KORUPSI SEBAGAI PENYAKIT PERADABAN

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1.1 Pendahuluan
Perkembangan peradaban manusia selalu ditandai oleh meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, sebagai makhluk berbudaya. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi peradaban manusia, semakin baik pemahamannya (thought), dan semakin baik - dalam hal terasa - perilakunya (attitude).
Dalam siklus perkembangan kemanusiaan - mengikuti teori Lewis Morgan - pertumbuhan peradaban itu merupakan suatu tahapan perkembangan dari konteks barbaris ke cultural dan kemudian ke tahapan civilization. Dalam tahapan civilization itu, manusia semakin mempu menyeimbangkan perilaku dan pemahamannya, terutama mereka tidak lagi bertindak secara individual, tetapi di dalam komunalitas. Di dalam komunitas itu, kalangan sosiolog menunjukkan semakin baik pula kesadaran (consciousness) masyarakat mengenai apa yang disebut "kepentingan bersama" (common ideal).

Atau dalam pertumbuhan filsafatiknya, mengikuti Elias Canetti - mestinya manusia sudah mampu mengalami metamorfosa dari perilaku-perilaku yang menunjuk kuatnya nafsu kebinatangan, kepada perilaku yang lebih humanis. Perilaku seperti rakus, individual, suka mencelakai orang lain, suka memfitnah, bahkan perilaku kriminal, adalah ciri zoologis yang kadang masih diidap oleh manusia (bnd. F. Budi Hardiman, 2007:3-7).
Dalam kaitan itu, Topik "Korupsi sebagai Penyakit Peradaban" merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa disangkali dalam hidup masyarakat beradab. Perilaku semacam ini adalah suatu bentuk distorsi peradaban, sebab para koruptor adalah orang- orang yang mengalami ketidakseimbangan (inequalibrium) dalam personalitas atau jatidirinya. Mereka tidak saja mengalami distorsi identitas, tetapi split personality, atau pribadi yang pecah identitasnya. Dikatakan demikian sebab uang merupakan sebuah simbol penjatidirian seseorang di dalam masyarakat beradab dewasa ini (baca. Iwan K, 2007:59 dst).

Saya menggunakan telaahan filsafat Canetti untuk memahami korupsi secara filsafatik, dan menempatkannya di dalam perkembangan peradaban manusia. Sebab jika korupsi dilihat lepas dari dimensi filsafati ini, kita akan sulit menemukan alasan, mengapa seseorang - bahkan yang sudah sangat kaya - masih tetap suka melakukan tindakan korupsi? Atau mengapa seseorang yang memegang jabatan tertentu - dan karena itu sudah memiliki banyak harta - tetapi hartanya tetap "memamabiak" oleh karena perilaku korupsi?
Saya memang tidak memiliki referensi yang memadai mengenai Elias Canetti - saya hanya membaca pikirannya dari Jurnal Filsafat Driyakarya, Th. XXIX No. 1/2007 - yang diberi judul "Massa dan Kuasa" Berefleksi Bersama Elias Canetti". Tetapi bacaan ini membimbing saya untuk menyimpulkan bahwa korupsi adalah suatu bentuk perilaku zoologis yang masih ada pada manusia dewasa ini. Dengan pemikiran Canetti ini kiranya kita mendapat penerangan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
Karena itu, tulisan ini akan secara sepintas menjelaskan kerangka pemikiran filsafat Canetti - yang selanjutnya dijadikan tools untuk membahas topik ini - dari sudut pandang filsafat [kebudayaan].
1.2 Mengenal Elias Canetti
Elias Canetti adalah seorang keturunan Yahudi, lahir di Rustschuk, Bulgaria, 25 Juli 1905. Ia disebut sebagai seorang pemikir abad ke-20 yang karyanya terpusat pada persoalan kekuasaan dan kematian. Hal ini disebabkan karena pengalamannya berada di bawah pengaruh Nazi Jerman, bahkan dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan pecahnya Perang Dunia I, dan karena itu bersama keluarganya bermigrasi ke Inggris dan tinggal di Manchester. Bahkan ia menyaksikan juga massa inflasi akibat krisis ekonomi pasca Perang, dan pada 15 Juli 1927, ia mengalami sendiri sebuah gelombang protes massa terhadap vonis bebas terhadap pembunuh seorang buruh. (F. Budi Hardiman, 2007:3). Bahkan ia sempat melarikan diri ke Paris (1938), kemudian ke London dan tinggal di sana hingga tahun 1970 (baca. Kosmas D.Tufan, 2007:25).
Dia dipromosi sebagai Doktor pada 1929 di Universitas Winna. Karyanya yang terkenal adalah Masse und Macht (Massa dan Kekuasaan), yang sering disebut sebagai refleksi bali Canetti terhadap kematian (dan kekuasaan).
Ulasan panjang di dalam buku itu memperlihatkan satu hal yang sangat fenomenal dari filsafat Canetti, yang jelas-jelas membedakannya dengan filusuf-filusuf lainnya, yaitu apa yang ia sebut sebagai filsafat zoologis; sesuatu yang jelas-jelas menunjukkan sanggahannya terhadap klaim para antropologis filosofis (filsafat manusia) yang selalu membangun distingsi yang tajam antara manusia dengan hewan - dan cenderung menunjuk pada keunggulan manusis (bnd. F. Budi Hardiman, ibid., 3).
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam bagian ini, yaitu: Filsafat Zoologi dan Perubahan Perilaku manusia serta Uang dan Massa. Kedua topik ini dimaksudkan agar pendekatan terhadap masalah Korupsi dapat didudukkan pada "bangku filsafatnya" sendiri, dan tidak mengawang sebagai semacam refleksi sosiologis atau etika.
1.2.1 Filsafat Zoologi dan Perubahan Perilaku Manusia
Filsafat Zoologi yang diusung Canetti tidak bangga dengan keunggulan-keunggulan manusia, melainkan heran bahwa manusia - meski sudah mengalami evolusi organis dan peradaban - tetaplah semacam hewan yang didikte oleh naluri-naluri dan diperlengkapi oleh kepiawaian- pepiawaian rimbanya. Bagaimanapun menurut filsafat ini, manusia tercakup dalam zoologi, bukan antropologi. Menurut Budi Hardiman, di sini, filsafat zoologis bersikap naturalistis, yaitu mereduksi segala gelaja kemanusiaan (dan kesadarannya) ke dalam ciri-ciri alamiah naluri-naluri rimba (baca. F. Budi Hardiman, ibid., ).
Tentang manusia, selanjutnya, Canetti mengatakan bahwa manusia pun mengalami metamorfsis dalam tubuh dan juga perilakunya. Metamorfosis dalam ranah perilaku hanya mungkin apabila terjadi persentuhan. Sentuhan merubah, memetamorfosis tubuh-tubuh yang takut dan terpisa satu sama lain menjadi tubuh yang berani. Karena itu, metamorfosis di ranah perilaku hanya mungkin apabila didahului oleh metamorfosis di ranah tubuh. (Kosmas D. Tufan, 2007:27).
Tubuh mengalami metamorfosis adalah ketika tubuh mampu "berkomunikasi" dengan tubuh yang lain; dan tubuh itu bagi Canetti adalah sama dan terbuka. Sama dalam arti tubuh itu adalah tubuh primordial, tubuh asali, tubuh pra-kognitif. Baik tubuhku, tubuhnya, tubuh purba, adalah sama. Sejauh tubuh itu mampu berkomunikasi dengan tubuh yang lain, maka tubuh itu bersifat terbuka, artinya tubuh itu menerima berbagai rangsangan dan sensasi yang akhirnya tidak dapat dibendung, dan akhirnya tubuh itu menjadi terbuka melalui perubahan perilaku, yang muncul karena adanya dorongan naluri dan/atau kesadaran (Kosmas, ibid., 28,29).
Metamorfosa perilaku dapat terjadi justru dalam kondisi itu; dan bahkan terjadi secara imitasi, dalam arti seseorang mengalami "perubahan interior" (perilaku). Dalam kondisi ini, seseorang seringkali bisa berubah - sebagai akibat dari persentuhan dan komunikasi tadi - walau orang yang merangsangnya untuk berubah sudah tidak bermetamorfosa lagi. Artinya, ia kerap meniru seseorang lain, atau adakalanya berubah secara bersama-sama dan sampai pada suatu kondisi di mana mereka sudah "satu hati", "satu jiwa", dan melebur menjadi satu. Itu yang disebut Canetti sebagai massa. Contoh paling sederhana dari metamorfosa perilaku yang sampai melebur itu tampak pada suami istri (Kosmas, ibid.,).
Walau begitu, karena kesangsiannya, Canetti melihat, lebih banyak manusia itu bermetamorfosa karena dorongan naluri, yaitu ketika manusia tidak bisa menempatkan dirinya di dalam massa (komunitas), sebaliknya melihat dirinya sebagai subyek di luar massa tadi, atau mau mendominasi massa. Sikap semacam ini yang sering melahirkan distorsi identitas, dan bisa berdampak pada tindakan korupsi (terhadap uang dan harta benda).
1.2.2 Uang dan Massa
Secara sosiologis, masyarakat dewasa ini cenderung mengalami problem yang kompleks; terutama semakin terbentuknya sifat transaksional dalam banyak aspek hidupnya. Setiap tindakan sosial (social action) akan menyertakan simbol-simbol material, entah kekuasaan, status sosial, tetapi juga kesenjangan sosial antara seseorang atau kelompok dengan orang dan kelompok lainnya juga dalam banyak kasus ditentukan oleh penguasaan dan kepemilikan harta-benda tertentu (baik berupa uang, barang, maupun lahan pertanian, dll).
Bagaimana hal itu dilihat dari sudut pandang filsafat? Canetti mendefenisikan kecenderungan itu sebagai bergeraknya simbol-simbol massa, dalam apa yang kita sebut sebagai uang dan harta benda. Canetti memang sangat berbeda dari filusuf lainnya. Menurutnya massa itu disimbolkan dengan benda-benda seperti api, laut, hujan, sungai, hutan, biji-biji jagung, angin, pasir, tumpukan batu, harta benda (lht. Iwan K, 2007:61).
Uang dan harta benda adalah simbol yang sangat populer di masa sekarang. Harta benda merupakan segala sesuatu yang dikumpulkan oleh manusia di mana tiap-tiap unitnya memiliki nilai khusus. Nilai dari masing-masing unit ini ialah satu-satunya alasan mengapa manusia menumpuk harta. Seperti halnya massa, harta yang ditimbun manusia cenderung "memamah biak" serta "menjalar". Seiring dengan bertambahnya harta yang dikumpulkan, maka rasa percaya diri pun kian bertambah - manusia merasa semakin berkuasa. Rasa percaya diri yang tinggi menjadikan manusia mengidentifikasikan dirinya dengan rumah dan mobil yang dimiliki - ketika harta bendanya terancam, maka muncullah rasa takut (panik) yang bisa menggoyahkan rasa percaya diri seseorang (lht. Iwan K. ibid.,).
Mengapa muncul sifat seperti itu? Canetti melihat pada akar-akar zoologis dari manusia. Ketika manusia merasa bahwa harta bendanya terancam, ia akan membuat suatu mekanisme perilaku tertentu agar ia sendiri survive. Hal menjadi survive ini yang kadang membuat manusia itu bertindak "membabi buta", asalkan harta bendanya tidak binasa atau apa yang sudah dikumpulkannya itu menjadi nothing (ketiadaan).
Jika terjadi demikian, maka perilaku yang muncul adalah perilaku yang tidak didasarkan pada kesadaran, sebaliknya oleh naluri zoologis yang terstruktur di bagian bawah kesadarannya. Alam bawa sadar manusia ternyata bukan hanya mengandung rasa beragama atau rasa percaya - termasuk pada hal takhyul - tetapi juga sifat-sifat hewani yang bisa sangat kuat.
Gejala ini yang bisa juga menjadi alasan mengapa perilaku korupsi menjadi sebuah trend perilaku yang sulit sekali dihindari atau dihilangkan. Kritik Canetti di sini dikarenakan baginya di suatu masa tertentu - termasuk di era modern ini - uang memiliki nilai intrinsik yang tinggi. Berbeda dengan simbol massa yang lain, uang diberi bobot tertentu dan bahkan dijadikan sebagai "alat tukar utama" dalam transaksi kehidupan manusia - lihat pula bagaimana sampai seseorang bisa melacurkan dirinya dan semuanya itu hanya karena uang, atau bagaimana sampai urusan KTP bisa dilakukan secara ekspres, atau Paspor diurus tanpa proses standar (istilah: lewat pintu belakang), semuanya karena suatu nilai yang terkandung di dalam uang.
Semakin besar bobot nilai intrinsik di dalam uang, maka bobot godaannya akan semakin kuat, dan kerana itu, manusia akan bisa mengalami metamorfosa perilaku, juga karena bobot nilai intrinsik uang itu, dan bukan sebagai akibat dari komunikasi atau persentuhan dengan orang (tubuh) yang lain. Di sinilah letak kerangka pemikiran untuk memahami Korupsi sebagai Penyakit Peradaban.
1.3 Korupsi: Peradaban "Uang"
Berubahnya tatanan masyarakat dari materialistis ke kapitalistis, adalah bukti bahwa masyarakat manusia mulai mereduksi nilai-nilai esensial dari hidup bermasyarakat. Persaingan yang terjadi dalam masyarakat kapitalis bukan lagi suatu perlombaan yang "wajar" sebab, untuk "memenangi" persaingan (social competition) itu, seseorang bisa menjadikan uang dan kekuasaan sebagai "pelicin". Di sini, korupsi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya harus diletakkan di dalam jaringan (kekuasaan dan modal/kapital) yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang.

Defenisi hukum mengenai korupsi menjelaskan bahwa "korupsi adalah tindakan mengambil uang negara dengan tujuan untuk memperkaya orang lain dan/atau memperkaya diri sendiri". Defenisi ini menunjuk bahwa unsur delik (pelanggaran hukum) dalam tindakan korupsi adalah hal "mengambil uang negara", yakni dana publik dengan tujuan "untuk diri sendiri atau kelompok". Siapa yang dikorbankan? Bukan negara, tetapi masyarakat yang harus dilayani oleh negara dengan dana publik tadi.
Sedangkan secara sosiologis, korupsi dipahami sebagai kemampuan menggunakan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya (Haryatmoko, 2003:123).
Dari defenisi sosiologis itu, Yves Meny, seperti dikutip Haryatmoko (ibid., 124) mengidentifikasi ada empat bentuk korupsi, yakni: (1) korupsi-jalan pintas, yaitu dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Contoh korupsi ini di Indonesia seperti skandal pembuatan UU Perbankan di DPR RI yang didanai oleh pihak Bank Indonesia, dan kasusnya sedang disidangkan. Atau juga praktek suap dalam persidangan sengketa pilkada, dll, atau juga praktek money politics dalam masa Pemilu, dsb. (2) korupsi-upeti, yaitu bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Dalam hal ini seperti para Kepala Dinas yang menuntut fee dari satu proyek yang berlangsung di dalam Dinas yang dipimpinnya. (3) korupsi-kontrak, korupsi ini tidak dapat dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar, masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, seperti yang terjadi dalam urusan pemilikan/pemutihan kendaraan milik dinas (ganti plat nomor), dll. (4) korupsi-pemerasan, yang sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar, perekrutan Perwira menengah TNI atau polisi menjadi human resources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahan.
Dari defenisi dan bentuk tindak korupsi itu, kita berusaha untuk melihat runutan filsafatnya, agar pemahaman kita mengenai korupsi memiliki dasar ontologi dan metodologi yang mantap.
1.3.1 Budaya "gila uang"
Canetti, seperti telah disinggung tadi, melihat faktor uang dan harta benda sebagai suatu kompleksitas tersendiri, dan berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Memang secara sosiologis hal itu terjadi sebagai akibat dari pergeseran peradaban ekonomi masyarakat. Semula, transaksi berlangsung secara barter, di mana komoditi tertentu menjadi alat tukar, yang nominalnya ditaksir, yaitu dengan melihat dimensi "kesesuaian" dalam hal ukuran dan volume barang yang ditukarkan.
Di dalam filsafat, hal itu terkait dengan asas "kesesuaian", di mana suatu barang diparalelkan dengan barang atau obyek yang lain, dan syarat kesesuaian itu ditentukan oleh standar ratio dan logika sederhana, yaitu melihat pada keseimbangan volume barang itu. Karena itu, seember air akan sama harganya dengan sebotol minyak tanah; bukan karena jenis masa air dan minyak tanah itu sama, tetapi karena ukuran volumenya yang "berimbang". Di sini pun kita harus memberi catatan kritis terhadap transaksi Yudas dengan Mahkamah Agama (Sanhedrin) untuk "menjual" Yesus dengan 30 keping perak. Masalahnya tidak terletak pada jenis massa antara 30 keping perak (barang) dengan Yesus (manusia), tetapi jumlah itu menjadi standar ukur dalam transaksi dimaksud.
Kecenderungan itu mengalami perubahan ketika angka nominal suatu barang mulai diukur dengan sejenis barang lain yang berharga, atau yang menurut Canetti, memiliki nilai intrinsik di dalamnya. Pada awalnya orang menemukan bahwa jenis logam mulia, emas, perak, perunggu, adalah jenis barang yang memiliki nilai intrinsik tertentu dan dapat dijadikan alat tukar yang bernilai tinggi. Lambat laun, budaya transaksi itu bergeser ke uang, sehingga uang mulai diadakan secara resmi, dan diberi nilai intrinsik yang dengannya seseorang dapat melakukan transaksi, bahkan transaksi tingkat tinggi.
Ketika masyarakat berkembang ke arah kapitalis, dengan corak materialisme yang mulai terstruktur, uang menjadi sesuatu yang memiliki nilai intrinsik tinggi. Yang menariknya ialah, nilai intrinsik di dalam uang itu membangun suatu bentuk perilaku "gila uang", dan akibatnya, orang mulai menjadikan uang sebagai simbol massa, yang eksesif juga kepada masyarakat.
Budaya "gila uang" adalah ciri dari perilaku budaya manusia yang materialisme, lalu mereduksi hakekat kemenjadiannya sebagai manusia, atau hakekatnya sebagai makhluk pekerja, yang harus melihat dirinya sebagai tujuan, dan bukan uang.
1.3.2 Jaringan Kekuasaan
Korupsi akan selalu memanfaatkan jaringan kekuasaan, karena korupsi juga terkait dengan kemampuan mempengaruhi suatu kebijakan, atau memaksa berlakunya suatu kebijakan oleh faktor kekuasaan tadi. Korupsi harus juga dikatakan sebagai suatu bentuk politisasi kekuasaan dan politisasi uang.
Satu pertanyaan penting di sini ialah, mengapa para koruptor "sulit" merasa bersalah? Karena mereka berada di tampuk kekuasaan, maka seluruh tindakannya tidak akan didefenisikan sebagai "salah", sebaliknya atas berbagai kasus korupsi, alibi yang sering dilontarkan bahwa uang yang dikorupsikan itu adalah "dana tunjangan" atau "insentif proyek".
Faktor lain dari sikap koruptor yang tidak merasa bersalah adalah banalisasi, yaitu suatu bentuk perilaku yang memandang apa yang dilakukannya (korupsi) adalah sesuatu yang sudah menjadi biasa. Sudah biasa, atasan korupsi, maka bawahanpun bisa korupsi. Sudah biasa, Soeharto korupsi dan tidak diproses secara hukum, jadi jika menempati suatu jabatan terentu, korupsi saja, karena toh "sedang berkuasa".
Beberapa kasus penyidangan pelaku korupsi yang melibatkan mantan pejabat negara (termasuk mantan menteri) akhir-akhir ini ternyata disebabkan karena mereka, para mantan itu, sudah tidak lagi berada di jaringan kekuasaan. Karena itu, orang yang ada di suatu jaringan kekuasaan baru akan memaksa proses hukum terhadap para koruptor.
Fenomena seperti ni memperlihatkan bahwa jaringan kekuasaan dapat menjadi instrumen untuk memaksa dan mendorong proses hukum terhadap koruptor, tetapi juga melindungi sang koruptor kelas kakap, lalu mengkambinghitamkan sang koruptor kelas "gete-gete".
Perilaku seperti ini yang menurut Canetti merupakan bentuk perilaku zoologis, karena nafsu- nafsu pribadi dijadikan standard dalam suatu tindakan, dan bukan kesadaran bahwa korupsi itu bahaya bersama. Atau juga orang melakukan tindak korupsi karena gila dan rakus, makan tak pernah kenyang, mau makan makanan orang lain, walau dengan cara merampas, mencuri, dll. Jika korupsi dilekatkan pada idiom-idiom itu, maka para koruptor adalah mereka yang tergolong "bernafsu binatang".
Peradaban macam apa yang mau dipertahankan? Tidak mungkin manusia bertahan dengan peradaban binatang; lalu binatang mungkin lebih manusiawi.
1.4 Kesimpulan
Beberapa hal dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Tindak korupsi adalah suatu bentuk gejala bias perilaku yang menjurus pada tindakan di luar kesadaran kemanusiaan. Korupsi adalah bentuk perilaku rakus, egois, menentang hukum, dan semua itu adalah hal yang dikendalikan oleh nafsu bukan kesadaran.
2. Peradaban manusia dewasa ini bercorak transaksional; di mana setiap orang membangun relasi dengan orang lain selalu memiliki coast (biaya) dalam jumlah tertentu. Kecenderungan ini berdampak pada penggunaan jaringan untuk memenuhi kebutuhan biaya itu. Jika hal itu terjadi, maka korupsi akan datang dari dalam kekuasaan itu.
3. Penegakan hukum yang tegas akan memberi efek jera kepada para koruptor. Tetapi jika struktur kesadaran dan rasio manusia itu tidak "dipermak" kembali, dengan mekanisme pembentukan struktur logika, akan sulit kita mendapati generasi yang "a-korupsi".
Kepustakaan:
Hardiman, F. Budi, "Pengantar: Elias Canetti dan Filsafat Zoologis, sebuah Pengantar Singkat", dalam Jurnal Filsafat Driyakarya, Th.XXIX no.1/2007
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Kurniawan, Iwan, "Uang dan Massa", dalam Jurnal Filsafat Driyakarya, Th.XXIX no.1/2007
Tufan, Kosmas Demianus W, "Metamorfosis: Pandangan Elias Canetti tentang Massa dan Kuasa", dalam Jurnal Filsafat Driyakarya, Th.XXIX no.1/2007


Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara