Agama dan Politik

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Membuat pemetaan agama dan politik di Indonesia sama halnya dengan membuat pemetaan sosial masyarakat Indonesia itu sendiri. Agama memang tidak harus dikurung dalam domain ‘sakral’ dan politik dalam domain ‘profan’, seperti Durkheim membaginya; karena toh agama adalah produk masyarakat berbudaya, dibentuk sesuai kreasi kebudayaan masyarakat setempat. Simbol-simbol di dalam agama pun adalah produk budaya yang lahir dari adanya ‘sense of belief’ yang kuat.

Di situ, agama pun memiliki di dalamnya nuansa politik yang kuat, dalam hal menyatukan umat [masyarakat yang telah teraliansi] dan dalam hal membangun hubungan interelasi personal antara satu dengan lain, serta dalam apa yang kerap disebut ‘koinonia’ [the unity].

Teori-teori agama [dan teologi] juga telah melihat bahwa agama dan politik adalah dua aspek dasar dalam hidup seorang manusia dan komunitas. Seperti kita tidak bisa memisahkan personalitas dari komunalitas pada seorang individu, demikian pun kita tidak bisa memisahkan ‘sense of belief’ dan ‘sense of politics’ pada individu dan kelompok agama tertentu.

Nisabah di antara dua aspek ini malah hampir tidak ada jika agama dan politik kita pahami sebagai seni kehidupan yang bertumpu pada apa yang disebut ‘tanggungjawab’ [responsibility]. Baik agama maupun politik sama-sama membimbing manusia untuk melakukan peran secara nyata dalam relasi satu dengan lainnya, serta mengarahkan manusia mencapai tujuan ideal [ideal type ] bersama melalui seperangkat aktifitas [kerja, melayani – work and service]. Di sinilah kita patut menggarisbawahi bahwa agama dan politik adalah bagian dari panggilan manusia untuk mempertahankan eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan komunitas berbudaya.

Karena itu mempertentangkan agama dan politik sebenarnya adalah suatu gejala teknis semata. Ini terjadi karena kita melihat agama dan politik dalam perspektif yang teknikus, yaitu pada difergensi umat yang telah teraliansi tadi. Tidak benar bahwa klaim ‘politik itu kotor’ harus dimengerti bahwa politik itu sudah terdistorsi sangat jauh, dan distorsi itu adalah akibat dari politik an-sich. Malah, ketika politik telah terdistorsi, itu pertanda bahwa agama juga telah mengalami distorsi yang sangat hebat. Mengapa? Karena pada saat yang sama, agama kehilangan kekuatan penetrasinya untuk membangun sebuah etika politik yang luhur.

Sampai pada titik itu, distorsi politik harus dipahami sebagai sesuatu yang terjadi karena perilaku politik warga yang sudah kabur dan kehilangan arah. Dimensi ‘ideal type’ tadi telah diabaikan, sehingga aspek work and service di dalam politik tidak lagi dijadikan instrumen membangun hubungan interpersonal. Artinya, dimensi responsibility telah menjadi kata usang yang sangat kaku. Orang tidak lagi melihat politik sebagai seni kehidupan, atau etika untuk melayani [meminjam konsep Oom Jo Leimena].

Jika perilaku politik sudah ‘tidak bernurani’ lagi, kita akan sulit mendapati para politisi itu tampil sebagai ‘pelayan publik’ yang bertanggungjawab. Karena itu, tanpa disadari, kitalah yang membangun nisbah ‘sakral dan profan’ antara agama dan politik itu sendiri.

Politik yang bernurani adalah politik yang dikembangkan melalui kerja dan pelayanan yang bertanggungjawab. Di situlah, agama memberi jiwa ke dalam perilaku politik warga. Jika hal itu terjadi, kita sedang berjalan menuju peradaban kemanusiaan yang sejati dan bertanggungjawab. Itulah ‘ideal type’ yang hendak kita wujudkan.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara