PERIODE AWAL AGAMA (YAHUDI)

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

I. Latar Belakang Agama

1. Latar Belakang Sejarah. Sejarah orang-orang Israel mengambil tempat dalam kerangka migrasi kaum Semitik di Padang Gurun Syria dan Arab untuk mencari daerah yang subut, dan migrasi itu terus meluas sampai di sepanjang perbukitan Palestina, melalui Mesopotamia ke Syria dan Palestina.

Dalam migrasi itu terjadi infiltrasi suku-suku[1]; antara lain: (a) gelombang orang-orang Akad-Mesir, yang mengangkut orang Semit ke Babilonia dan Mesir setelah tahun 3000 BC; namun kedatangan mereka ke Syria tidak diketahui secara pasti; (b) gelombang awal orang-orang Amori. Tahunnya tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan antara 2500-2300 BC, dan ini yang menjadi bagian dari terbentuknya kerajaan Akadian; (c) gelombang orang-orang Kanani, sekitar tahun 2100-1700 BC, dan yang kemudian mengembangkan peradaban tulis-menulis serta agama; (d) gelombang orang-orang Aram, sekitar 1400-900 BC. Gelombang migrasi lainnya berasal dari bagian Barat Timur Dekat kuno, terutama kaum Hyksos, yang mungkin merupakan komunitas bercampur, pada tahun 1700; juga “manusia laut” (sea people) termasuk orang Palestina, sekitar tahun 1200; dan, pada waktu yang sama diikuti oleh orang-orang Filistin sampai dengan jatuhnya kerajaan di Asia Minor.

Kelompok lainnya adalah orang-orang Aram yang datang lagi dan menjadi kelompok terbesar dari masyarakat Israel. Mereka melakukan penetrasi ke dalam kelompok orang-orang Israel dari pada pasir dan stepa di bagian Timur dan Barat Jordan. Mereka datang bersamaan dengan kaum Aram lainnya yaitu orang Amon, Moab dan Edom, yaitu kelompok yang banyak diceritakan dalam Kej. 19:30-38. Karena itu secara etnik, orang-orang Israel dapat juga disebut Aram.

Karena itu, Israel itu bukanlah suatu suku/etnis yang homogen. Orang-orang pribumi Aram adalah kelompok yang menjadi dasar dari komunitas ini. Tradisi PL menyebut mereka datang dari Palestina ke Mesopotamia (Kej. 24:10 – terminologi bahasa Aram menterjemahkan “Mesopotamia” sebagai “tanah orang-orang Aram di sepanjang dua sungai”, maksudnya sungai Efrat dan Balikh). Ada pula tradisi yang menyebut hubungan etnis Israel dengan suku-suku Arab , termasuk orang Midian (Kej. 25:1-5, 12-18). Para bandit dari Mesir pun datang pada masa kepemimpinan Musa dan bisa saja mereka bukan orang asli Aram; dalam hal tertentu, hal itu merupakan unsur yang tidak memiliki hubungan sama sekali (bnd. Kel. 12:38).

Sejak awalnya dalam sejarah Israel, kita tidak menemukan adanya suatu kelompok etnis yang homogen. Kita hanya mendapat informasi mengenai adanya suatu keluarga, kelompok dan suku-suku yang berbeda. Salah satu unsur lain yang cukup penting dalam sejarah suku-suku Israel adalah kelompok awal Israel yang disebut “Apiru”, yang pertama kali ditemukan dalam Surat-surat Amarna, yang memiliki hubungan dengan raja Firaun dan negara Palestina (abad ke-19 sampai 12). Secara sosiologis, ia (apiru) itu pertama-tama menerangkan mengenai “orang yang tidak memiliki keluarga”, para pedagang atau saudagar asing, pejabat tertentu, dan para budak, yang memiliki posisi inferior di dalam negara. Bahasa Ibrani menyebutnya “ibri”, juga dalam arti yang sama, dengan posisi yang inferior juga. Mereka adalah orang-orang di Palestina yang menjadi nomaden dan tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu yang tidak tetap dalam satu negara, kemudian di negara lainnya juga.

2. Orang Israel sebagai kaum nomad. Orang-orang Israel awal adalah kelompok beduin yang suka mengendarai unta di sepanjang perbukitan Negeb, bukan para petani yang menetap di seuatu tempat, tetapi kaum nomad dengan persediaan bahan makanan yang minim, dan menjadikan hewan sebagai sarana transportasi, sebagai kaum nomad. Beberapa kelompok nomad itu tinggal di padang pasir yang kecil dan stepa dengan curah hujan yang rendah, sekitar 4 – 12 inc; mereka selalu menjadi penggembala ternak.

Di kemudian hari mereka mengkombinasikan cara kerja sebagai penggembala/peternak dengan bertani untuk menjaga keseimbangan bahan makanannya. Setelah bertemu dengan peradaban kota, mereka mulai mencari tempat tinggal yang tetap di daerah-daerah yang sempit, dan menetap di sana sebagai penduduk (dalam waktu yang singkat pula) – bnd. Kel. 12:35,36).

Ini menjadi basis tradisi, karena kemudian Abraham, Ishak dan Yakub, yang disebut sebagai leluhur Israel, menjadi bagian dalam sejarah kehidupan kaum nomad ini. Apa yang kemudian disebut “Joseph novela” secara gamblang menceritakan detail para leluhur itu, dan kemudian berkembang sampai di Mesir sebagai certa-cerita hikmat; bahwa Israel memiliki hubungan yang kuat dengan Yakub (Kej. 32:29; 35:10).

3. Unsur keagamaan. Seperti suku-suku lainnya, orang Israel awal memiliki konsepsi, praktik, dan sikap yang sudah terbentuk dalam sejarah mereka sejak awal, dan terus berkembang dalam masa nomaden sampai mereka menetap. Unsur keagamaan yang penting adalah hal-hal yang terintegrasi di dalam iman dan ibadah mereka, dan yang kemudian terbentuk dalam suatu lembaga keagamaan (Agama Yahudi).

a) Sumber-sumber primitif, dalam kaitan ini praktek keagamaan yang ditemukan dalam masyarakat Amon, Moab, Edom, yaitu suku/etnis yang memiliki hubungan dengan Israel; dan juga di Mesir (terutama yang dianut kemudian dalam tradisi kaum atau sumber Priest). Sumber-sumber itu tidak ditemukan dalam masyarakat Assyur, Babel dan Filistin, juga di antara orang-orang Kanan dan Fenisia (Kej. 34:14; Yeh. 32:30). Terutama ritus yang ada dalam perkawinan (bnd. Kej. 34:14).

b) sumber-sumber primitif lainnya adalah yang menjadi sumber motivasi dalam praktek agama seperti melalui “taboo” (tabu, pamali). Pengembangan dari taboo ini lalu melahirkan semacam sanksi, yang lambat laun menjadi bagian dari hukum, termasuk dalam kaitan dengan yang sakral dan profan.[2] Di sini termasuk taboo yang terkait dengan larangan makan dari binatang yang tidak bersih (najis), seperti babi, atau juga darah, lemak, dan juga larangan untuk membunuh binatang atau melakukan hubungan seks dengan binatang (Im. 17:15; 22:8; Yeh. 44:31). Demikian pun larangan yang terkait dengan hubungan seksual, seperti perzinahan, onani/masturbasi, lelehan menstruasi, dan sistem taboo lainnya.

c) beberapa bentuk magic dan juga praktek yang diketahui ada dalam masyarakat Israel sejak dahulu sampai merka menempati daerah palestina, di mana mereka terstruktur dalam masyarakat Kanani, Assyur-Babilonia dan Mesir. Termasuk di dalamnya unsur magis dalam jubah yang digunakan (seperti oleh Musa, Elia, Elisa), dan kekuatan magis lainnya (2 Raja. 5:11). Dimensi ini juga yang masih mewarnai tradisi kenabian pada periode-periode awal, serta mewarnai tugas para nabi, dan ini menjadi basis dari munculnya term “kehendak atau kuasa Allah”.[3]

4. Agama Suku Israel Awal. Robert Alt dalam studinya mengenai agama Israel awal berpedoman pada term “Allah Abraham”, “Allah Ishak”, “Allah Yakub” (pahad yishaq, dan abir ya’aqob) sebagai nama ilahi, termasuk nama para pendiri kultus mereka. Alt menyebut bahwa ibadah kepada “tuhan para leluhur” yang akhirnya diadopsi ke dalam Yahwisme, meskipun istilah elim yang disebutkan dalam Kejadian menunjuk pada sifat Tuhan lokal. Walaupun Eissfeldt berpendapat bahwa “tuhan para leluhur” tidak berlanjut ke dalam ibadah yang kemudian diadopsi oleh Yahwisme; menurutnya ibadah mereka sejak awal dibentuk oleh El dalam agama orang Kanani, penduduk asli Palestina.

Gemser sebaliknya lebih fokus pada nama Tuhan dari para leluhur; ia berpendapat semua referensi nama Tuhan itu muncul dalam bentuk yang berbeda, dan bahwa agama El dan agama tuhan para leluhur adalah dua bentuk pengungkapan yang sama. Gressmann, Dussand, dan pakar lainnya malah melihat bahwa ternyata agama El orang Ibrani itu ada di dalam periode nomadik. Berbeda juga dengan Anderson, Lewy, May dan Seebas, menemukan bentuk-bentuk invokasi yang paralel dalam budaya Assyur yang melihat bahwa tuhan pada leluhur itu adalah tuhan keluarga atau tuhan suku yang tidak bernama. Berbeda dengan mereka, Wellhausen malah melihar hubungannya ke dalam agama pagan Arab, dan baginya Tuhan itu besifat individual, dan setiap orang memiliki rasa hormat yang khusus kepada Tuhan itu sendiri.

Teori-teori itu kemudian dianut dalam tradisi sumber, khusus J yang melihat Yahweh sebagai Tuhan para leluhur, berbeda dari E dan P, yang sama sekali tidak memakai nama Yahweh sampai periode Musa, dan dalam Kej. 35:1-7; Yosua 24:2; 14:15, di mana para leluhur Israel disebut menyembah tuhan yang lain. Artinya ada acuan yang berbeda dalam memahami sejarah keagamaan awal Israel.
a). Sumber-sumber itu ternyata tidak berbicara mengenai “Tuhan pada leluhur” (God of the fathers) tetapi “Tuhan bapakku/Tuhan bapakmu/Tuhan bapaknya” (God of my [your, his] fathers” (Kej. 31:5, 29; 43:23; 49:25; 50:17). Formula yang sama ada dalam teks-teks masyarakat Mesopotamia dan Assyur – misalnya “Aku berdoa kepada Assyur, Tuhan bapakmu”, atau “kepada Tuhan bapakmu”, dll.

b). Dalam formula yang lain nama para leluhur disebut dengan atau tanpa istilah “bapak”: “Allah Abraham” (Kej. 31:53); “Allah Abraham, bapakmu” (Kej. 26:21; 28:13; 32:10); “Allah Ishak” (Kej. 28:13); “Allah bapakku/bapaknya, Ishak” (Kej. 32:10; 46:1); “Tuhan Nahor” (Kej. 31:53). Dan juga formula yang lengkap “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub” (Kel. 3:6, 15). Perbedaannya hanyalah bahwa tuhan suku-suku itu menunjuk pada identifikasi suatu kelompok tertentu menganai nama seorang leluhur.
c). Kita juga menemuikan istilah “El” sebagai istilah Tuhan atau sebagai nama dari El, Tuhan tertinggi. Di sini harus ada pengecualian ketika El dikaitkan dengan ibadah orang Palestina, di mana nama kedua ditambahkan kepada El. Seperti “El-Yakub” dan “El-Yusuf”, sebagai nama tuhan di Mesir sampai dengan abad ke-15 dan 12.

d). Nama yang sangat primitif adalah pahad yishaq dan abir ya’aqob, dan secara tradisional diterjemahkan “Yang disembah Ishak” dan “Yang dimuliakan Yakub” (Kej. 31:42; 31:53; 49:24). Kemuidan ditemukan pula ‘eben yisra’el, “Batu Karang Israel” (Kej. 49:24), dll.

e). Kemudian ditemukan pula term-term lain seperti am; klen, keluarga; ab; bapak; dan ah; saudara laki-laki. Elemen-elemen itu menujuk pada yang ilahi, yang kemudian dalam agama dijadikan bagian dari nama Tuhan (contoh., Abizer-Eliezer, Abiram-Jehoram). Dengan demikian kita menemukan Abiram (Abraham)/Ahiram, “Tuhanku adalah bapakku yang dimuliakan”; atau Abiezer/Ahizer, “Tuhanku adalah penolongku”; Abimelek/Ahimelek, “Tuhanku adalah rajaku”; Eliab, “Tuhanku adalah bapakku”, Elisur, “Tuhanku adalah batu karangku”; Ammiel, “Tuhan sukuku adalah Tuhanku”. Sering pada nama-nama itu digunakan pula nama El.

5. Posisi Leluhur. Dalam sejarah dan tradisi Israel, para leluhur menempati posisi sebagai pembentuk komunitas (the founders) atau para pemimpin suku, dan juga di kemudian hari dimengerti sebagai imam, dan orang yang memiliki peran khusus sepanjang sejarah nomaden sampai mereka menetap (settled). Dalam bahasa Arab mereka bisa disebut sebagai kahin, yaitu orang yang dapat berbicara kepada orang lain karena mengalami penglihatan atau juga mimpi. Dan aspek ini cukup kuat dalam sejarah para leluhur. Apa yang kemudian disebut sebagai theophani (bnd. Apa yang dialami Abraham, Ishak, Yakub, sampai pada Musa, dalam seluruh sejarah personal mereka).

II. AGAMA KANANI (orang-orang Kanaan)
1. Agama Orang Ugarit dan Kanani. Agama Kanani sering disebut terra incognita sampai dengan beberapa dekade yang lalu; kita hanya memiliki sedikit informasi mengenainya. Beberapa kesimpulan ada dari bahan PL, dari penggalan-penggalan teks di Mesir, dari surat Amarna, dan dari inskripsi Fenisia. Sumber tambahan lain ada dalam tulisan-tulisan berbahasa Yunani, seperti dari Philo Byblius (64-141 AD).

Hanya ada beberapa rujukan mengenai agama Kanani, yang juga diketahui sebagai agama semitik, seperti (a) sejumlah gambaran mengenai Tuhan yang anthrpomistik, walau tidak banyak, yaitu subyek yang ada di alam idea yang abstrak; (b) benda-benda yang mengandung makna ilahi seperti Matahari, Bulan, Venus – sejajar dengan konsep El sebagai Tuhan yang ada di tempat yang tinggi; (c) ketergantungan manusia kepada Tuhan, melalui konsep manusia itu berdosa, dan manusia bergantung pada anugerah Tuhan; (d) ide mengenai keadilan Tuhan, termasuk yang menjadi masalah dalam Theodise (yang kemudian berkembang di Babilonia); (e) unsur mistis dalam realisme Semitik, dan jurang antara tuhan dan manusia sebagai hal yang tidak terhubungkan; (f) adanya dimensi mitis mengenai Tuhan, yang berakar dalam mitologi Babilonia dan Sumeria, Fenisia, Ugarit dan Hurrian.

Mengenai kedua agama ini, referensi yang bisa dijadikan acuan adalah di Fenisia, kota Ugarit, yang dipahami sebagai bagian dari agama Kanani. Terletak di ras es’samra, “Fenel Head”, kota ini ada di bagian Timur Laut pesisir Syria. Di sini ditemukan berbagai sumber arekologi yang bisa menerangkan eksistensi agama Ugarit dan Kanani.

Agama Kanani ini ditemukan Israel ketika mereka masuk Palestina. Dari sisi corak keagamaannya, terdapat titik temu yang kuat juga dengan agama-agama di India.

2. Tuhan orang Kanani. Teks-teks Ugarit adalah sumber yang paling jelas mengenai dimensi pantheon orang Kanani. Teks-teks itu tidak menyebut mengenai batu karang, atau pohon-pohon yang sakral, melainkan, seperti dalam PL, mengenai kultus lokal yang kuno. Gambaran dominan mengenai pantheon itu ada dalam sebutan Tuhan dan Baal; yang terkenal pula dalam PL. Karena itu banyak atribut El (seperti El Olam, dan Baal Hermon) tidak secara langsung menunjuk pada tuhan lokal, tetapi dipahami sebagai bentuk pengungkapan lokal mengenai Tuhan atau sebagai penunjuk geografis dari tempat kultus mereka.

Karena itu El sering pula disebut sebagai tuhan yang memiliki posisi dominan dalam masyarakat. Ia disembah sebagai “pencipta para tuhan”, termasuk karena itu juga [mencipta] Baal. Karena itu El sering dipahami sebagai “bapak Baal” (Father of Baal). Baal sendiri dalam agama Ugarit dipahami tinggal di gunung Zaphon, bagian Utara Ugarit. El juga dipahami dalam kata benda yang umum yaitu “tuan”, “pemilik” atau “suami” dan juga nama Tuhan, yang diidentifikasi dengan Hadad (El Hadad), Tuhan badai, hujan, dan kesuburan.

Beberapa konsep Tuhan yang lain adalah Anat yang dipahami sebagai “perawan Anat” saudara perempuan Baal. Yam adalah lawan pengikut kedua dari Baal. Bentuk lengkap dari namanya adalah “Pangeran/Penguasa laut, penguasa sungai”, menunjuk bahwa laut adalah wilayah kekuasaannya, sedangkan sungai dipahami sebagai area yang terhubung secara langsung dengan laut itu sendiri. Ia menjaga kerajaan Baal, termasuk tanah, laut, dan juga monster laut – Leviathan, Tannin.

Ashtar adalah juga subyek ilahi lain yang disembah di Ugarit, walau tidak banyak diceritakan dalam teks-teks Ugarit. Setelah Baal dikalahkan oleh Mot (“Kematian”), ia disebut sebagai penerus Baal; tetapi tugasnya tidak sama. Ada juga Astarte, yang sering diidentikkan dengan Ishtar (tuhan Babilonia) dan disebut dalam berbagai kultus dan litrurgi Ugarit. Astarte adalah seorang perempuan, dan diidentikkan dengan tuhan kesuburan atau terkait dengan kultus seksual.

Dagon adalah tuhan yang disembah sejak milenium ketiga di Mesopotamia (Mari) dan Syiria. Di Syria ia disebut sebagai Tuhan kesuburan (Hakim. 16:23). Kemudian Resheph, yang disembah di milenium kedua, terutama di daerah Kanan, tetapi juga di Asia Minor dan Mesir, seperti pada saat di Ugarit. Namanya sering muncul dalam kultus dan liturgi dengan nama personal. Di dalamnya kita menemukan kombinasi antara kehancuran dan kekerasan, seperti Nergal, Tuhan Babilonia, yaitu Tuhan perdamaian dan kesejahteraan (Inskripsi Karatepe).

3. Mitos dan Legende. Berbagai mitos dalam masyarakat Ugarit didominasi oleh cerita mengenai Baal. Ada tiga episode mitos itu.
Episode Pertama: Yam membangun sebuah istana, dan hendak menjadikan dirinya Tuhan di atas semua Tuhan; ia bercita-cita agar kekuasaannya melebihi Baal, orang yang melawannya. Baal mulai membangun suatu hubungan dengan tuhan, dan hanya El yang memiliki kekuasaan di atasnya. Kemudian Koshar wa-Hassis merestui kemenangannya dan memberi kepadanya dua kelompok magis, yang juga direbut Yam. Hasilnya ialah, Yam mati, dan Baal menjadi raja (teks 68:32).

Episode kedua: dimulai dari rencana pembangunan rumah kepada Baal, dalam rangka memperkuat kekuasaannya. Anat bersama-sama dengan Asherah mendapat keuntungan pula dari El. Seorang El memberi ijin untuk membangun, Koshar wa-Hassis yang membangunnya. Ketika rampung, didedikasikan degan pesta pengurbanan kepada tuhan. Baal sendiri yang beruasa, dan “tuhan dan manusia menjadi gemuk, demikian pun bumi berlimpah dalam segala hal”

Episode ketiga: tentang perjuangan Baal dan Mot memperebutkan kekuasaan di bagian bawah bumi. Baal dikalahkan Mot dan mengirimnya ke bagian bawah bumi. Tetapi seorang utusan kembali mengirim tubuhnya ke atas bumi, dan Anat menguburkannya di atas gunung Zaphon. Asthar kemudian menjadi raja, tetapi selalu gagal.

4. Ibadah dan Kehidupan Agama Kanaan. Kultus orang Kanani berkembang secara cepat. Ada banyak tempat suci di “tempat tinggi” yang dipenuhi dengan pepohonan yang hijau (untuk Moab, lihat Yes. 15:2; 16:12; untuk Israel, lihat 1 Raja. 3:2; 2 Raja. 12:4). Dalam sejarahnya, kemudian terbentuk fungsi-fungsi yang ketat, termasuk para raja. Di Ugarit, struktur itu dipegang oleh Imam Tinggi, dan ada 12 keluarga imam (khum), di bawahnya adalah orang suci yang tidak didefenisikan (qasm), dan kemudian kelompok penyanyi (srm).

Agama Kanaani kemudian berkembang menjadi kultus kesuburan, yang terkenal dengan pelacuran bakti (sacral prostitution) yang lalu berkembang secara meluas di Timur Tengah Kuno. Ini harus dimengerti dari perspektif agama agrikultural [konteks pertanian] dan kebutuhan [ekonomi masyarakat].

Tari-tarian kemudian mengambil peran dalam kultus. Dalam PL dilaporkan mengenai tarian putr-putri Silo (Hakim. 21:21), dan pengiringnya para laki-laki (Hakim 9:21), dan proses tarian seperti yang kemudian terjadi pada saat masuk Yerusalem (2 Sam. 6:14).

Beberapa sumber Ugarit memberi kepada kita ide mengenai doa dan hymne. Doa itu dialamatkan langsung kepada El, dan ia kemudian menjadi bagian dari puis.[4]

III. AGAMA ISRAEL AWAL DI PALESTINA
Penaklukan Israel oleh Palestina tidak secara otomatis menempatkan Israel dalam kepemimpinan tunggal. Hal itu hanya terjadi dalam beberapa masa. Klen para leluhur, seperti awal dilaporkan dalam Kej. 12, mungkin muncul pertama kali pada abad ke-14. Cerita sejarah Israel selanjutnya menuturkan mengenai penaklukan yang lain.

Gambaran penting dalam seluruh kisah klen itu adalah apa yang dialami oleh Yakub dengan istri-istrinya. Bukan hanya migrasi, tetapi juga imigrasi yang terjadi di kalangan para leluhur; terutama istri-istri Yakub; Leah dari Selatan, Zilpha dari Barat Laut Transjordan, Rachel juga dari daerah yang sama, dan Bilha yang tidak diketahui berasal dari mana. Ini adalah faktor yang turut membentuk pemahaman kita mengenai daerah-daerah persebaran dan pertumbuhan populasi Yahudi. Dalam seluruh sejarah itu, mereka lalu bersentuhan dengan agama Kanani, termasuk dengan tuhan-tuhan mereka, sampai pada tuhan para klen itu.

Catatan:
[1] Teori ini (migrasi dan infiltrasi) pun dipakai Gottwald dalam menjelaskan pergerakan sosial masyarakat Israel Alkitab. Lihat. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socioliterary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1985); juga Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel, (Philadelphia: Fortress Press, 1992)
[2] Pendekatan ini bisa membantu kita dalam memahami awal mula pembentukan hukum-hukum di Israel Alkitab, atau juga menjadi basis sosial yang darinya hukum-hukum kesucian (holiness code) dan hukum perjanjian (covenant code) atau hukum sosial yang dianut orang Israel Alkitab.
[3] Dalam kitab Nabi-nabi, sering dijumpai formula “beginilah firman Tuhan…” atau “…demikianlah firman Tuhan”
[4] Ini bisa menjadi kerangka dalam memahami tulisan sastra hikmat yang sangat mengadopsi berbagai unsur dan jenis sastra, termasuk dalam ibadah.

Comments

Steve Gaspersz said…
Artikel yang sangat menarik dan penting untuk membuka cakrawala beriman secara cerdas sambil tetap setia pada teks Alkitab.
Prof. JT menawarkan 3 buku Robert Coote kepada BPK Gunung Mulia, dan sekarang baru mulai digarap penerjemahannya. Mudah-mudahan penerbitan buku-buku Coote makin memperkaya khazanah literatur PL yang bermutu dan mencerahkan.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara