MANUSIA MALUKU DALAM KERANGKA FILSAFAT KEBUDAYAAN DAN TEORI SOSIAL

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

A. Pengantar Umum
Saya memberi topik pada bahasan ini yakni “Manusia Maluku dalam Kerangka Filsafat Kebudayaan dan Teori Sosial” agar dapat memetakan soal-soal mendasar seputar manusia secara akademis dan ontologis.

Memang terdapat kerumitan tersendiri untuk mengelaborasi gambaran sketsa kebudayaan Maluku secara mendasar, sebab prinsip utama dalam studi kebudayaan mengasumsikan bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang mono-culture. Artinya tidak ada budaya tunggal di dalam suatu komunitas yang luas. Semisal itu, maka di Maluku, yang kita kenal bukanlah budaya Maluku, melainkan budaya masyarakat Maluku.

Mendefenisikan “budaya Maluku” berarti bertolak dari asumsi bahwa ada suatu corak berbudaya yang kita klaim sebagai budaya Maluku. Padahal realitas sub-kultur di Maluku akan menghadapkan kita pada puncak budaya sub-kultur mana yang kemudian kita namai budaya Maluku itu sendiri.

Karena itu, sketsa filosofi kebudayaan membantu kita untuk mengenal segala energi yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan suatu kebudayaan.[1] Mengenal energi yang menggerakkan manusia, berarti mengenal manusia dengan hasil karyanya. Ini tidak lain dari suatu usaha mengenal semesta budaya itu dalam seluruh esensi dan eksistensinya; terutama di dalamnya manusia, sebab manusia adalah suatu produk berbudaya, manusia juga adalah penghasil budaya, dan manusia kemudian memberi diri diatur oleh sistem di dalam kebudayaannya.

Mengenal manusia yang berbudaya, tidak akan dapat dilepaskan dari masyarakat di mana manusia itu ada dan berkomuni. Intinya adalah budaya yang dihasilkan manusia itu adalah budaya manusia di dalam masyarakat, dan selanjutnya masyarakat itu yang memberi legitimasi sosial, dan filosofis kepada manusia untuk bertindak. Hal itu kemudian nyata dalam apa yang sering kita sebut “manusia beradab”. Artinya hal beradabnya manusia adalah suatu kenyataan berbudaya yang disahkan oleh masyarakat. Masyarakat menetapkan standar norma umum (common ground morality), dan manusia hidup di dalamnya. Ini adalah bukti legitimasi sosial.
Legitimasi filsafati dapat dilihat dalam carapandang yang dianut oleh suatu masyarakat. Carapandang itu selanjutnya yang menjadi pedoman dalam seluruh aktifitas sosial dan berbudaya masyarakat manusia. Contoh, masyarakat Maluku menjadikan baileu sebagai makro-kosmos di dalam negeri. Carapandang ini terbentuk karena adanya suatu pemahaman filsafati bahwa manusia akan selalu ada dalam keseimbangan dengan semestanya. Semesta manusia/masyarakat adalah keseimbangan dunia kini dan dunia akan datang, atau keseimbangan relasi manusia riil dengan manusia adikodrati. Makanya, dibuatlah seperangkat nilai sebagai prinsip dan carapandang yang dianut turun-temurun.[2]

B. Budaya dan Citra Manusia Maluku
Pada catatan penutupnya, Bakker menulis:
“Filsafat kebudayaan menguji defenisi yang diberikan oleh ilmu kebudayaan pada taraf metafisi, menurut norma-norma transenden. Artinya filsafat ini menguji sejauhmana defenisi tersebut mencerminkan hakekat kebudayaan; mencerminkan kebudayaan sebagai sifat esensi manusia yang melampaui batas-batas ruang dan waktu; yang tidak terikat pada tempat dan sejarah. Filsafat kebudayaan juga merasa berwewenang untuk membimbing jalan kebudayaan ke arah perkembangan wajar, sedang ilmu kebudayaan – secara implisit – dianggap tidak memiliki wewenang ini”.[3]

Paparan Bakker itu mengantar kita untuk melihat bagaimana filsafat kebudayaan itu dalam aspek meta atau sesuatu yang melampaui dan bisa menembusi sekat-sekat di dalam budaya. Filsafat kebudayaan itu menukik sampai ke dasar-dasar kebudayaan, dan itu adalah seprangkat norma atau nilai (jer. urbild, ing. ground). Pengantaran filsafat ke basis nilai atau norma dan seperangkat carapandang (worldview) atau makna diri (self-meaning) akan membawa kita kepada manusia dan masyarakat sebagai subyek utama di dalam kebudayaan dan filsafat itu sendiri.

Oleh sebab itu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kaitan dengan ujian ini penting dijajaki dengan melihat ke dalam kebudayaan secara ontologis.

1. Sketsa filosofi kebudayaan Maluku
Klukholn merumuskan bahasa, sistem ilmu pengetahuan, sistem sosial dan oranganisasi masyarakat, pendidikan, teknologi dan perlatan hidup, agama dan kesenian, sebagai unsur kebudayaan universal (cultural universal) yang dimiliki masyarakat dunia. Perbedaan-perbedaan di antarnya hanya tampak melalui budaya material atau budaya subyektif, dan budaya formal atau institusional yang ada pada masing-masing sub-kultur.

Unsur kebudayaan itu adalah materi paling dasar untuk mengurai sketsa filosofi kebudayaan Maluku. Namun terlebih dahulu harus dikatakan bahwa kebudayaan Maluku yang dimengerti di sini adalah budaya universal yang ada pada masyarakat Maluku, sebab tidak ada budaya tunggal Maluku.

Dari situ pertanyaan pokoknya adalah dari mana kita bisa mengurai sketsa filosofi kebudayaan Maluku itu pula.

a. Budaya Material dan Non-Material
Kita tidak bisa mengklaim “tabaos” sebagai satu-satunya budaya komunikasi di Maluku. Sebab secara non-material, “tabaos” itu adalah salah satu mekanisme komunikasi budaya yang dimiliki masyarakat di Maluku. Beberapa bentuk budaya komunikasi yang tersistem dalam pranata sosial dan kebudayaan masyarakat di Maluku adalah juga “saniri negeri”, atau malah “makan patita”.

Tetapi sebagai yang diproduksi oleh masyarakat, beberapa unsur budaya material yang bisa dimengerti sebagai kekayaan filosofi budaya Maluku misalnya “baileu”. Pada sub-kultur mana pun di Maluku, “baileu” ini menjadi makrokosmos negeri, dan memainkan fungsi penyeimbang (equalibrium) atau menjaga titik harmoni di dalam relasi antar-masyarakat dengan kekuatan supra-natural di alam.[4]

Di dalam “baileu” semua urusan masyrakat, dari urusan sosial sehari-hari sampai pada urusan-urusan religiositasnya diurus dan dibicarakan secara bersama-sama oleh “Saniri Negeri” sebagai pemegang wewenang pengantaraan antara manusia-manusia, dan manusia/masyarakat-manusia adikodrati. Ini yang disebut Plato sebagai syarat pengenalan dunia duniawi kita.[5]

Di samping itu, pada beberapa negeri dalam sub-kultur tertentu, tata cara pengerjaan “baileu” juga menunjuk pada adanya suatu sistem pandangan filsafati kebudayaan yang kuat. Kita contohkan tradisi tutup “baileu” di negeri Hulaliu, pulau Haruku. Setiap marga di dalam negeri itu berhak memancang tiang-tiang baileu menurut tata cara adatisnya. Di samping itu, keterlibatan negeri-negeri lain dalam Hatuhaha Amarima, termasuk di dalamnya negeri-negeri Salam tidak bisa diabaikan, sebab justru keterlibatan mereka itu memberi dasar legalis bagi ritus itu. Tanpa itu, ritus itu dipandang tidak sah, dan itu berarti bertentangan dengan tatanan nilai kepercayaan (filsafati) yang telah dimiliki.

Cara yang sama pun tampak dalam lakpona, natir, sebagai juga budaya material yang ada di komunitas sub-kultur Maluku Tenggara Barat.

Demikian pun misalnya upacara tutup atap mesjid Wapaue di negeri Hila. Keterlibatan saudara-saudara dari Hila Kristen, bukan merupakan suatu hal yang baru pasca-konflik Maluku. Keterlibatan mereka telah terlembaga di dalam tradisi keagamaan orang Hila Salam, tanpa itu, ritus keagamaan tersebut tidak “afdhol” dan karena itu berlawanan dengan nilai kepercayaan (filsafati) yang dianutnya.

Sketsa ini sengaja dimunculkan untuk memperlihatkan bahwa filsafat kebudayaan Maluku, dalam kaitan dengan hasil budaya material, mengandung di dalamnya nilai komunalitas dan hubungan antar-masyarakat yang intens.

Suatu budaya material yang dihasilkan tidak sebatas memiliki makna individual, tetapi terhisab ke dalamnya makna sosialitas, dan karena itu sketsa filsafat kebudayaan Maluku adalah sketsa yang terbentuk di dalam gambaran utuh komunitas masyarakat manusia Maluku itu sendiri. Itu berarti ontologi filsafat kebudayaan Maluku adalah suatu semesta makna yang lahir dari basis-basis nilai bersama, apa yang kemudian disebut sebagai mesin eksistensi anak negeri.[6]

b. Kosmologi dan alam Pikiran Filsafat Kebudayaan Maluku
Kuatnya pemahaman masyarakat Maluku mengenai “negeri” dalam term filsafatis “gunung tanah” atau “tampa potong pusa” memperlihatkan bahwa terbentuk suatu carapandang (worldview) yang menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat atau anak negeri pada negerinya bukan hanya terjadi pada level pemahaman (level of thought) tetapi telah meresap di dalam level kepercayaan (level of belief).

Negeri dilihat sebagai tempat di mana seluruh bangunan identitas masyarakat itu terbentuk. Karena itu mereka tidak akan mau memisahkan diri dari negeri di mana mereka dilahirkan. Alam pemikiran seperti ini mengandaikan negeri sebagai “anasir” utama di dalam hidup. Sebab itu, seluruh praktek berbudaya masyarakat hanya bisa dijumpai di dalam negeri.

Atas alasan ini, setiap anak negeri yang berada di luar teritori negerinya (dalam hal ini merantau), akan memiliki fantasi dan keterikatan yang lebih kuat lagi kepada negerinya. Tidak hanya itu, komitmen “pulang kampung” tidak sebatas untuk membangun nostalgia, tetapi meresap di dalamnya suatu mentalitas “strugling” atau perjuangan, sebab “pulang kampung” harus disertai dengan keberhasilan.

Tidak ada orang Maluku yang merantau dan bersedia “pulang kampung” jika “balong dapa hidop” atau “balong jadi orang”. Ini adalah bentuk carapandang “strugling”, yang sebenarnya telah dibentuk oleh wawasan dunia ketika mereka berada di dalam negerinya.

Salah satu wawasan dunia yang mendorong orang Maluku keluar dari teritori negerinya adalah ‘”pi cari hidop”. Ini berarti kerja merupakan suatu aktifitas fisik tetapi juga filsafati. Sebagai aktifitas fisik, kerja adalah manifestasi dari manusia sebagai “homo faber”. Ia harus beroperasi dengan dirinya, dan karena itu mengembangkan potensi (skill) secara maksimal untuk menghasilkan (produksi) sesuatu baginya dan masyarakat. Sedangkan sebagai aktifitas filsafati, kerja diilhami oleh adanya sistem pemahaman atau kepercayaan tertentu yang menjadi sumber motivasi yang lalu membentuk ethosnya.

Dalam sketsa kebudayaan Maluku, persoalan ini tidak bisa dimengerti lepas dari dimensi tanggungjawab budaya atau tanggungjawab filsafati anak negeri kepada orang tua dan negerinya. “Cari hidop biar bisa lia orang tatua”, atau “supaya bisa bangong negeri” adalah motivasi filsafati yang telah menjadi bagian dari wawasan dunia orang Maluku.

Dalam banyak hal, mentalitas itu pun terbentuk dari adanya wawasan dunia yang melihat laut sebagai simbol “chaos” atau medan yang harus diseberangi. Ini sangat kelihatan dalam orientasi hidup orang-orang Maluku Tenggara dan Lease. Laut adalah medan yang harus ditaklukkan dan diseberangi untuk mencari suatu yang positif untuk diri dan masyarakat.

Secara faktual kita bisa melihat bagaimana uletnya orang-orang Maluku Tenggara dan Lease ketika berada dan bekerja di Ambon. Ini memperlihatkan bahwa wawasan dunianya itu telah menjadi suatu nilai yang memotivasi dirinya. Karena itu, ikatan kekerabatan mereka cenderung kuat dan rampat, serta benar-benar memanifestasikan ikatan komunalitas itu.

2. Sektsa filosofi manusia Maluku
Manusia Maluku adalah manusia yang dinamis, bereksistensi dan tidak pernah menjadi subyek yang final. Sebagai manusia yang dinamis, ia bergerak dan beraktifitas di dalam komunitasnya, atau juga memasuki ruang-ruang publik yang terbuka dan menantang. Pada saat itu, ia menjadi dirinya yang beraktifitas (active).

Sebagai manusia yang bereksistensi, ia adalah makhluk yang selalu mencari makna dan kesejatian dirinya, bukan sebatas dalam hal “men-tubuh” tetapi “men-sosial”, atau ia menghadapi dirinya bukan sebatas sebagai suatu fakta, tetapi juga suatu masalah, sehingga dari situ ia selalu mempertanyakan argumentasi-argumentasi mengapa ia ada dan mengapa ia bereksistensi. Argumentasi-arugmentasi itu mengarahkan dirinya pada pengembangan “potensi” di dalam diri maupun di dalam masyarakat.[7]

Sebagai subyek yang belum final, manusia Maluku bukanlah hasil ciptaan yang tidak tuntas oleh Penciptanya. Secara fisik dan psikhis ia diciptakan tuntas, tetapi eksistensi kemanusiaannya adalah suatu proses menjadi (on being human). Di dalam proses menjadi itu, ia dihadapkan pada apa yang Watloly sebutkan sebagai tantangan globalita dan lokalitanya.[8]

Dalam mengurai sketsa filsafati manusia Maluku, kita sebenarnya tertolong oleh Watloly[9] yang mencoba mensketsakan manusia Maluku ke dalam beberapa “anasir”, yakni:
a. Manusia Maluku yang adatis
b. Manusia Maluku yang musikalis
c. Manusia Maluku yang agamis (religius)
d. Manusia Maluku yang suka hidup bersama dan jujur (etik sosial)
e. Manusia Maluku yang cinta persatuan dan kesatuan
f. Manusia Maluku yang terbuka dan mau bermusyawarah (inkulsif, demokratis)

Ada beberapa hal yang dapat dimaknai, secara filsafati, dari sketsa manusia Maluku yang dikemukakan Watloly itu.

Pertama, sketsa manusia Maluku seperti itu adalah suatu perampatan dan pemerian (kesimpulan) mengenai bagaimana kebudayaan Maluku membentuk basis-basis eksistensi manusia Maluku. Tiga sketsa pertama, yakni sketsa manusia adatis, manusia musikalis, dan manusia agamis adalah suatu gambaran bahwa manusia Maluku adalah hasil bentukan budaya dan adat yang sempurna.

Mereka lahir di dalam kebudayaannya, diperlakukan, sejak dari dalam kandungan sampai meninggal, juga dengan sentuhan adat yang konsisten. Adat karena itu menjadi sistem norma yang bisa menjelaskan eksistensi manusia Maluku baik person maupun komunal.
Adat karena itu membentuk basis-basis genealogis, atau asal-usul manusia. Karena itu negeri-negeri kita lebih bercorak sosio-genealogis, ketimbang sosio-politis. Keterpautan adat dan eksistensi ini yang mungkin juga dimaknai Jacques Derrida tentang kemurnian eksistensi. Artinya eksistensi manusia itu tidak bisa dihindarkan, walau sering ada juga ketidakmurnian. Maksudnya bisa saja suatu eksistensi yang dipahami bersumber dari “asal usul” yang tampaknya sederhana bisa datang dari yang “bukan asal usul”.[10]

Kedua, manusia Maluku yang mencari eksistensinya itu adalah manusia adatis dan sekaligus agamais. Kadang sketsa ini muncul secara ambivalensi, karena agama-agama tradisional akhirnya mengendap ke dalam tata cara ritual adat, dan agama-agama Abrahaimik yang datang dari luar menempati struktur dominan di dalam sistem kepercayaan masyarakat.

Faktor ini yang membuat manusia Maluku yang adatis dan agamais kadang tampil sebagai person yang dualis, dalam arti orientasi kepercayaannya masih melekat dengan adat tetapi juga didominasi oleh agama yang dianutnya (Salam-Sarane). Namun, di sinilah kita lebih mengenal manusia Maluku sebagai manusia yang sangat dinamis mengekspresi budaya dan agamanya; atau mendapati suatu agama yang bercorak kultural. Karena itu, penyebutan Salam-Sarane lebih menyentuh rasa budaya orang Maluku ketimbang sensetifitas agamanya.

Ketiga, manusia Maluku dalam sketsa Watloly tadi adalah manusia yang terbuka pada gempuran perubahan sosial baik dari dalam (Indonesia) maupun dari luar (global). Sejarah masyarakat manusia Maluku akan membentangkan sebuah narasi bahwa gempuran global itu telah terjadi sejak abad ke-7 atau abad ke-13. Itu pertanda bahwa sketsa keempat sampai ketujuh dalam gambaran Watloly tadi adalah suatu mekanisme pertahanan sosial (social resistence mechanism) yang dihasilkan masyarakat manusia Maluku dalam kontak dengan perubahan sosial yang menerpanya.

Di sini kita harus berani mengatakan bahwa walau berhadapan dengan gempuran global, seluruh sketsa kemanusiaan itu adalah hasil transformasi bentuk-bentuk kearifan lokal mereka. Sikap jujur dan terbuka adalah suatu perilaku sosial yang adalah hasil transformasi dari perilaku orang Maluku yang “apa adanya”, dalam arti “kalu ada, kasi” (jika ada, diberi).

Sebaliknya rasa cinta persatuan dan kesatuan adalah mekanisme yang ditransformasi dari perilaku manusia Maluku yang suka mencari titik harmoni atau keseimbangan. Sketsa M. Bouland yang membagi manusia Maluku dalam tiga komponen: uru/asa/kepala, hesam hesa (pusat), dan hatu/alas, kaki, memperlihatkan bahwa daerah hesam hesa (pusat) adalah titik harmoni dari uru dan hatu. Pada titik harmoni ini semua hal dipertimbangkan.[11]

Demikian pun dalam ranji negeri, kita melihat bagaimana baileu negeri dijadikan titik harmoni antara wilaya lao dan dara, serta uku dan weroang, karena itu baileu selalu dibangun tepat di tengah negeri, atau pada titik pusat/nadir dari empat penjuru mata angin (timur, barat, utara, selatan).

Ini adalah simbolisasi bahwa setiap bagian melakukan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya, dan jika terjadi pertentangan di dalam peran dan fungsi itu, titik harmoni ini menjadi mekanisme penyelesaiannya.

Atau pun sketsa terbuka dan mau bermusyawarah juga adalah bentuk transformasi dari kebiasaan menjadikan suatu masalah tertentu sebagai masalah mata rumah (klen) atau masalah masyarakat. Cara-cara komunikasi dalam “saniri negeri” adalah cara-cara permusyawarahan yang luhur.

3. Sketsa filosofi keberagaman anak negeri Maluku
Sketsa ini sama sekali tidak bisa dilepaskan dari sketsa manusia Maluku yang adatis dan agamis tadi. Tetapi kita mencoba melihat sketsa ini dalam realitas yang baru, terutama dalam realitas pluralisme yang tidak bisa dielak lagi, termasuk oleh anak negeri Maluku.
Salam-Sarane, seperti dikutip tadi adalah suatu realitas keberagamaan yang lebih bercorak kultural.[12] Realitas ini sekaligus adalah realitas pluralisme di Maluku yang juga mesti dimengerti dari sisi kultural itu.

Jika sketsa ini kita gambarkan dari sejarah masyarakat, maka akan ada suatu bentangan maha luas mengenai bagaimana Islam mengadaptasi diri dengan budaya orang-orang pesisir Leihitu, Pulau Ambon, dan menjadi suatu kekuatan dominan, dalam kaitan dengan Ternate (sejak awal abad ke-13). Demikian pun bagaimana Kristen masuk bersamaan dengan kolonialisme Eropa (Portugis dan Belanda), dan melembaga di dalam kehidupan orang Ambon (Katolik, kemudian Protestan), Kei, Tanimbar (Katolik).

Sketsa komunitas Salam-Sarane di Maluku perlu dipahami dari pola pengelompokan sosial masyarakat. Negeri-negeri di Maluku terbentuk secara homogen dan homogenitasnya ditandai oleh faktor agama. Karena itu dengan menyebut seseorang sebagai anak negeri tertentu, akan jelas diketahui agama yang dianutnya. Demikian pun “fam” akan menunjuk langsung pada aliansi agama seseorang.

Pola negeri yang homogen itu juga terjadi dalam satu sub-kultur tertentu. Orang-orang Maluku Tenggara Barat adalah komunitas Kristen, demikian pun orang-orang Seram Bagian Timur. Corak teritori seperti itu telah menjadi salah satu bagian dari sketsa keberagamaan orang Maluku.

Pada sisi lainnya, sketsa keberagamaan itu ditandai oleh pengaruh budaya yang cukup kuat. Menariknya ialah pengaruh budaya itu membangun suatu relasi lintas-agama, seperti melalui matra pela-gandong; terbentuknya hubungan pela-gandong antara negeri Salam dan Sarane karena faktor genealogis, atau berasal dari satu leluhur yang sama (ancestor relationship).
Di sini sebenarnya pluralisme atau sketsa keberagamaan orang Maluku tidak bisa dilepaskan dari konsep “orang basudara”. Konsep ini yang menjadi tanda eksistensi keberagamaan orang Maluku. Di mana setiap agama mampu membangun hidup bersama atas dasar filsafat kebudayaan “orang basudara tadi”.

Karena itu, konflik yang menyeret agama ke dalamnya pada 1999 di Maluku adalah suatu bentuk gempuran sosial yang turut melemahkan mekanisme “orang basudara” kita. Mekanisme ini yang kemudian dihidupkan kembali dengan menghidupkan energi budaya Maluku itu sendiri.

C. Pikiran Filsafati Mengenai Hakekat Masyarakat

4. Karl Marx tentang hakikat masyarakat
Marx menganut metode dialektis dari Hegel dan Ludwig Feuerbach. Pengaruh kedua orang ini terhadap Marx juga tampak dalam kerangka pemahaman Marx mengenai alienasi (entfremdung); suatu konsepsi yang sangat berpengaruh di dalam teori sosialnya. Bahkan realitas kaum borjuis dan proletar yang disintesakan Marx tidak bisa dilepaskan dari fenomenologi Hegel dan Feuerbach serta teori alienasi itu.[13]

Di bawah pengaruh Hegel dan Feuerbach itu, Marx melihat bahwa manusia adalah subyek yang menciptakan suatu obyek terentu. Dalam penciptaan obyek itu, manusia menunjukkan eksistensinya di dunia yakni melalui “kerja’ (labor). Manusia disebutnya sebagai “homo faber” (makhluk pekerja).[14] Kerja ini juga yang membuat manusia jelas bisa dibedakan dari hewan. Dalam kondisinya itu, manusia bekerja, mesti makan, beristirahat, dan bersantai (rileks). Tetapi suatu waktu jika ia terjebak di dalam beban kerja yang sangat berat dan karena itu tidak bisa beristirahat, makan, rileks, bahkan tidak ada waktu bebas (free time), ia tidak lebih juga dari seekor hewan.[15]

Setidaknya realitas itu yang tampak dalam masyarakat Jerman kala itu, di mana para budak (kaum proletar) telah dijadikan komoditi kerja oleh para borjuis. Kaum proletar yang adalah para petani penggarap tidak lebih dari obyek kerja, dan harus melakukan serangkaian aktifitas produksi tanpa waktu istirahat (free time). Mereka kerja melebihi jam kerja yang semestinya (over time).

Menurut Marx, kerja berat seperti itulah yang mengalienasi manusia dari produksi dan aktifitas produksinya, dan jelas tidak berbeda dari binatang.[16] Dalam salah satu tulisannya bersama Engels, Marx dan Engels berkata “manusia (pekerja) hanya merasa dirinya bebas beraktifitas dalam fungsi hewaninya – makan, minum, prokreasi, atau menetap dan berpakaian, dll; dan di fungsi manusiawinya tidak tampak ketika ia merasa dirinya bukan siapa-siapa melainkan sekedar seekor binatang. Siapakah binatang yang menjadi manusia dan manusia yang menjadi binatang”.[17]

Mengenai masyarakat (society), Marx melihatnya sebagai suatu kompromi gerakan dari suatu antitesis yakni adanya suatu perubahan sosial secara umum melalui ketegangan dan perjuangan (tension and struggle). Di sini Marx dipengaruhi oleh teori evolusi, tetapi ia sendiri yakin bahwa teorinya itu adalah suatu gelombang perubahan yang revolusioner.

Karena itu, walau dibawa pengaruh Hegel, Marx lebih suka berkata bahwa masyarakat itu berkembang bukan karena suatu lingkaran struktur, melainkan suatu perkembangan total dan menyeluruh. Ketergantungan variabel independen sebagai anasir terjadinya perubahan di dalam masyarakat seperti dalam teori Hegel, tidak dimutalakkan begitu saja oleh Marx. Selebihnya ia berpendapat bahwa sistem Hegel itu adalah suatu mode produksi ekonomi.

Karena itu, menurut Marx perubahan di dalam masyarakat tidak bisa dilihat semata dari mode ekonomi. Situasi ekonomi, menurut Marx bukanlah suatu sole active cause (unsur pengubah satu-satunya), tetapi relasi timbal balik antara semua aspek sosial, seperti politik, hukum, filsafat, sastra, seni, dan semuanya terhisab ke dalam ekonomi melalui apa yang disebutnya sebagai “relasi sosial” (social relation).[18]

Karena itu, mode produksi ekonomi adalah suatu bentuk pengungkapan material dari apa yang disebut relasi antar-manusia, dan selalu mengarah pada pencapaian tujuan tertentu, yaitu stabilisasi sosial dalam masyarakat.[19]

Mengapa orang mengklaim Marx sebagai peletak dasar teori konflik, walau sebenarnya Marx lebih suka menyebut teorinya sebagai “perjuangan kelas”. Marx tidak pernah menyangkali hal itu, tetapi ia lebih melihat bagaimana peran kelas (class role) sebagai unsur penentu yang utama. Baginya, posisi klas yang berbeda telah dibentuk oleh mekanisme pembagian kerja yang ambivalen dan terkesan mengejar angka produksi. Di sini kepentingan klas menjadi lebih dominan, dan struktur kerja menjadi tidak seimbang.

Karena itu sering terjadi konvrontasi antar-individu di dalam masyarakat semata-mata karena klas dominan (borjuis) telah mengubah setiap bentuk relasi sosial dari suatu relasi produksi (relationship of production), kepada relasi material yang digerakkan menjadi kekuatan produksi (force of production). Pengerahan ini yang membuat manusia tersublimasi menjadi obyek dari kerja, dan karena itu ketika digunakan teknologi modern, mereka menjadi komponen di dalam mesin itu pula.[20]

Karena itu, perjuangan klas yang dimaksudkan Marx sebenarnya adalah perjuangan untuk membangun yang ia sebut “the holy family”. Di dalam “the holy family” ini setiap orang yang bekerja berhak mendapat perlakuan sebagai manusia dan berhak sejahtera, karena itu berhak atas upah yang layak, dan tidak dibenarkan menjadi “budak” yang bekerja tanpa hari istirahat (free time). Itu yang dimaksudkan Marx dengan masyarakat yang ideal, atau masyarakat tanpa klas.

5. Adam Smith tentang hakikat masyarakat
Isaac Newton memberi pengaruh yang penting bagi Smith, terutama dalam memahami masyarakat. Mengikuti teori astronomis Newton, Smith memahami masyarakat sebagai sebuah mekanisme yang menjaga hidupnya dan memenuhi tujuannya dengan menetapkan dan menetapkan kembali keseimbangan-keseimbangan alamiah tertentu, atau dalam istilah modernya, ekuilibrium-ekuilibrium. Teori ini membuat dia disebut sebagai pendiri teori funsinalisme dalam ilmu-ilmu sosial.[21]

Seperti halnya sosiolog lainnya, Smith mengedepankan perlunya keadilan (justice) sebagai sistem untuk mengendalikan kecenderungan alami manusia yaitu untuk melukai orang lain. Tanpa keadilan, kata Simth, sebuah masyarakat akan menghancurkan dirinya sendiri.[22]
Ini mengasumsikan bahwa dendam kesumat adalah suatu bentuk deviasi sosial yang sebenarnya merusak tatanan masyarakat itu sendiri.

Aturan-aturan keadilan itu bagi Smith akan mengendalikan semua aktifitas manusia, termasuk aktifitas ekonomi. Demikian pun keadilan menjadi prinsip utama di dalam dunia hukum agar sistem regulasi sosial di dalam masyarakat dapat berfungsi dengan baik.[23]

Stabilitas sosial masyarakat dapat dibangun di atas prinsip keadilan itu. Karena itu, Smith juga memandang bahwa kekuatan militer yang cenderung memaksa atau represif, kadang dapat digunakan untuk menguasai hal-hal material, termasuk merampas apa yang menjadi milik rakyat. Demikian pun struktur ekonomi, termasuk sistem ekonomi komersil yang populer sebagai pendekatannya.

Analisis ekonomilah yang mengantar Smith pada konsep Negara Sejahtera, atau kesejahteraan. Memang teori-teori Smith selalu dijadikan acuan dalam membangun struktur ekonomi terutama ketika orang mulai berbicara mengenai harga barang yang wajar di pasar. Komoditas yang masuk ke pasar, harganya harus ditata secara wajar dan tetap dalam koridor keadilan tadi.[24]

Demikian paparan ini sebagai refleksi filsafat kebudayaan atas beberapa persoalan problematis seputar manusia Maluku dan masyarakat.

Referensi Rujukan:
Bakker, J.W.M., Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta; Kanisius, 1984
Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, cetakan keenam, 1994
Cooley, Frank, Ambonese Adat, Leiden, KITLV, 1974
--------., Mimbar dan Takhta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
Cosser, Lewis A., Masters of Sociological Thought, Ideas in Historical and Social Context, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977
der Weij, P.A. van, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens, Yogkyakarta: Kanisius, cetakan kelima, 2000
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Manson, Per, Karl Marx, dalam Classical and Modern Social Theory, edited by. Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher, 1996
Marx and Engels, Collected Works (MECW), an English translation in 50 volume, 1975-1995, vol. 3
Takaria, Markus, Salam-Sarane, Tesis Magister, pada PPs Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga, 2001
Watloly, A., Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Yogyakarta: Kanisius, 2005

Catatan:
[1] Bnd. J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta; Kanisius, 1984, hlm.57
[2] Pada sisi ini, misalnya sistem Duan-Lolat, bisa terbentuk dan menjadi suatu pola komuniti orang Maluku Tenggara Barat, oleh sebab bentuk relasi ini telah disahkan (dikonstitusikan) oleh masyarakat. Itu terjadi karena adanya suatu carapandang tentang keseimbangan relasi, terutama dalam hal kawin-mawin. Pada saat sistem itu terus dipolakan, maka masyarakat itu merasa bahwa apa yang mereka pahami, pegang dan praktekkan itu adalah suatu semesta makna budaya yang menjamin keseimbangan (equilibrium) di dalam masyarakat.
[3] J.W.M. Bakker, ibid., hlm. 134
[4] Bnd. Frank Cooley, Ambonese Adat, Leiden, KITLV, 1974, hlm.23; Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
[5] Baca. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens, Yogkyakarta: Kanisius, cetakan kelima, 2000, hlm. 30
[6] Istilah “mesin eksistensi anak negeri” adalah istilah filsafati yang digunakan A. Watloly dalam menunjuk suatu energi sosial dan budaya yang terstruktur di dasar kehidupan masyarakat Maluku, yaitu di dalam budayanya. Kita mungkin bisa mengidentikkan istilah itu dengan “local genus” atau kearifan lokal, tetapi mesin eksistensi anak negeri lebih mengarah pada suatu dinamika personal dan komunalitas yang bangkit kembali di tengah tindisan dan gempuran budaya postmodernisme. Baca. A. Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, Yogyakarta: Kanisius, 2005
[7] Bnd. A. Watloly, ibid., 2005, hlm. 204-205
[8] Lht. A. Watloly, ibid., 2005,hlm. 208-211
[9] Baca penjelasan detailnya dalam Watloly (2005), hlm. 211-220
[10] Bnd. John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 170
[11] Lht. Watloly (2005), hlm. 224 dyb
[12] Baca Markus Takaria, Salam-Sarane, Membangun Relasi Beragama Dari Local Genus Orang Maluku Tengah, Tesis Magister, pada PPs Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga, 2001, hlm. 33 dyb
[13] Baca. Per Manson, Karl Marx, dalam Classical and Modern Social Theory, edited by. Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher, 1996, hlm. 20
[14] Lht. Lewis A. Cosser, Masters of Sociological Thought, Ideas in Historical and Social Context, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, hlm. 51
[15] Ibid., hlm. 21
[16] Ibid., hlm. 21
[17] Marx and Engels, Collected Works (MECW), an English translation in 50 volume, 1975-1995, vol. 3, hlm.274
[18] Lewis A. Cosser, ibid., hlm. 45
[19] Ibid.,
[20] Ibid., hlm. 46-47
[21] Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, cetakan keenam, 1994, hlm. 111
[22] Ibid., hlm. 112
[23] Ibid., hlm. 113
[24] Ibid., hlm. 114-116

Comments

Steve Gaspersz said…
Sebuah eksplorasi filsafati yang bernas! Mungkin sudah saatnya untuk dikoleksi dan dirajut menjadi suatu buku yang dapat digunakan sebagai referensi kontemporer mengenai filsafat kebudayaan Maluku.
Inferensi bahwa konflik 1999 merupakan suatu bentuk gempuran sosial yang turut melemahkan mekanisme "orang basudara" kita - sangat penting untuk diperhatikan. Tetapi mekanisme pelumpuhan dan pengekangan energi budaya orang Maluku itu sebenarnya sudah berlangsung lama sebelum konflik 1999. Gempuran konflik itu bisa dipahami sebagai "final and decisive attack" yang bisa berimplikasi ganda: hancur sama sekali atau bangkit dengan paradigma baru.
Nampaknya angin perubahan berembus lebih ke bangkitnya paradigma baru. Kita bisa melihat dari munculnya hermeneutika sosial baru civil society di Maluku dalam berbagai ekspresi (tradisional hingga internet). Proses ini harus dikawal agar tidak lagi menggiring kita kepada pemasungan kreativitas orang Maluku dalam menafsir budayanya sesuai dengan kapasitas local genius-nya.
Unknown said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara