikutinya. Apa tujuannya? Agar orang muda itu, ketika kelak menjadi tua, tetap memiliki kualitas hidup yang baik. Tujuan itu adalah gambaran dari manfaatnya belajar hikmat. Manfaat lain ialah agar tatanan kebaikan, kebenaran, atau tatanan hidup yang baik tetap terpelihara dari generasi ke generasi.

Dimensi berikut dari ajaran Amsal ini adalah kerendahan dan kebaikan hati melahirkan sikap hidup saling berbagi atau menumbuhkan kepedulian sosial. Ini berarti, ajaran hikmat tidak hanya terkurung pada aspek-aspek spiritualitas, melainkan menekankan aspek sosial yang lebih terbuka. Tuntutan pelayanan kepada orang-orang miskin adalah salah satu contoh dari perbutan hikmat dalam hidup sesehari.

Dengan membaca hikmat dalam kerangka seperti itu, umat diharapkan bisa mewujudkan suatu tatanan hidup bersama yang saling menopang dan saling berbagi. Hikmat memberi kepada manusia tanggungjawab sosial sebagai manifestasi tanggungjawab beriman atau manifestasi dari ‘takut TUHAN.’ Amin

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara