Pandangan Dunia yang Ekoetis

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Pengantar
Apa yang kita mengerti tentang pandangan dunia [worldview]? Pertanyaan ini sama tuanya dengan kebudayaan yang dianut masyarakat bahkan lebih tua dari berkembangnya ilmu-ilmu budaya sebagai ilmu yang independen. Sudah sangat lama orang mempersoalkan “mengapa kalau bersin orang selalu mengucapkan “bless you” atau “God Bless you”? Padahal orang lupa bahwa kebiasaan mengucap kalimat itu adalah sesuatu yang dibentuk oleh adanya pandangan dunia tertentu. Konon, kebiasaan itu muncul sebagai akibat dari adanya takhyul yang muncul di masyarakat Amerika Serikat, bahwa kalau kita bersin, jiwa kita melayang keluar dari badan, dan jika kita tidak diberkati TUHAN, kita akan dikuasai oleh setan. Seperti itu pun orang-orang Jawa memahami lafal “tulak sawan” sebagai ucapan “berkat” jika seseorang bersin. Persoalan serupa akan terlihat juga di Maluku, yaitu orang akan mengucapkan “salamat” yang kini disertai dengan keterangan waktu seperti “salamat pagi”, “salamat malam”, dll, atau juga mengikuti cara membahasa orang Inggris lalu mengucapkan “bless you”, kemudian dibalas oleh orang yang bersin itu dengan “dangke”, “thank you”, atau hanya sekedar “senyum”.

Apa pesan yang terkandung dalam bahasa-bahasa itu? Artinya ada suatu struktur pandangan dunia [worldview] tertentu yang mendasari munculnya takhyul atau struktur perilaku masyarakat kita sampai saat ini terkait dengan kebiasaan seperti itu. Demikian pun kita akan melihat dalam masyarakat kita sejumlah takhyul dan perilaku yang terkait dengan lingkungan.

Contoh paling gamblang dalam masyarakat kita di Maluku adalah adanya semacam “larangan” untuk tidak memotong bambu untuk dijadikan material sebuah rumah pada saat “bulang galap”, atau kebiasaan kita untuk membangun fondasi rumah tepat pada jam 05.00, atau “pica pagi”. Struktur pandangan dunia ini kita sebut juga dengan nama lain seperti tanoar, sebagai suatu sistem penanda waktu yang berfungsi mengatur keseimbangan perilaku manusia di alam.

Jika demikian, apakah pandangan dunia itu? Ronald H. Nash membantu kita memahami pandangan dunia secara sederhana sebagai seperangkat kepercayaan tentang isu-isu yang paling penting dalam hidup ini. Lebih lanjut bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memiliki keselarasan [kesalingan] antara satu dengan lainnya, dan membentuk suatu sistem yang kita sebut sebagai skema konseptual [conceptual scheme], yang diartikan Nash sebagai pola atau pengaturan konsep-konsep [ide-ide]. Karena itu pandangan dunia merupakan suatu skema konseptual yang kita pakai untuk menempatkan atau mencocokkan segala sesuatu yang kita percayai, dan menginterpretasikan atau menilai sesuatu realitas baik secara sadar maupun tidak sadar.

Dalam kaitan dengan teologi, George Mavrodes mengemukakan bahwa penting berpikir menurut pandangan dunia karena pandangan dunia memberikan suatu kerangka kerja konseptual kepada seseorang, yang di dalamnya ia dapat melihat keseluruhan hidupnya dijalankan dalam hadirat Allah, adalah sama seperti mengajar orang itu membaca tulisan asing.

Demikian pun Alston melihat bahwa berpikir dengan menggunakan pandangan dunia bertujuan supaya orang dapat menghubungkan aktivitas mereka yang terpisah-pisah dengan dunia ini sebagai suatu kesatuan yang begitu berarti bagi mereka, dan bahwa kehidupan yang tidak dijalani sesuai dengan pandangan ini merupakan suatu kehidupan yang miskin dalam arti yang cukup penting.

Substansi kedua yang penting dimaknai di sini adalah eko-etis. Apakah eko-etis harus dipahami dalam istilah lainnya Etika Lingkungan, atau justru paham baru dalam ekologi? Sejauh ini saya melihat istilah eko-etis itu sebagai yang bermakna etika lingkungan, dan tugas khusus etika lingkungan itu ialah mengembangkan asas-asas yang berkenaan dengan tindakan manusia terhadap dunia yang bukan manusia. Jadi etika lingkungan bertujuan praktis dan bukan sekedar sebuah uraian tentang tempat manusia dalam alam semesta.

Dari dua pengertian itu, maka Pandangan dunia Eko-etis yang dimaksudkan di sini adalah suatu skema konseptual yang kita pakai untuk mencocokkan aktivitas manusia di dalam lingkungan, dan pencocokkan itu dilihat terkait dengan asas-asas kehidupan atau aturan dan norma hidup di alam semesta.

2. Pertentangan Pandangan Dunia Kristen terhadap alam
Apakah persoalan lingkungan hidup itu adalah kerusakan ekosistem sebagai akibat dari pembabatan hutan, pembakaran lahan secara kontinyu, polusi tanah dan air oleh limbah industri, termasuk illegal loging, bom ikan dan pukat harimau, serta penanganan sampah yang tidak berperspektif hiegenis, dll?

Kita mungkin dapat bersepakat dalam hal itu, atau sebaliknya tidak bersepakat dalam arti krisis terparah dalam lingkungan dewasa ini adalah juga sikap manusia yang eksploitatif sehingga tidak lagi mengindahkan lingkungan sebagai hasil ciptaan TUHAN. Artinya manusia sudah sangat otoriter sehingga menterjemahkan amanat penatalayanan terhadap seluruh hasil ciptaan yang diperoleh dari Kitab Suci sebagai kuasa yang destruktif?
Dalam kaitan dengan skema konseptual yang dimaksudkan dalam apa yang didefenisi sebagai pandangan dunia, maka krisis lingkungan tidak mesti dilihat seperti kerusakan-kerusakan fisik seperti itu saja. Lebih mendalam daripada itu sebenarnya Etika Lingkungan dan Teologi Ekologi melihat pada beragam sikap dan tindakan manusia terhadap alam atau lingkungan sebagai suatu perilaku yang dibentuk oleh pandangan dunia tertentu.

Di sini penting digarisbawahi bahwa agama dan karena itu kekristenan telah menjadi suatu sistem konseptual atau pandangan dunia yang sangat menentukan cara dan aktivitas manusia, termasuk di dalam alam semesta ini.
Robert Borrong, dengan mengutip David Kinsley melihat ada empat bentuk sikap dan perilaku manusia sebagai akibat bentukan pandangan dunia kristen terhadap alam semesta, yaitu:

a. Teologi Kristen/Alkitab dianggap menjadi dasar pandangan yang berdampak negatif terhadap perkembangan spiritualitas lingkungan

b. Teologi Kristen/Alkitab mempunyai kecenderungan ekologis yang kuat dan menjadi sumber yang penting yang membangun kehidupan spiritualitas lingkungan

c. Teologi Kristen/Alikitab bersifat ambigu (bermuka dua) terhadap isu-isu lingkungan, dan

d. Teologi Kristen dan Alkitab tidak menentukan kedudukan aktualnya terhadap isu-isu lingkungan tetapi ada tema tertentu atau pasal tertentu dalam Alkitab yang mendukung pandangannya terhadap lingkungan hidup.

Dengan mengemukakan empat corak pandangan dunia itu, Borrong dan Kinsley hendak menempatkan kerangka konseptual kita pada apa persoalan-persoalan dialektis mengenai lingkungan dan pertentangan pandangan dunia terhadapnya. Sebab dari corak pandangan di atas, terletak asumsi bahwa ada pandangan dunia kristen yang antiekologis dan proekologis. Artinya, ada orang yang menerima lingkungan sebagai manifestasi karya TUHAN yang harus dilestarikan, tetapi ada pula yang melihat lingkungan itu sebagai kawasan yang mengandung kekuatan-kekuatan demon, seperti di pohon-pohon yang besar, di sungai, batu, dll, sehingga pengrusakan terhadapnya adalah perang terhadap kuasa-kuasa yang fana.

Corak pandangan dunia itu yang membawa kita ke dalam krisis lingkungan yang parah, sebab tidak ada standar norma yang solid untuk membentuk perilaku masyarakat itu sendiri.

Borrong malah menunjukkan secara gamblang struktur pandangan dunia yang tebentuk melalui Konsultasi Teologi mengenai Ekologi, di Aneccy, Prancis Tahun 1988, dan Sidang Raya DGD tahun 1991 di Canberra, Australia, di mana pada kedua pertemuan teologis itu dihasilkan suatu cara berpikir yang radikal mengenai kisah penciptaan bahwa dalam kisah itu manusia diberi hak untuk mengksploitasi lingkungan, sebab karya penyelamatan itu terjadi hanya kepada manusia.

Sebaliknya, seperti dijelaskan Borrong, teolog sekaliber Lyyn White dan Toynbee, malah mengkritik gereja sebagai yang terlalu berat sebelah memahami amanat budayanya. Bagi mereka, oleh karena kepentingan melawan animisme, gereja bertindak semena-mena menghancurkan simbol-simbol di alam yang berdampak pada pengrusakan alam itu pula (White), dan karena itu gereja mendukung desakralisasi lingkungan (Toybnee).

Dari ulasan itu kita dapat melihat bahwa memang persoalan terparah di lingkungan dari waktu ke waktu juga dibentuk oleh pandangan dunia yang dikotomik itu. Jika struktur pandangan dunia itu dibentuk oleh agama, dan dalam hal ini kekristenan, bagaimana dengan eksistensi pandangan dunia tradisional yang muncul dalam masyarakat?

Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak zaman Pra-Industri, orang memiliki tata cara dan kebiasaan bercocok tanam berpindah/tidak menetap, karena teknologi yang menyanggah aktifitas produksi belum tersedia secara mantap. Bertani dan berladang dilihat sebatas sebagai bagian dari mekanisme survive, atau untuk bertahan hidup.

Pola ladang berpindah, oleh Eric Wolf, dipahami sebagai semacam ekotype atau ciri dasar yang menunjukkan adanya penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran tanpa melihat pada keseimbangan antara satu dengan lainnya. Di zaman pra industri, ekotype ini menjadi ciri yang universal, karena masyarakat masih mengembangkan cara-cara standard, dalam arti berladang sekedar untuk kebutuhan subsistensi (sekedar untuk makan), dan belum mengarah pada kerja produksi. Hal ini dapat juga dikatakan sebagai suatu ekotype masyarakat di Maluku, bahkan yang bermatapencaharian ganda, menjadi pekebun tetapi juga melaut, sesuai dengan iklim.

Struktur pandangan dunia yang dominan di zaman ini adalah bagaimana ladang atau lingkungan pertanian itu dieksploitasi guna kebutuhan hidup setiap hari, dan begitu seterusnya, jika masyarakat itu berpindah (migrasi/nomaden) ke tempat lain. Lahan yang semula digunakan itu akan dibiarkan begitu saja tanpa peremajaan atau rehabilitasi.

Di zaman Industri, sebenarnya muncul ekotype yang lebih baik. Menurut Wolf, di sini orang sudah mulai mengembangkan perspektif produksi, sehingga setiap lahan yang dikelola akan dipersiapkan secara matang, mulai dari memperhatikan waktu pembabatan, penanaman/eksploitasi, dan pemeliharaan. Tindakan ini muncul karena orang sudah berusaha secara menetap, dan mengembangkan sistem produksi yang berkualitas.

Corak seperti itu pun berkembang di zaman modern dan postmodern dewasa ini. Hanya di kedua era ini agak sulit kita menentukan apakah lingkungan itu tetap terpelihara atau tidak. Persoalannya ialah banyak ekses negatif dari pengusahaan lahan produksi, seperti penggundulan hutan, penebangan secara massal, bahkan illegal loging, telah memunculkan dampak yang luar biasa seperti banjir, tanah longsor, pengendapan di muara sungai (terbentuknya delta), dan kerusakan ekosistem sungai, laut, dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Strategi AMDAL, sebagai suatu bentuk pandangan dunia modern dalam kaitan dengan fungsi pemeliharaan lingkungan, telah menjadi juga suatu proyek politik yang sering meloloskan berbagai tindakan eksploitasi terhadap lingkungan. Di Indonesia, kita berhadapan dengan berbagai tindakan kolusif dalam penguasaan HPH atau juga lisensi penebangan hutan. Polisi Hutan sebagai aparat penegak hukum di hutan berhadapan dengan persoalan yang pelik, antara ketegasan tetapi juga kolusi di hutan.

Demikian pun lembaga adatis seperti kewang telah kehilangan posisi dan fungsinya di dalam masyarakat di Maluku. Termasuk pula mekanisme sasi sepertinya sudah tidak lagi memiliki kekuatan ikat atau asas fundamental yang mengatur aktivitas masyarakat di alam ini.

Persoalan-persoalan itu menunjuk pada semakin terpuruknya lingkungan akibat dari pertentangan pandangan dunia yang tidak habisnya.

3. Tanggungjawab Eko-Etis: Suatu Refleksi
Apakah ada tanggungjawab Eko-etis terhadap lingkungan? Kita harus berani menjawab “ya”, sebab Eko-Etis mesti dilihat pula sebagai imperative teologi dan etika [kristen] dalam membangun basis nilai baru yang lebih membuka akses pemulihan lingkungan dan alam semesta.

Ketika gereja melalui Sidang Raya DGD VI Tahun 1983 di Vancouver, berkomitmen dengan “integrity of creation”, di samping dua tugas lainnya yaitu keadilan dan perdamaian, sebenarnya gereja bermaksud membangun suatu cara baru dalam menata aktivitas manusia di alam semesta ini. Sebab dengan tugas itu gereja menyadari bahwa ia dipanggil untuk hidup secara adil dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan..; solidaritas, saling mengasihi, saling mempedulikan, memberi makan kepada yang lapar, memihak kepada yang miskin…dan serentak dengan itu peduli terhadap alam semesta yang semakin tercemar dan rusak, yang pada gilirannya akan mengancam masa depan hidup manusia.

Deane-Drummond mengajukan pertanyaan eko-etis yang penting:
“yang mana harus diutamakan, kepentingan jangka pendek si petani dan kebutuhan rakyat akan bahan makanan, atau kepentingan jangka panjang ekosistem dan juga kemungkinan perusakan kesehatan penduduk jangka panjang?
Apakah kita harus memperhitungkan dampak kerusakan kehidupan satwa liar yang tidak jelas kelihatan berdampak pada masyarakat manusia? Dengan kata lain, apakah tidak etis merusak spesies yang bukan manusia, tanpa mempersoalkan berdampak tidaknya hal ini pada kepentingan manusia?

Kedua pertanyaan ini memang penting direfleksikan secara kritis. Sebab aspek yang penting di situ adalah bagaimana manusia dapat menempatkan diri dan memberi argumentasi yang membimbing mereka untuk bertindak di atas alam semesta ini.

Deane-Drummond memang tidak menyangkali akan adanya sikap mendua dalam merumuskan dasar etika bagi tindakan manusia yang menyangkut lingkungan hidup. Tetapi justru di situlah diperlukan ketegasan dalam mengambil keputusan etika yang berdampak positif bagi manusia dan juga lingkungannya.

Apa yang dimaksudkan di sini adalah diperlukannya perubahan-perubahan yang berarti, yang menunjukkan pada kemampuan manusia menata aktivitasnya di tengah tabrakan pandangan dunia yang dianutnya. Baik pandangan dunia tradisional, pandangan dunia agama, pandangan dunia modern, ketiganya harus dapat ditempatkan dalam skema konseptual yang baru, di mana ada kesalingtergantungan atau kesalingan dalam hal mendukung satu dengan lainnya.

Eko-etis akan membantu kita menemukan di mana letak kesalingan itu. Dari paparan di atas, letak kesalingan dalam hal bagaimana manusia bersikap dan beraktivitas di alam adalah bahwa alam adalah tempat dan ajang kehidupan manusia dengan semua ekosistem yang ada di dalamnya.

Lingkungan itu merupakan suatu manifestasi hubungan rangkap tiga, antara manusia dengan unsur-unsur hayati di dalamnya, dan juga dengan TUHAN. Hubungan ini mesti ditempatkan dalam relasi tanggungjawab etika, di mana manusia diciptakan TUHAN untuk menjadi pengelola dari kehidupan semua makhluk di alam itu.
Apa yang diceritakan dalam kisah “Jatuhnya manusia ke dalam dosa” (Kej. 3) adalah bukti dari putusnya relasi kesalingan tadi. Di sini tidak tampak dimensi tanggungjawab eko-etis, sebab manusia memanfaatkan unsur-unsur alam (buah) sebagai caranya untuk mendominasi TUHAN.

Kita bisa menyebut cerita ini sebagai bentuk kegagalan manusia memproduksi secara kritis dua pandangan dunia yang saling bertentangan. Pandangan dunia yang bersumber dari ALLAH, dalam bentuk “larangan” memakan buah di taman, dan pandangan dunia yang berusumber dari Iblis, dalam bentuk “anjuran” untuk memakan buah dalam taman Eden itu.

“Larangan” Allah dalam terjemahan manusia itu dinilai sebagai sesuatu yang negatif, demikian pun ketika ia dihadapkan pada pandangan dunia baru yang dibawa oleh Iblis. Karena itu, “anjuran” ibilis itu bernilai positif, kontra dengan pandangan dunia yang bersumber dari Allah.

Di sini, kepada manusia diberi kesempatan untuk mengkritisi kedua pandangan dunia itu. Manusia kala itu tidak menempatkan kedua pandangan dunia itu secara kritis, sebaliknya terjebak dalam nada positif dari struktur pandangan dunia yang baru, tanpa mempertimbangkan ekses dari pandangan dunia itu.
Ekses yang muncul justru adalah rusaknya hubungan rankap tiga tadi; keterusiran manusia dari taman itu merupakan bukti gagalnya tanggungjawab manusia sebagai “pengelola” dan karena itu berdampak pada rusaknya spiritualitas lingkungan, dan putusnya relasi dengan Allah.

Di sinilah kita perlu menggarisbawahi bahwa pertemuan dua atau lebih pandangan dunia mengenai lingkungan adalah fenomena yang mendasar dari sejauhmana manusia mengembangkan aktivitas yang produktif dan berperspektif ekologis.

Dewasa ini manusia pun kedapatan gagal dalam mempertimbangkan pandangan dunia ekonomi (melalui kuasa mengeksploitasi lingkungan) dengan tugasnya melestarikan keutuhan ciptaan Tuhan. Kita terjebak dalam suatu corak pandangan dunia yang materialistik, lalu menggarap lingkungan untuk kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan eksesnya dalam relasi rangkap tiga tadi.

Kepustakaan:
Alston, W.P., “Problems of Philosophy of Religion”, dalam Encyclopedia of Philosophy, cetakan ulang, New York: MacMillan, 1972
Borrong, Robert P., “Teologi dan Ekologi: Peran Pendidikan Teologi dalam Mengembangkan Teologi Ekologi”, dalam Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan Indonesia, (peny. Pramudianto dan Marthin L. Sinaga), Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 1999
Deane-Drummond, Celia, Teologi dan Ekologi: Buku Pengantar, terj. Robert P. Borrong, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Erari, Karel Phill, “Tanggungjawab Profetis dan Advokasi Gereja dalam Pembangunan berwawasan Lingkungan”, dalam Keadilan bagi yang Lemah: Buku Peringatan Harijadi ke-67 Prof. Dr. Ihromy, MA, Karel Phill Erari, et.al., Jakarta: STT Jakarta, 1995
Kinsley, David, Ecology and Religion: Ecological Spirituality in Cross-Cultural Perspective, Engelwood Cliffs, N.J,: Prentince Hall, 1995
Mavrodes, George, Belief in God, New York: Random House, 1970
Nash, Ronald H., Worldviews in Conflict, Michigan: Zondervan Publisihing House, 1993
Purwoko, Herudjati, Tiga Wajah Budaya: Artefak, perilaku, dan rekayasa, Semarang: Masscom Media, 2003
Wolf, Eric, Petani, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994

Comments

t4l4mburang said…
Apa ujung dari semua usaha ekologis yang kita lakukan? Masa depan manusia juga... Manusia yang ketakutan, manusia yang ingin perubahan, manusia yang merubah dunia, manusia yang memikirkan ini, bertindak itu.......
Beta pikir kegelisahan manusia terhadap keadaan alam pun Ambigu boss... artinya, ada yang tidak terungkap padahal dari kegelisahan-kegelisahan itu.... Ada sisi lain dari keinginan menyelamatkan alam semesta dan lingkungan yaitu sekedar menyelamatkan spesies manusia sendiri.... Mungkin ini sedikit skeptis, tetapi skeptisisme itu juga perlu untuk menelanjangi siasat-siasat yang sebetulnya tidak manusiawi....
Apa yang dapat diberikan oleh agama-agama Supranatural... Menurut beta, agama-agama kita yang supranatural ini sebenarnya miskin dengan sumber-sumber itu..... Para teolog saat ini hanya mencari-cari cara dan pendasaran pada teks-teks kitab suci yang ditulis oleh para penulis yang pandangan dunianya belum menjadikan masalah lingkungan sebagai bagian dari kegelisahan.... Apa yang mau didapat dari sana. Kita (untuk tidak membahasakan kekristenan) sebenarnya telah menjajah pandangan-pandangan dunia masyarakat lokal yang utuh tentang alam dan lingkungannya dan kita coba untuk menebus kesalahan itu perlahan-lahan. Menurut beta, pencarian terhadap dasar bersama dalam Eko-Etika itu juga merupakan upaya pengakuan terhadap kegagalan kita mengakomodir pandangan masyarakat adat yang pernah dikafirkan itu. Kalau ada pengakuan seperti itu, kita akan mulai bangkit bersama tanpa harus menjadi "SUPERIOR kembali"..
Good Job Broooo....
Beta ada menulis tentang KESEWENANG-WENANGAN YESUS... :) Mudah-mudahan bisa dikritisi...

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara