Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara

Materi Khotbah
Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11

Saudara-saudaraku,
Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dari yang keluar dari tangan raja/penguasa. Ini adalah nyanyian pengagungan kepada raja yang berlaku adil, serta disertai dengan beberapa anjuran hikmat tentang tatanan keadilan (social justice/order) yang ideal.

Jika kita menempatkan tulisan ini pada masanya, maka mazmur ini dimaksudkan untuk mengajak para pemimpin Israel untuk menegakan keadilan, dengan meminjam tradisi Salomo, atau pengalaman di masa Salomo. Ada pola yang baik di masa lampau yang diharapkan menjadi pedoman atau contoh mengenai bagaimana seorang pemimpin harus membangun tatanan keadilan tadi.

Memang teologi keadilan sosial (social justice) mendapat ruang yang khusus dalam sastra hikmat, terutama karya-karya dalam masa hancurnya monarkhi, pembuangan dan pascapembuangan Babel. Demikian pun sebenarnya dalam karya sastra deuteronomi (KSD). Pentingnya keadilan sosial dalam tulisan hikmat atau himpunan tulisan-tulisan (ketuvim) karena keadilan sosial itu diharapkan menjadi semacam kanon (atau norma) yang keluar dari lembaga kepemimpinan, atau dari tangan dan mulut raja.

Ini sangat terkait dengan fungsi negara dan penguasa yang diharapkan menjadi bentuk ideal dari pemerintahan Tuhan di dunia. Tema ini menarik sebab dalam zaman monarkhi, raja atau kaisar dipahami sebagai wakil Tuhan di dunia. Bangsa-bangsa lain kemudian malah mengembangkan kultus raja (royal cult) dan memposisikan raja/kaisar laksana Tuhan itu sendiri.

Dalam Mazmur 72:1-11(20), harapan itu menjadi semacam puisi pujian kepada raja. Frasa pembuka hymne ini berbunyi : “Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja, dan keadilanMu kepada putera raja” (ay.1).

Frasa ini merupakan suatu bentuk permohonan yang menempatkan Daud dan Salomo sebagai tipe ideal dari raja yang dikehendaki Tuhan. Sesungguhnya ini adalah pengaruh dari karya kaum Yahwist yang mencoba untuk membangun hegemoni dinasti Daud sebagai suatu cara memulihkan lagi Yahwisme dan Kerajaan Israel Raya. Tujuannya sangat politis, yakni agar umat percaya bahwa raja adalah manifestasi Tuhan yang bertindak di dalam hidup masyarakat. Dengan demikian, raja menjadi simbol dari kekuasaan Tuhan di Israel.

Ungkapan ‘berikanlah hukumMu kepada raja, dan keadilanMu kepada putera raja’ merupakan bentuk paralelisme langsung, di mana raja dialamatkan dengan hukum secara ideal, dan putera raja dialamatkan dengan keadilan sebagai instrumen dari hukum itu. Tujuan pemazmur adalah untuk menegaskan bahwa hukum yang bersumber dari raja tetap menjadi bagian dari praktek yang sama yang dilakukan oleh puteranya.

Jika itu ditempatkan dalam hierarkhi dinasti Daud, maka bisa dimengerti bahwa jika Daud melakukan keadilan, oleh hukum yang bersumber dari Tuhan, maka Salomo pun demikian. Karena itu, ungkapan ‘hukumMu’ dan ‘keadilanMu’ adalah cara pemazmur memberi sumber legitimasi pada hukum dan keadilan yang dipraktekkan dua raja itu.

Saudara-saudaraku,
Memang begitulah pola legalisasi kekuasaan di zaman Israel Alkitab. Legalisasi diberikan kepada Tuhan, dan karena itu, setiap raja yang bertindak sesuai hukum Tuhan adalah raja yang baik. Kita akan mendapatkan kesan itu melekat pada Daud dan Salomo dalam seluruh tulisan Mazmur sampai pada 1 dan 2 Tawarikh.

Kembali kepada teks kita, terbesit dalam hymne ini suatu harapan akan terbitnya tatanan keadilan sosial baru di dalam negara. Praktek pemberlakuan hukum dan keadilan dari raja harus mewarnai seluruh proses penegakan hukum dan keadilan di masyarakat. Hukum menjadi standard dan norma dari seluruh proses penegakan keadilan. Terutama karena itu, bisa membela hak orang-orang kecil dan tertindas.

Ini adalah jiwa sosial hukum dalam teks bacaan kita ini. Ayat 2 menegaskan maksud dari ayat 1 tadi. Artinya, rakyat mengharapkan keadilan yang datang dari tangan raja, melalui akta penegakan hukum kepada orang-orang yang tertindas.

Proses pengadilan yang dilakukan langsung oleh raja diharapkan mampu mengangkat kembali harkat umat yang tertindas. Negara memang diharapkan menjadi pilar penyanggah keadilan yang merata bagi semua umat.

Raja diberi peran dan fungsi yang positif, agar keadilan sosial itu bisa memulihkan hak-hak sipil umat/warga. Memberi peran kepada raja sama artinya mengharapkan intervensi kekuasaan ke dalam upaya pemulihan hak sipil dan penegakan keadilan sosial.

Kita akan bertanya, mengapa pemazmur memberi peran itu kepada raja? Karena raja dan negara benar-benar diberi kekuasaan dan mandat untuk menegakan hukum dan keadilan itu. Ini adalah fungsi yang telah menjadi bagian dari hakekat raja/negara terhadap warga/umatnya.


Saudara-saudaraku,
Lalu seberapa urgennya praktek hukum dan keadilan itu harus dipraktekkan raja/negara? Pemazmur menunjuk urgensi itu pada ayat 3-11. Ada beberapa faktor dar urgensi itu yang perlu kita petakan secara lebih cermat, agar kita bisa memahami posisi pemerintah atau negara dalam kaitan dengan pemberlakuan hukum dan keadilan ini.

Ayat 3-4 adalah gambaran figuratif bahwa praktek hukum dan keadilan yang keluar dari tangan raja akan membawa ketenteraman dan keadilan di seluruh penjuru bumi. Simbol gunung dan bukit-bukit dalam ayat 3 dilabeli sifat atributif yakni ‘sejahtera’ dan ‘kebenaran’. Artinya seluruh muka bumi akan dipenuhi dengan kesejahteraan dan keadilan, atas praktek hukum yang lurus dari tangan raja. Ini adalah gambaran bahwa tatanan keadilan sosial tadi akan terbangun kembali, dan tidak ada sejengkal wilayah pun yang tidak tersentuh oleh keadilan sosial itu.

Karena itu ayat 4 menegaskan bahwa manusia yang ada di seluruh wilayah bumi, terutama mereka yang tertindas akan bisa menikmat keadilan dan kebenaran, sebagai buah dari praktek hukum dari tangan raja. Ini adalah hal-hal yang mendasar, dan terkait dengan hak-hak dasar hidup manusia/masyarakat.

Semua orang bisa menikmati hak dasar hidup mereka, asalkan raja dan negara benar-benar menjadi sumber penegakan hukum dan keadilan itu. Dalam ayat 5, implikasi dari tindakan penegakan hukum yang dilakukan raja adalah sanksi kepada para pemeras. Ini adalah hal yang perlu demi tegaknya tatanan keadilan. Para pemeras dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi biang dari semua penderitaan masyarakat. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka berasal dari kalangan istana, orang-orang kaya, dan juga para tuan tanah. Mereka adalah kelompok pada strata sosial yang mapan.

Ini suatu kecenderungan obyektifasi terhadap orang-orang miskin. Sebab sebutan ‘kaum pemeras’ berarti bahwa mereka telah menjadikan orang-orang miskin sebagai budak yang tidak diupahi secara wajar. Malah orang miskin itu terus ditindas dan dililit dengan utang yang semakin bertambah. Tidak ada ruang untuk orang miskin menebus dirinya, sebab semakin mereka berusaha, mereka semakin ditekan dengan berbagai bentuk ketentuan yang tidak adil/berat sebelah. Karena itu, harapan hanya ada pada raja/negara. Artinya, perlu intervensi negara untuk membangun tatanan hukum yang adil agar tidak terjadi proyek ekspoloitasi, obyektifasi dan ketidakadilan sosial lainnya.

Saudara-saudaraku,
Selebihnya ayat 5-11 adalah semacam doa untuk raja yang mempraktekkan hukum dan keadilan itu. Berbagai macam ‘berkat’ dalam bentuk umur panjang, kehormatan, kekuasaan yang luas, kejayaan, akan menjadi milik raja yang adil.

Tetapi ayat 7 malah menunjuk bahwa keadilan akan menjadi ciri yang tipikal dari negara yang dipimpin raja yang adil itu selama-lamanya. Ini adalah kondisi ideal yang diharapkan terwujud di Israel, atau dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia.

Ayat 5-11 ini ditulis dengan menggunakan tipe hukum bersyarat (conditional law) sebagai salah satu bentuk penulisan hukum dalam Perjanjian Lama. Artinya, jika raja melakukan apa yang ada pada ayat 1-4, maka raja dan negara itu akan mengalami hal-hal seperti dalam ayat 5-11 itu. Jadi kondisi dalam ayat 5-11 adalah implikasi langsung dari tindakan raja sesuai dengan ayat 1-3 tadi.

Pola penulisan hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengajak umat melakukan tindakan-tindakan positif dalam hidup mereka. Sebab Tuhan menjadi sumber berkat yang akan memberikan yang baik kepada mereka yang melakukan keadilan, dan akan menghukum mereka yang melakukan pelanggaran. Model hukum retributif seperti itu cukup dominan dalam materi hukum PL, termasuk dalam Mazmur ini.

Saudara-saudaraku,
Sebenarnya praktek hukum dan keadilan dari negara dan para pemimpin adalah dambaan kita. Dalam masyarakat monarkhi, sumber legitimasinya ada pada Tuhan, karena itu, setiap hukum yang diterapkan dinilai bersumber atau berasal atau diturunkan oleh Tuhan melalui para raja, imam, nabi dan hakim-hakim.

Sebaliknya kita berada dalam suatu negara demokrasi. Kita tidak perlu mempertentangkan tinggi rendahnya sumber hukum dalam negara monarkhi dengan demokrasi seperti Indonesia. Sebab dalam negara demokrasi, Indonesia memahami bahwa setiap produk hukum kita bersumber lurus dari Pancasila dan UUD 1945. Itu sama sekali tidak berarti bahwa hukum dalam negara demokrasi jauh lebih rendah dari hukum dalam negara monarkhi.

Baik dalam negara monarkhi maupun demokrasi, hal yang paling penting terkait dengan hukum adalah budaya penegakan hukum. Ini yang menjadi masalah klasik setiap bangsa pada setiap zaman, termasuk Israel dalam masa monarkhi mereka.

Budaya penegakan hukum di Indonesia akhir-akhir ini diuji dengan berbagai praktek ketidakadilan yang semakin membuat kita kehilangan arah untuk membangun demokrasi Pancasila itu. Tidak jelas bagaimana cara yang paling baik untuk menegakan hukum di negara kita.

Kasus suap dan kolusi telah menjadi bentuk pengingkaran dan reduksi terhadap fungsi hukum untuk membangun tatanan keadilan sosial. Faktor pengaruh berikutnya adalah intervensi politik dan kekuasaan dalam budaya penegakan hukum di Indonesia juga menjadi sumber macetnya aparatur negara dalam mewujudkan supremasi hukum.
Bahkan terkesan, tidak ada lagi harapan akan keadilan dan penegakan hukum dari negara. Kita bisa melihat bagaimana polisi disuap, jaksa disuap, hakim disuap, bahkan para saksi pun turut disuap. Tujuannya adalah agar suatu bentuk kesalahan dianggap benar, hanya karena suap itu.

Belum lagi daya terjang hukum yang sangat cepat kepada para pelaku pencurian dan perjudian di pasar-pasar, ketimbang kepada para koruptor di kantor-kantor pemerintahan. Hukum begitu proaktif terhadap perkelahian antar-tetangga, tetapi sangat kompromi dengan aktor intelektual di balik kerusuhan sosial yang melanda setiap bagian wilayah Indonesia.

Belum lagi hukum yang ditafsir seenak maunya para penegak hukum, membuat budaya hukum kita menjadi sedemikian rapuhnya. Dalam semuanya itu, negara pun terkadang cukup kompromi dengan berbagai kasus pelanggaran hukum yang melibatkan orang-orang penting dan berkuasa lainnya.

Padahal kita berharap agar negara menjadi sumber yang darinya datang hukum dan keadilan. Di sinilah kita perlu memberi perhatian mengenai bagaimana supaya elemen-elemen negara itu berfungsi memberi rasa adil kepada semua rakyat.

Saudara-saudaraku,
Sebagai masyarakat Indonesia kita mesti mengakui bahwa Pancasila sebagai sumber hukum di negara kita adalah berkat TUHAN dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Tidak mungkin di Indonesia kita membangun hukum atas dasar ajaran suatu agama. Karena itu Pancasila adalah sumber hukum yang merupakan bukti bahwa Tuhan memberkati Indonesia dengan hukum positifnya.

Ini perlu menjadi semacam pengakuan iman kita sebagai bangsa. Demikian pun pengakuan iman para pemimpin, bahwa mereka ditetapkan melalui suatu proses demokrasi agar hukum yang bersumber dari Pancasila itu benar-benar difungsikan untuk membangun keadilan sosial di Indonesia. Tidak ada tawaran lain selain menjaga agar anugerah Tuhan itu tetap dijadikan norma dasar dari setiap pemberlakuan hukum di negara kita.

Di atas semuanya, masyarakat pun diharapkan bisa menjadi warga yang sadar hukum, agar kita tidak saling menciderai, tidak mengeksploitasi orang lain, tidak merampas hak orang lain, tidak melakukan tindak kriminal secara individual atau berkelompok terhadap orang atau kelompok lain, tetapi membangun hidup yang setara di hadapan hukum dan di hadapan Tuhan, di dalam bangsa yang beradab dan merdeka ini. Amin

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan