Tragedi 1 Juni, Luka Bagi Pluralitas Indonesia

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kami sebenarnya mau menyebut ‘Tragedi Monas’, seperti lazimnya disebut di berbagai media massa, untuk kasus penyerangan FPI terhadap AKKBB, 1 Juni 2008 baru lalu. Tetapi ada tujuan lain dari penyebutan ‘Tragedi 1 Juni’ itu sendiri, yang ternyata harus membuat kita berduka sebagai bangsa.

Pertama, kita patut berduka sebagai bangsa, sebab momentum lahirnya Pancasila tidak [pernah] dijadikan momentum nasional, sejak 1945. Kita tidak pernah merayakan hari lahir Pancasila semeriah Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Bahkan 100 Tahun Kebangkitan Nasional (20 Mei 2008) mendapat porsi seremoni yang lebih gegap gempita dari hari lahirnya Pancasila.

Duka kita sebagai bangsa 1 Juni 2008 ini juga karena hari bersejarah bagi Indonesia yang plural itu terkesan telah menjadi ritus keluarga anak-anak Bung Karno, pencetus Pancasila itu. Upacara di rumah Guruh Soekarnoputra, anak bungsu Bung Karno adalah perlukisan bahwa ritus nasional ini telah menjadi ritus keluarga. Memang terlebih baik mengamalkan Pancasila dan menjalankannya secara murni dan konsekuen, daripada merayakannya dengan gegap gempita. Tetapi ironi memang, momentum yang sangat penting ini tidak pernah menjadi ritus nasional.

Kedua, Pancasila yang adalah piagam pluralisme Indonesia dan menjamin kemerdekaan beragama warganya, telah ditafsir secara eksklusif menurut kepentingan setiap kelompok. Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menafsir makna Pancasila itu dengan menggelar demo damai untuk menyerukan kerukunan dan kebebasan beragama di Indonesia.

Lain lagi dengan Front Pembela Islam (FPI). Entah berdiri di atas tafsir yang mana, tetapi FPI selama ini menjadi semacam lembaga ‘penyaring’ aliran agama yang sah dan yang harus dilarang. Untuk hal yang satu ini, dapat dimengerti, jika kita menempatkan FPI dalam upaya mempertahankan kemurinan ajaran Islam dan legitimasi Allah SWT, Nabi Muhammad dan Qur’an.

Tetapi tidak bisa dibenarkan tindakan penyerangan terhadap aksi demo AKKBB di Silang Monas Jakarta, tepatnya hari Pancasila. Tindakan mana adalah luka bagi pluralisme Indonesia. Atas nama pluralisme, para founding fathers bangsa ini merumuskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah sila yang mencerminkan keragaman keberagamaan di Indonesia yang terbuka. Suatu keberagamaan tanpa dominasi dan ordinasi. Keberagamaan yang egaliter, di mana setiap kelompok umat beragama berhak menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara santun dan toleran.

Merumuskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti menerima keberagamaan Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, Konghucu, dan agama lainnya, sejauh agama itu mampu hidup berdampingan secara santun dan toleran.

Sedangkan menerima “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti mengembangkan sikap anti dominasi dan melawan eksklusifisme. Sebab itu, konflik yang menarik embel-embel agama ke dalamnya adalah suatu luka bagi pluralisme itu sendiri. Mengapa luka? Sebab “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu adalah suatu equalibrium sosial dan agama di Indonesia. Keseimbangan yang memberi kepada setiap kelompok ruang peran (role space) untuk membangun keindonesiaan yang plural itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara