KAPITALISME DI PEDESAAN

Desa dalam Dinamika Pertumbuhan Ekonomi
dan Globalisasi


Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

I. PENDAHULUAN

Tesis titik balik peradaban yang diusung Fritjof Capra, pada salah satu bagiannya melihat pada dinamika pertumbuhan ilmu ekonomi sebagai suatu displin yang cukup normatif. Tesis itu kemudian menghadapkan perkembangan ilmu ekonomi dan ekonomi kerakyatan dalam dua dimensi, yakni, pertama, sistem materialistis kita saat ini, di mana ‘standar kehidupan’ diukur dengan jumlah konsumsi tahunan, dan yang mencoba mencapai konsumsi maksimum bersama-sama dengan pola produksi optimal. Kedua, yang didasarkan atas pengertian ‘mata pencaharian yang benar’ yang tujuannya adalah mencapai kesejahteraan manusia yang maksimum dengan pola konsumsi yang optimal.[1]

Tesis Capra itu mengasumsikan bahwa perkembangan sistem-sistem (keilmuan) ekonomi bergerak tanpa bisa dilepaskan dari suatu corak kebiasaan atau kebudayaan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Artinya telah ada pola-pola ekonomi yang dipraktekkan masyarakat dari masa ke masa, seperti sistem mata pencaharian yang benar (profesional). Pola-pola ekonomi itu terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

Ketika mata rantai ekonomi itu berkembang, masyarakat itu melakukan berbagai tindak transaksi. Kita mengenal terlebih dahulu sistem barter, kemudian uang sebagai alat tukar yang membentuk suatu sistem baru yang dikenal dalam sebutan ‘jual-beli’. Tindakan itu lambat laun melahirkan ekonomi kartel di mana orang mulai membangun tempat-tempat usaha yang tetap. Maka bertumbuhlah pasar yang terpusat pada satu tempat. Serentak dengan itu, ekspansi ekonomi dari luar, yang dilakukan para pemodal (kaum kapital) mulai berkembang.
Masuknya kaum pemodal itu semula hanya untuk mencari potensi-potensi khusus yang laku keras di pasar, seperti di Maluku yakni cengkih dan pala. Lambat laun kaum kapital itu membangun ‘kerajaan bisnisnya’, dan akibat praksisnya bahwa desa-desa pun menjadi pusat-pusat pertumbuhan kapitalisme baru di seluruh penjuru dunia, termasuk di Maluku.
Menyoal kapitalisme di pedesaan, membuat kita perlu melihat beberapa hal terkait dengan konteks pertumbuhan ekonomi di desa-desa dan bagaimana desa-desa itu mengalami pertumbuhan seiring dengan gempuran tatanan ekonomi regional, maupun global.[2]

Ketika pokok ini dibahas dalam konteks desa-desa di Maluku, kita berhadapan dengan beberapa point penting, mulai dari sisi sejarah, kontak penduduk desa dengan para kapital, serta perilaku ekonomi orang desa di Maluku.

Dari sisi sejarah, kita tidak bisa membahas kapitalisme di pedesaan-pedesaan di Maluku tanpa melihat bagaimana kuatnya penetrasi dan intervensi ekonomi para kapital dari luar (Jawa, Malaka, dan orang Eropa) di Maluku. Karena itu desa-desa itu perlu dilihat sebagai pusat produksi dari bahan-bahan kebutuhan yang laku di pasar regional dan global.

Dari segi kontak penduduk desa dengan para kapital, ada suatu corak tersendiri di Maluku. Bentuk kontak itu tidak berlangsung sebatas pada transaksi barang dan uang, melainkan membuat para kapital itu menetap dan membangun usaha ekonomi mereka di desa. Salah satu contoh praktis ialah di desa-desa di Maluku ada ‘Toko Cina’. Sebutan seperti ‘Cina Saparua, Cina Dobo, Cina Geser, dll’ adalah bentuk pembauran sosial karena faktor ekonomi kapital tadi. Artinya, kapitalisme di pedesaan di Maluku sudah terjadi berabad-abad lamanya.

Dari sisi perilaku ekonomi orang desa, budaya kapital itu membuat kecenderungan materialistis di desa cukup tinggi. Tetapi juga ada desa-desa yang terkapar dan menderita ‘global poverty’ (kemiskinan global) karena mereka hanya menjadi pemasok. Implikasi ekonomi terhadap kesejahteraan mereka sangat minim akibat dari mereka tidak memusatkan pencarian mereka pada satu aspek yang potensial, melainkan terbentuk dalam sistem mata pencarian ganda.

Tema kapitalisme itu akhirnya harus membuat kita membahas dinamika pertumbuhan desa-desa dalam sistem ekonomi global, terutama terkait dengan apakah aktifitas ekonomi yang ditekuni orang-orang desa, seperti papalele dan bentuk UKM lainnya, seperti pembuatan aneka makanan tradisional, akan bertahan dalam gempuran pasar? Empat hal ini yang menjadi pijakan untuk membahas ‘Kapitalisme di Pedesaan’.

II. MASALAH

Dari paparan di atas, maka masalah pokok dalam tulisan ini adalah bagaimana kapitalisme itu bertumbuh di pedesaan dan apa implikasinya bagi usaha ekonomi masyarakat.
Masalah itu mengarahkan bahasan ini untuk menyentuh aspek sejarah ekonomi dan munculnya kapitalisme di pedesaan. Untuk hal ini, penulis hanya akan berusaha melihat bentuk-bentuk kontak awal orang-orang desa dengan para kapital. Karena itu metode dalam membahasnya adalah refleksi sejarah yang bertujuan untuk meletakkan masalah ini pada suatu asumsi yang dapat menjelaskan bahwa kapitalisme itu berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat.

Kemudian kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari perilaku ekonomi masyarakat dan apakah usaha itu bisa survive. Hal ini yang mengharuskan kita melihat ‘survavilitas’ usaha masyarakat desa dalam gempuran kapitalisme dan pasar global.


III. MELIRIK BEBERAPA TEORI

Kapitalisme telah bertumbuh dalam masyarakat jauh sebelum Max Weber menulis magna-opusnya, Christian Ethics and Spirit of Capitalism. Weber telah mengambil suatu acuan teoretik dari Benjamin Franklin yang menulis Advice to a Young Tradesman (1706-90). Dalam buku itu, Franklin sebenarnya memberi anjuran kepada setiap orang yang ingin berhasil dalam bisnisnya. Menurutnya mereka mesti paham bahwa waktu adalah uang, kredit adalah uang, dan uang itu, melalui kerja keras, dapat menghasilkan banyak uang lagi.[3] Memang Weber kemudian lebih melihat perilaku itu sebagai suatu perilaku asketisme, sehingga pemaknaannya terhadap kapitalisme dihadapmukakan dengan etika kristen, yang bersumber dari doktrin teologi Calvin dan Luther; terutama melihat kerja sebagai panggilan (beruf).

Tetapi amatan Weber sebenarnya sudah mulai merambah ke masyarakat Timur, terutama orang-orang Cina. Karena itu dalam tesisnya itu, ia pun menghadapkan bagaimana corak kapitalisme di Cina, dengan melihat apakah ada pengaruh dari ajaran Tao. Suatu asumsi teori yang dilakukannya terhadap kapitalisme di Jerman, di mana baginya pengaruh ajaran kristen (protestanisme) cukup kuat dalam perilaku kerja/ekonomi masyarakat.[4]

Sejauh yang kita pelajari dari Weber, kapitalisme itu sendiri memang berdampak pada persaingan (competition). Sebenarnya di sini Weber searah dengan Marx, tetapi Marx lebih melihat pada ekonomi sosialisme, ketimbang kapitalisme.

Sebenarnya dalam membuat peta teori mengenai kapitalisme, kita berhutang kepada Adam Smith, sang pelopor teori ekonomi. Smith membahas hubungan-hubungan dasariah dari ekonomi, mulai dari cara produksi hingga keinginan manusia untuk mencapai kesejahteraan. Menurutnya, kehidupan ekonomi perlu dimengerti menurut kecenderungan alamiah setiap individu untuk mempertukarkan barang-barang dan keinginan untuk memperbaiki kedudukan materialnya dengan sedikit mungkin kerja. Kebutuhan ini bukan semata untuk kepentingan material, tetapi juga untuk perhatian da kekaguman, atau simpati dari orang-orang lain.[5]
Pada sisi itu, Smith sebenarnya membahas motivasi ekonomi seseorang. Sehingga menurutnya ada relasi timbal balik dari masyarakat yang bersifat ekonomis, politis, pemilikan, dan religius di dalam seluruh sistem sosial. Dari situ Smith lalu bermuara pada analisa mengenai harga, dalam apa yang disebutnya sebagai harga komersil dan harga real dari semua komoditas yang berasal dari semua sistem produksi dan yang dilakukan oleh tenaga kerja.[6]

Ini yang kemudian menjadi pijakan dalam seluruh analisa sosiologi di periode berikutnya, termasuk yang dianut Benjamin Franklin dan Weber dalam apa yang disebut kapitalisme itu sendiri.

Maka mengenai kapitalisme, didefenisikan bahwa kapitalisme dibangun di atas doktrin persaingan dalam apa yang disebut efisiensi, sedangkan sosialisme dibangun atas asumsi kooperasi untuk mencapai keseimbangan.[7] Tetapi kemudian muncul pula konsep kapitalisme berwajah kemanusiaan (human capitalism) sebagai sebuah institusi yang dibangun dan dikembangkan dari aspek positif kapitalisme dan sosialisme untuk memecahkan dilema yang sistemik dari dua sistem itu untuk membangun mekanisme efisiensi dan ekualitas (keseimbangan) secara berkelanjutan.[8]

Ini adalah koreksi atas Smith yang tidak mengantisipasi perubahan-perubahan besar dalam mengejar efisiensi kerja dan usaha, serta modal dengan pengerahan tenaga kerja di berbagai wilayah, termasuk pada kantong-kantong produksi yang lebih banyak ada di pedesaan, atau yang melibatkan para petani penggarap di berbagai ladang perkebunan.
Konstruk teori itu dinilai lebih relevan untuk mengkaji masalah ini. Sehingga darinya diharapkan tersaji suatu peta teori yang bisa digunakan secara kritis terkait dengan kenyataan yang ada.

IV. MELIRIK DESA-DESA KITA di MALUKU

Mengkaji topik Kapitalisme di Pedesaan membawa kita pada realitas sejarah ekonomi warga desa di Maluku. Sorotan ke Maluku tidak didasarkan pada pertimbangan posisi beradanya kita saat ini semata, tetapi karena tilikan sejarah ekonomi dalam masyarakat Maluku pun cukup minim. Walau sebenarnya secara akademis, terdapat kelemahan tertentu, karena konsentrasi studi kami pada teologi dan bukan ilmu ekonomi.

Alasan mendasar lain bahwa paparan mengenai sejarah ekonomi mengharuskan kita melihat pada kontak awal masyarakat Maluku dengan komunitas pedagang dari bagian lain Nusantara dan bahkan bangsa asing dalam hal ini India, Cina, Arab, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Selama ini, hubungan-hubungan itu dilihat dalam kawasan sejarah politik, dan karena itu lebih dititikberatkan pada kolonialisme.

Jika kemudian unsur perdagangan disertakan, perdagangan itu dimengerti sebagai salah satu pendekatan dalam strategi kolonialisme. Akibatnya ialah dinamika ekonomi masyarakat kala itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang otonom atau memiliki situasinya sendiri.
Dalam kaitan itu, bahasan ini akan melihat pada beberapa aspek, yakni:
a. Kontak dengan kaum Kapitalis Nusantara dan Eropa
b. Penetrasi kaum kapitalis di desa-desa
c. Dinamika ekonomi pedesaan dan UKM dalam terpaan pasar bebas

1. Kontak dengan Kaum Kapitalis Nusantara dan Eropa
Pertemuan orang Maluku dengan para pedagang dari Tuban, Gresik dan Malaka[9] merupakan titik awal membicarakan sejarah ekonomi masyarakat di Maluku. Sejarah ekonomi dalam hal ini adalah sejarah kontak dalam bentuk transaksi jual-beli (masih dengan pola barter), sebagai pengembangan dari corak ekonomi yang sudah ada sebelumnya.

Kemudian datang para pedagang dari Arab, yang turut membawa ke Maluku agama Islam, adalah fenomena baru dan klasik dari sejarah ekonomi itu juga. Artinya mekanisme ekonomi (perdagangan) menjadi pendekatan yang penting dalam membangun relasi serta mengefektifkan transaksi antar masyarakat dengan para pedagang. Apalagi ketika masyarakat Maluku, terutama dimulai dari Ternate dan Tiodre, kemudian Hitu, mulai memeluk agama Islam. Corak kehidupan ekonominya bertumbuh dibarengi oleh tingginya angka pertukaran barang yang cukup tinggi.

Pertemuan dengan orang Cina, India, yang kemudian menarik bangsawan Jawa yakni orang Mojopahit, para penyiar agama (Islam) khususnya dari Tuban dan Gresik, tetapi juga para pedagang dari Malaka,[10] manusia perahu dari Sulawesi (Buton, Bugis dan Makasar)[11] masuk ke Maluku.

Malahan ekspansi orang-orang Cina di Ambon cukup meluas. Mulai dari Ambon, mereka lebih tertarik untuk mencari cengkih langsung ke pusat produksinya yakni di Saparua dan Seram. Karena itu, hingga kini kita mengenal beberapa sebutan seperti Cina Saparua, Cina Taniwel, Cina Gorom, Cina Geser, bahkan kemudian Cina Dobo, dll.

Sebutan-sebutan itu sebenarnya berasal dari ekspansi cina yang cukup tinggi dalam rangka menguasai pasar cengkih di pasaran internasional. Sebenarnya cara itu pula yang dipakai kelompok Cina ini untuk melindungi atau menutupi sumber produksi cengkih di Maluku dari pedagang Arab dan Eropa. Cina membawa cengkih ke pasar internasional, termasuk dengan orang Mesir dan menjadikannya komoditi yang laku di pasaran. Komoditi ini yang kemudian menarik minat para pedagang Eropa untuk mencari sendiri sumber produksi cengkih itu. Ekspedisi Marco Polo, Magelhaes dan kemudian Bartolomeus Diaz yang membuka jalan ke Timur, dan ke Maluku.[12]

Potret itu merupakan suatu hasil pertemuan interpersonal orang-orang Ambon dengan para kapitalis yang memperkenalkan berbagai sistem perdagangan modern, dan uang sebagai alat transaksi utama.

Dengan kata lain, corak materialisme dalam urusan ekonomi di kalangan masyarakat pedesaan kemudian terbentuk. Orang-orang Maluku mulai memahami adanya perdangan antar-wilayah, dan pusat-pusat pasar kemudian berkembang terutama di Hitu dan Ambon sebagai pusat pasar yang dibentuk oleh kaum kapitalis Eropa.

Orang-orang Cina di pedesaan pula yang menggerakkan orang-orang desa itu bertualang berdagang keluar dari wilayanya. Kenyataan ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal papalele dari Saparua dan Maluku Tenggara terserap ke Ambon dan menjadi suatu kelompok usaha ekonomi dengan tipikal tertentu.

2. Penetrasi Kaum Kapitalis di Pedesaan
Realitas kota-desa adalah realitas paling dominan terkait dengan akses ekonomi masyarakat. Desa-desa di Maluku yang berada di pesisir pantai memiliki tipikal yang tidak terlalu berbeda dengan desa-desa di pedalaman, sebab masyarkatnya tidak memiliki mata pencaharian yang spesifik. Malah orang pesisir di Maluku cenderung memiliki pola pengorganisasian sosial dan mentalitas yang identik dengan orang-orang di pedalaman. Artinya memang mentalitas masyarakat pesisir cukup mobile, cenderung personalisme, artinya cenderung mengambil keputusan secara cepat dan mandiri. Orang-orang pesisir masih mengembangkan pola bersama-sama dalam mengambil keputusan tertentu. Mereka tidak seperti desa-desa pesisir di pulau Jawa, dll, karena itu walau berada di pesisir, tetapi kita tidak menjumpai satu pun desa nelayan yang bercorak khusus, seperti yang dijumpai di Jawa, Sulawesi Tenggara, dll.[13]

Jika ditinjau dari segi keberadaan potensi sumber daya ekonomis, desa-desa itu sebenarnya bukan desa-desa miskin. Sebaliknya adalah desa-desa yang memiliki sumber daya ekonomis yang bervariasi dan banyak (jika tidak mau dikatakan melimpah).

Persoalan mendasar sehingga mengapa desa-desa itu tergolong miskin adalah sulitnya akses pasar. Akibatnya sumber daya ekonomis yang bervariasi dan melimpah itu tidak terdistribusi ke pasar. Ini juga yang membuat mengapa masyarakat cenderung bekerja untuk kebutuhan makan semata (subsistensi). Dengan kata lain, fenomena kemiskinan adalah suatu fenomena struktural yang terjadi akibat dari sulitnya infrastruktur penunjang ekonomi seperti transportasi.
Di samping itu, akses ke pasar itu jauh, dan memakan biaya (coast) yang tinggi, serta keterbatasan armada transportasi juga dengan daya angkut yang rendah. Dalam kasus di Taniwel[14], Bus-bus yang ada ialah Bus penumpang. Setiap penumpang membayar antara Rp. 100.000 – 150.000 untuk sekali datang ke Ambon. Bus-bus itu tidak melayani muat barang dalam jumlah besar; satu penumpang berhak menaikkan barang empat potong, dalam arti bisa empat karung, empat karton, dll, dengan total biaya Rp. 5000/karung.

Akibat lain ialah pusat-pusat pasar di Kota Kecamatan dan/atau Kabupaten juga tidak terlalu hidup sebab pembeli adalah orang-orang lokal yang tidak mendorong laju perputaran uang, modal, serta laju penjualan barang. Para pembeli hanyalah beberapa orang Pegawai Negeri (Guru, Suster, Mantri), TNI/Polri, dan masyarakat, tetapi dalam jumlah yang kecil.

Salah satu indikator mengapa pasar-pasar di Kota Kecamatan dan/atau Kabupaten itu bisa dikategorikan sebagai pasar tradisional, dan sekaligus indikator rendahnya perputaran uang di situ adalah pasar-pasar itu menjual komoditi tradisional/lokal, yang sebenarnya dimiliki oleh semua anggota masyarakat.

Ini membuat ekonomi di pedesaan dikuasai oleh satu tangan, yaitu orang Cina yang sudah hidup di sana sejak nenek moyangnya. Sebut saja Chuang dan Chui, dua kakak beradik yang menguasai rantai ekonomi di Taniwel. Mereka adalah kelompok yang eksis secara ekonomi dan bukan hanya menjadi pembeli. Malah kini mereka telah menjadi pemilik lahan dan juga pengusaha barang-barang kebutuhan lain (selain pangan), seperti bahan bangunan dan elektronik.

Fenomena penguasaan mata rantai ekonomi oleh satu tangan ini ada secara merata di hampir setiap desa, sampai ke pelosok. Bahkan kini, pengusaha-pengusaha Cina pun sudah melebarkan usahanya dari Ambon ke kawasan pelosok. Mereka memiliki bidang tanah yang luas dan dijadikan areal perkebunan yang dikelola oleh orang-orang desa dengan gaji tertentu.

3. Dinamika ekonomi pedesaan dan UKM dalam terpaan pasar bebas
Kapitalisme telah mendorong laju pertumbuhan pasar global yang ekspansif. Orang-orang desa yang semula jauh dari pasar, kini terhubung dengan pasar. Ada yang langsung ke pusat pasar, tetapi ada pula yang didatangi para pemodal langsung di pusat produksinya (di desa).
Dalam kenyataannya, aktifitas ekonomi yang ditekuni orang-orang desa adalah aktifitas berkebun, papalele, dan bentuk UKM lain, dengan komoditi lokal. Dari segi tertentu, pada aspek teknologi ekonomi, mereka memiliki kemampuan yang terbatas. Demikian pun dari segi modal, dan komoditi.

Di desa-desa, masyarakat telah diperkenalkan dengan aneka tanaman holtikultura, kakau, vanili, dll. Artinya potensi perkebunan yang selama ini bertumpu pada umbi-umbian telah didiversifikasi. Penjualan cengkih dan pala yang dahulu tinggi, kini sudah diselingi dengan kopra dan kakau.

Demikian pun di kawasan pesisir. Armada tangkap sudah berkembang cukup pesat, dan budidaya rumput laut telah menjadi salah satu pekerjaan primadona masyarakat. Walau untuk itu, orang-orang desa masih terhalang oleh mentalitas kerja ganda (sesekali sebagai pekebun dan pencari ikan).

Di sisi lain, terbatasnya modal membuat usaha dengan potensi lokal seperti sagu tumbu, pembuatan tembikar (sempe), bagea, bahkan tenun tradisional, juga berkembang terbatas, dan memiliki pangsa pasar yang terbatas pula. Akibatnya pekerjaan itu telah dilakukan selama puluhan tahun sebagai pekerjaan rutin yang kurang memberi kontribusi bagi pendapatan masyarakat. Bahkan komoditi yang diusahakan dari dahulu tetap seperti itu saja.

Tidak adanya industri pertanian dan perkebunan merupakan salah satu faktor mengapa orang-orang desa di Maluku terpusat bekerja di kebun. Tentu karena itu skill mereka pun terbatas, karena lebih banyak yang terpola dengan gaya tradisional.

Faktanya sangat kelihatan di pasar, di perkotaan. Orang-orang desa tetap menjadi papalele dan pedagang kecil yang menjual komoditi lokal dari negeri atau kebun mereka sendiri. Ini adalah gambaran bahwa aktifitas perekonomian masyarakat belum bertumbuh secara tangguh di dalam era ekonomi global dewasa ini.

Dalam kondisi seperti itu, kapitalisme akan menjadi raja perekonomian yang bisa saja menciptakan kesenjangan sosial yang tinggi di kalangan masyarakat.

V. KESIMPULAN

Beberapa hal patut disimpulkan di sini, yakni:
- Bertumbuhnya kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari perubahan dalam segi produksi dan transaksi kebutuhan masyarakat. Pola kerja telah melibatkan sejumlah modal sehingga orang cenderung materialistis.
- Perkembangan kapitalisme di pedesaan di Maluku lebih menarik jika dipahami dari sejarah kontak orang Maluku dengan para kapital dari luar, termasuk bangsa Eropa. Itu pertanda bahwa kapitalisme itu juga melahirkan pertukaran kebudayaan yang terjadi secara intens. Budaya kapitalis berhadapan dengan kelompok masyarakat tradisional yang mungkin memiliki tingkat perkembangan kebudayaan yang tidak sama. Dalam kaitan itu kapitalisme bisa menciptakan diskriminasi di antara warga masyarakat.
- Bertumbuhnya perekonomian di desa-desa di Maluku tidak bisa dilepaskan dari penetrasi kaum kapitalis ke dalam kawasan desa-desa itu, malah mereka menjadi penduduk setempat yang telah berusaha dari generasi ke generasi.
- Karena itu kapitalisme di pedesaan adalah juga suatu kondisi yang memaksa usaha-usaha riil di bidang ekonomi untuk terus eksis dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan dan kesetaraan hidup masyarakat. Jika tidak kita akan dilindas oleh mesin kapitalisme yang arogan dan manipulatif.

VI. KEPUSTAKAAN

Alwi, Des, Sejarah Maluku: Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
Andaya, Leonard, The World of Maluku, Hawaii: University of Hawaii, 1987
Campbel, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakata dan Kebangkitan Kebudayaan, terj. M. Thoyibi, cetakan kelima, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000
Cosser, Lewis A., Masters of Sociological Thought Ideas on Social Context, second edition, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977
Kern, H., Het Oud-Javaansch Lofdicht Nagarakertagama van Prapanca, Grafenhage, 1919
Månson, Per, Max Weber, dalam Clasiccal and Modern Social Theory, edited by Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, Malden, Massachussets: Blackwell Publ.Inc., First published, 2000
Mubyato, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE, 2000
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Pengantar oleh R.Z. Leirissa, Jakarta: LP3ES, cetakan pertama, 2004
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, cetakan ketiga, 2001
Soselissa, H.L., Dinamika Masyarakat Kepulauan di Maluku, materi ceramah Semiloka PIKOM Sinode GPM, November, 2007, di Allang (tidak dipublikasikan)
[1] Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakata dan Kebangkitan Kebudayaan, terj. M. Thoyibi, cetakan kelima, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000, hlm. 256
[2] Sebenarnya dalam hal ini diperlukan suatu kajian khusus tentang sejarah ekonomi. Karena deskripsi sejarah secara umum baru membahas mengenai bentuk-bentuk kontak orang-orang desa di Maluku dengan para pedagang dari luar, dan cenderung dilihat sebagai salah satu aspek dari pengaruh politik global dan kolonialisme. Sejarah itu belum secara khusus membahas dinamika ekonomi, termasuk bagaimana desa-desa itu mengalami pertumbuhan ekonomi.
[3] Per Månson, Max Weber, dalam Clasiccal and Modern Social Theory, edited by Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, Malden, Massachussets: Blackwell Publ.Inc., First published, 2000, hlm.85
[4] Ibid., bnd. juga Lewis A. Cosser, Masters of Sociological Thought Ideas on Social Context, second edition, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, hlm. 243-244
[5] Baca Tom Campbel, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm.125-126
[6] Ibid., hlm.126
[7] Bnd. Mubyato, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE, 2000, hlm.93
[8] Ibid.,
[9] Baca ulasan yang terkait dengan sejarah kontak awal itu dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Pengantar oleh R.Z. Leirissa, Jakarta: LP3ES, cetakan pertama, 2004; juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, cetakan ketiga, 2001; juga Des Alwi, Sejarah Maluku: Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
[10] Keterangan tua mengenai kontak dengan suku-suku lain, sebelum masuknya bangsa asing dapat dilihat dalam “Pararaton” dan “Nagarakertagama”, Het Oud-Javaansch Lofdicht Nagarakertagama van Prapanca, oleh Prof. Dr. H. Kern, ‘s Grafenhage, 1919
[11] Jargon (BBM) yang dalam konflik Maluku 1999 menjadi citra baku (stereotype); dan digunakan dalam rangka mempertajam pertentangan di antara orang-orang setempat dengan pendatang.
[12] Baca Leonard Andaya, The World of Maluku, Hawaii: University of Hawaii, 1987, hlm.123
[13] Bnd. H.L. Soselissa, Dinamika Masyarakat Kepulauan di Maluku, materi ceramah Semiloka PIKOM Sinode GPM, November, 2007, di Allang, hlm. 3 (tidak dipublikasikan)
[14] Saya mengambil sampel Taniwel sebagai catatan evaluatif sebab saya pernah bertugas sebagai Pendeta di Klasis GPM Taniwel, dan mengamati perjumpaan orang-orang desa di sana dengan pedagang keturunan Cina.

Comments

t4l4mburang said…
Ini mungkin sebentuk kesadaran sejarah baru yang mesti terus menerus diwacanakan. Bolehkah embrio-embrio ini ditularkan kepada basudara yang lain di Maluku, guna membangun kembali Maluku yang "pernah" menjadi tujuan dunia itu? (skali-skali boleh saja bermimpi toh bung...?). Mungkin pilihan Indonesia terhadap sistem ekonomi Amerika ketimbang sistem ekonomi Inggris (seperti yang dilakukan oleh Malaysia) berekses juga kepada seluruh bagian Nusantara (akhirnya katong seng bisa lagi kasih salah opa Ato). Dalam kenyataan interaksi sosial ekonomi masyarakat Maluku dengan pendatang khususnya di pedesaan yang melahirkan sebutan orang-orang Cina setempat, hanyalah bisa disiasati saja. Penelusuran sejarah itu sudah selayaknya menjadi tanggung jawab intelektual kita, tetapi bersama-sama dengan pemerintah daerah guna menemukan core "ekonomi kerakyatan" (perlu diperjelas lagi nih bos istilah ini) di Maluku. Beta mencurigai segala bentuk kegiatan studi banding yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian ke luar Maluku dengan alasan katong bisa belajar dari orang lain. Beta sangat mendukung upaya penemuan kembali sisi-sisi positif masa lalu yang mungkin dapat dikembangkan pada saat ini (kalau pun katong pung orang tatua di kampong-kampong kerja di laut deng di darat, dorang harus dibangun dari situ - menurut beta - karena itulah jiwanya).
Ok bung, dari tanah orang katong cuma bisa bale muka lia saja sambil terus berwacana. Jang marah seng bisa biking banyak ale..... (Sedih juga ....)
Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara