BEBERAPA ISU SOSIAL DAN AGAMA DI KOTA AMBON:

Catatan Reflektif untuk Klasis GPM Kota Ambon
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Beberapa Kecenderungan
Pomeo bahwa “kota adalah jantung perubahan masyarakat” tidak bisa dielakkan oleh setiap orang, termasuk bahwa “perubahan terjadi secara cepat di kota”. Itu pertanda bahwa kota bukan hanya suatu lingkungan sosial yang heterogen, melainkan mobilitas masyarakat kota (baca. Jemaat kota) juga terjadi secara cepat dan terus berkembang (atau berubah) dari waktu ke waktu.

Apa yang kita sebut sebagai “persaingan” atau social competition berlangsung dengan melibatkan seluruh “energi” individu dan kelompok, termasuk organisasi sosial di dalam masyarakat (termasuk gereja). Energi di sini adalah sebuah gerakan untuk “membangun” sistem resistensi (ketahanan) diri dan juga kontrol sosial secara efektif terhadap perubahan itu sendiri. Sebab di dalam masyarakat (baca. Jemaat) yang semakin kompleks, setiap elemen sosial harus mampu memainkan peran kontrol sosial secara baik, karena terjadi banyak distorsi atau “gangguan” dan “ketimpangan” di dalam gerak perubahan pada semua segmen hidup masyarakat.

Menempatkan diri (secara ekklesiologis dan teologis) di tengah suatu masyarakat kota, menghadapkan gereja pada suatu kenyataan bahwa “ia” merupakan bagian dari suatu kumpulan masyarakat yang jamak (plural). Gereja hanyalah sekelompok orang di dalam pergaulan antar-manusia yang luas dan terbuka. Gereja adalah salah satu unit dan organisasi sosial-keagamaan yang berperan bersama dengan elemen-elemen sosial lainnya, dan menghadapi isu-isu kemanusiaan yang sama; walau dengan pendekatan yang (sedikit) berbeda.

Masalah-masalah sosial yang terjadi itu meliputi berbagai aspek hidup masyarakat, dan dialami bukan saja oleh orang-orang kristen, tetapi masalah yang sama, dengan tingkat pengaruh yang sama pula, bisa juga terjadi pada orang-orang Islam, dan lainnya. Artinya, masalah kemanusiaan itu tidak “beragama”, karena masalah itu adalah suatu kenyataan disfungsi dan kesenjangan sosial yang terjadi secara universal. Adalah suatu kebetulan secara sosial jika masalah itu menimpa seseorang yang kebetulan pula beragama kristen, atau kebetulan adalah anggota jemaat kita.

Perspektif itu harus dikemukakan untuk mengajak kita melihat peran gereja sebagai peran yang universal terhadap kemanusiaan; dan melihat tanggungjawab misi gereja tanpa mengembangkan “kecurigaan misiologis”, sebaliknya misi sebagai bagian dari panggilan pelayanan (calling for service) yang diberi TUHAN kepada gereja. Karena itu melihat gereja sebagai “agen berkat” TUHAN bagi manusia dan dunia. Suatu tugas penatalayanan yang dilakukan gereja dalam semangat love, justice, peace, and integrity of creation.

Karena itu, kehadiran gereja di tengah kota yang heterogen dan mobile adalah suatu pergulatan teologi sebagai akta kehidupan (doing theology as the act of live), yaitu teologi yang lahir dari kesadaran tekstual (textual consciousness) bahwa gereja mendapat amanat pelayanan dari TUHAN. Kesadaran itu melahirkan komitmen kontekstual (contextualization commitment) bahwa gereja harus bekerja di dalam dunia di mana ia berada, sebab gereja adalah produk masyarakat di dalam dunia yang menyatakan imannya kepada TUHAN dari pengalaman hidup mereka.

Tulisan sederhana ini mencoba membuat pemetaan terhadap beberapa isu sosial dan agama di Kota Ambon yang kiranya menjadi bagian dari proses refleksi bersama dalam menata tanggungjawab dan peran gereja di Kota Ambon, terutama Klasis GPM kota Ambon. Catatan ini adalah sekelumit pengalaman saya “berteologi” di Kota Ambon selama masa Vikaris, dan hidup sebagai orang Ambon di tengah kota ini pula.

2. Isu-isu yang mengemuka
Ada banyak problem yang terjadi di dalam masyarakat kota Ambon sebagai bagian dari dinamika sosialnya. Beberapa yang menonjol dan memerlukan perenungan bersama antara lain:

a. Konteks hubungan “orang basudara”. Beberapa kenyataan terkait dengan masalah ini antara lain:
- Kita baru saja pulih dari sebuah sejarah kelam relasi “orang basudara”; yakni sejarah konflik yang melibatkan orang-orang “Salam-Sarane” dalam suatu pertikaian yang memakan ribuan korban jiwa dan material.

- Karena itu proses rehabilitasi sosial dan psikhis menjadi agenda yang penting dan tetap harus ditempatkan dalam proses membangun peace and trust building dalam relasi antar-sesama. Upaya rehabilitasi itu harus dapat menciptakan rasa aman, adil, dan rasa saling percaya (kembali), serta menekan tingkat traumatik dan bahkan “ketakutan” (fearness) dan kecurigaan (prejudice) terhadap orang lain.

- Tetapi masih ada potensi sosial yang memiliki kerentanan tertentu, yakni: pertama, konteks bermukim yang terpisah (segregatif) antara komunitas masyarakat, termasuk pasar kaget, oleh faktor agama. Kita sudah tidak menjumpai lagi lingkungan permukiman campuran dalam kota Ambon. Menyebut “beta tinggal di Karpan” kini secara langsung menunjuk bahwa “beta Kristen”, sebaliknya “beta orang Batumerah” sekaligus menegaskan “beta Islam”. Berbeda dari waktu dulu lalu kita menyebut “Jemaat GPM Bethabara” dan karena itu kita berada di Batumerah, dan begitu sebaliknya. Kedua, kondisi itu dapat menumbuhkan rasa eksklusifisme baru dan solidaritas internal dibangun atas dasar sentimen agama (religious interese) sehingga fundamentalisme hampir tidak bisa dipungkiri. Ketiga, kenyataan relasi “orang basudara” itu menghadapi suatu kondisi yang ironi, atas mengentalnya tuntutan “perimbangan” dalam akses publik. Isu “perimbangan” sebagai Keputusan Malino justru melahirkan ketegangan baru dalam hal perolehan hak-hak publik baik di pemerintahan, pendidikan umum, pembangunan, pembagian lahan usaha (seperti di Pasar Mardika), dll.

- Kondisi kerentanan tadi mengisyaratkan bahwa konteks “orang basudara” di Ambon dihadapkan pada tantangan pluralisme yang serius. Usaha membangun “kesadaran pluralisme” di kalangan warga gereja dan umat beragama adalah usaha yang harus dapat melahirkan sikap saling terbuka dan mengakui kelebihan dan potensi sesama (secara kualitatif).

b. Konteks ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa indikator yang perlu direfleksikan di sini antara lain:
- Terserapnya warga jemaat sebagai pedangang di pasar-pasar kaget ditambah dengan munculnya profesi seperti penarik becak, tukang ojek, penjual tas kresek, tukang sol sepatu, pembuat cap/stempel, dll, menunjukkan bahwa mentalitas usaha ekonomi jemaat telah bertumbuh. Gereja dihadapkan pada usaha pembentukan mentalitas usaha yang jujur, santun, disiplin, setia, dan memahami kerja sebagai bagian dari panggilan TUHAN, agar orang bekerja dengan tetap mempertahankan etika-moral yang baik.

- Jenis-jenis usaha kecil lain yang ditekuni masyarakat, harus terus dirangsang.

- Persaingan usaha di Kota Ambon sebagai bagian dari dampak pembangunan telah menempatkan warga jemaat di dalamnya. Ada warga jemaat yang menjadi pengusaha-pengusaha menengah pada berbagai bidang jasa (kontraktor, dll), di samping PNS, dan profesi lainnya, semakin memaksa gereja melakukan pelayanan yang menyentuh jemaat pada konteks profesi mereka. [Dalam PIP/RIPP diisyaratkan pelayanan jemaat profesi, demikian pun dalam Strategi Pelaksanaan dan Sistem Alokasi Pegawai Organik (SP-SAPO) GPM, dan Kurikulum Pembinaan Umat GPM, sudah ada arah dan muatan kurikulumnya. Menjadi pekerjaan kita di Kota Ambon untuk menerapkan pola pelayanan jemaat profesi itu].

- Masih adanya kantong-kantong tradisional di dalam jemaat-jemaat kita, seperti warga di “Kampung Ullath, Kampung Tepa, Kampung Aboru, dll” merupakan fenomena sosial yang turut membentuk iklim usaha masyarakat. Maksudnya pada kantong-kantong permukiman seperti itu, sering muncul sikap tradisional sebagai akibat dari belum berubahnya kultur di desa ketika tinggal di kota.

- Masih adanya keluarga-keluarga miskin adalah konteks ekonomi dan kesejahteraan yang tidak bisa dipungkiri.

- Demikian pun kecenderungan tingginya angka pengangguran, termasuk pengangguran intelektual, bisa memancing angka kerawanan sosial tertentu di kota. Di samping itu gejala ini memperlihatkan terabaikan kelompok potensial dalam berbagai dinamika perubahan di dalam gereja dan di masyarakat. Konteks ini perlu dilihat di jemaat-jemaat, dan bila perlu datanya dihimpun untuk menentukan program pemberdayaan jemaat yang lebih variatif dan inovatif.

- Jemaat-jemaat pengungsi merupakan bagian dari kenyataan sosial bahwa usaha kesejahteraan merupakan usaha sistematis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan.

c. Konteks Pendidikan.
Beberapa indikator di sini ialah:
- Tuntutan akan kualitas SDM menjadi hal yang penting dalam masyarakat. Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan milik gereja (TK-Perguruan Tinggi) dituntut untuk memberi kontribusi ke arah dimaksud.

- Artinya, gereja harus mampu membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada dalam usaha pemutakhiran kurikulum.

- Pendidikan Anak harus menjadi perhatian setiap keluarga. Oleh sebab itu pengawasan terhadap jam belajar anak dan penyediaan fasilitas belajar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (internet) adalah hal yang tidak bisa dihindari.

- Peran orang tua dalam memberi pendidikan secara dini kepada anak menjadi hal yang perlu, terutama dalam membentuk mentalitas anak agar tidak terpengaruh dengan berbagai perkembangan eksesif dalam masyarakat (sebagai akibat globalisasi).

- Di samping itu, masih ada anak-anak cerdas yang terbatas secara finansial. Gereja kiranya memikirkan strategi penyantunan yang lebih profesional terhadap kelompok ini. Apalagi gempuran modernisasi pendidikan terus memaksa naiknya biaya pendidikan anak.

- Pendidikan terhadap anak-anak cacat harus diperhatikan setiap keluarga, agar mereka tidak melulu dipandang sebagai beban dalam keluarga, atau “memalukan”, sebab kini peluang mereka untuk berkembang semakin terbuka. Ini akan membantu proses pembentukan jatidiri anak cacat itu serta membuat orang lain memandang mereka sebagai sesama yang juga memiliki potensi.

d. Konteks Keamanan.
Beberapa indikator yang menonjol adalah:
- Kota merupakan “pusat segalanya”, termasuk pusat berbagai tindakan kriminal. Angka kriminalitas terus meninggi, dibuktikan dengan semakin meningkatnya penghuni Lapas dan persidangan berbagai kasus di Pengadilan yang tiada henti sampai di tahun 2008 ini. Artinya, keamanan merupakan faktor yang rentan di kota karena tingginya angka kriminalitas oleh berbagai alasan.

- Salah satu faktor rentan dalam aspek keamanan adalah kasus-kasus politik yang kerap terjadi di Ambon, seperti teror bom, pengibaran bendera RMS, dll, adalah fakta bahwa masalah keamanan adalah juga masalah rakyat dengan negara. Ini pertanda kita menghadapi gelombang politisasi yang dirancang oleh kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja memperkeruh suasana, lalu mematikan emansipasi dan partisipasi politik kita (gereja).

- Artinya keamanan di Kota Ambon bisa menjadi baik atau buruk juga sangat tergantung pada pihak ketiga yang ada di Kota Ambon atau di luarnya.

- Memasuki agenda-agenda politik 2008-2009 nanti, faktor keamanan dan kasus-kasus politik diperkirakan akan cukup rentan, karena kelompok kepentingan masih memprovokasi kondisi kekacauan di sana-sini, melalui berbagai cara.

e. Konteks Sosio-Politik.
Beberapa indikator di sini adalah:
- Agenda Pilkada Maluku 2008 adalah suatu “Pesta Demokrasi” yang harus disukseskan, dan gereja bertanggungjawab mensukseskannya. Wujud tanggungjawab gereja adalah dengan melakukan pencerdasan politik kepada masyarakat agar mereka bisa menggunakan hak-hak mereka secara tertanggungjawab, lalu menjaga harmonisasi sosial selama proses Pilkada itu berlangsung, dilanjutkan dalam pembangunan yang akan terus berjalan.

- Sebagai social and moral force gereja dituntut melakukan fungsi profetiknya secara sadar dan memiliki kepekaan etis-injili. Bahwa kontrol sosial yang dimainkannya adalah bagian dari tanggungjawabnya melayani agar politik menjadi seni melayani kepentingan masyarakat, dan kekuasaan menjadi instrumen membangun keadilan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya politik menjadi alat kekuasaan dan kekuasaan menjadi alat politik.

- Gereja dengan sadar dan bersyukur berdoa kepada TUHAN agar setiap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan “bertarung” di “arena Pilkada” akan menjadi orang-orang yang dengan rendah hati “siap kalah – siap menang”. Gereja bertanggungjawab membina para calon Gubernur dan Wakil Gubernur itu agar mereka menjadi teladan dalam proses politik, dengan jalan mempertahankan kejujuran, dan menjunjung tinggi profesionalitasnya. Kekuasaan bukan tujuan, sebaliknya alat untuk mensejahterakan. Itulah suara politik gereja.

- Kota Ambon harus menjadi tempat yang aman bagi berlangsungnya Pilkada Maluku 2008, sekaligus menjadi tempat yang indah bagi berseminya damai di Maluku melalui Pemerintahan yang baru.

f. Konteks relasi beragama.
Beberapa indikator yang penting adalah:
- Pluralisme sebagai agenda kemanusiaan bersama harus mampu menjadikan agama-agama sebagai “pelayan-pelayan kemanusiaan”. Karena itu kesadaran pluralisme harus dibangun dari dasar kearifan lokal dan social capital di Ambon.

- Agama-agama terpanggil untuk menjadi “orang basudara” dan membangun agenda bersama untuk masa depan masyarakat Ambon.

g. Konteks bergereja.
Beberapa indikator yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Strategi pemberdayaan jemaat sebagai pendekatan pelayanan GPM harus diterjemahkan secara praksis di level program jemaat.

- Usaha membangun Profil Bergereja yang meliputi profil pelayan, profil umat dan profil gereja, mesti diejawantahkan ke dalam bentuk-bentuk program riil yang terkait dengan usaha membentuk kematangan politik, kematangan teologis, kematangan sosial-budaya warga jemaat.

Dengan ditetapkannya Peraturan Keuangan GPM dengan model sentraliasi keuangan (70:30%) sebagai hasil Sidang BPL ke-29 di Tual, mengisyaratkan bahwa:
- Jemaat-jemaat dituntut mengembangkan pelayanan yang relevan dan menyentuh basis kebutuhan warga jemaat. Karena itu rancangan program pelayanan harus bertumpu pada need assessment (pendataan kebutuhan riil) di dalam jemaat. Program partisipatif (dalam kaitan dengan hasil Sidang BPL) harus dipikirkan alokasinya kembali, dan memperkaya program yang berbasis jemaat, agar kita pun mampu menggerakkan sistem-sistem sumber pelaksanaannya secara mantap.

- Pola pelaksanaan sentralisasi keuangan itu (sesuai Juklak yang diturunkan dari BPH Sinode) kiranya dijalankan dengan semangat “kekeluargaan” agar terwujud “keseimbangan”. Karena itu otorisator di tingkat jemaat harus mampu melakukan fungsi kontrol keuangan yang efektif, dan menyusun sistem keuangan gereja sesuai nomenklatur yang ada, agar tidak terjadi pembebanan pada satu pos keuangan tertentu, dan juga tidak mengacaukan lalulintas keuangan gereja ke jenjang gereja di atasnya.

- Pelayanan yang menyentuh jemaat adalah pelayanan gereja yang nyata.

Demikian beberapa hal.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara