Waspadai Politik Stigmatisasi

Elifas Tomix Maspaitella

DALAM kamus politik, stigmatisasi sering diterjemahkan juga politik labeling. Istilah lain yang sering disetarakan dengan itu adalah politik kambing hitam, atau politik fitnah, atau politik saling menghujat (blaphemy), sebagai suatu kecenderungan lain dalam perilaku perpolitikan di Indonesia, atau yang kini sering muncul juga di Maluku, terutama dalam masa menjelang Pilkada Maluku 2008.

Politik stigmatisasi selalu dipraktekkan oleh pihak yang memiliki kekuatan untuk memaksa. Stigmatisasi itu selalu dilatarbelakangi oleh mindset yang memandang rakyat sebagai unsur pasif yang tidak memiliki hak untuk terlibat menentukan kebijakan ekonomi, sosial, dan politik.

Rakyat dipandang sebagai obyek pembangunan, dan cukup menerima apa saja yang direncanakan dan diputuskan penguasa; atau malah menerima semua labeling atau stigma yang dituduhkan kepada mereka. Mereka ditempatkan sebagai pihak yang tidak memiliki hak untuk menolak, apalagi melawan, walaupun stigma atau suatu keputusan yang dikenakan kepada mereka itu merugikan.

Rakyat dipahami sebagai kelompok sosial yang pasif, dan manut, atau menurut saja. Jika kemudian ada perlawanan dari rakyat, mereka pun dikenai tuduhan baru, yaitu diprovokasi oleh suatu kelompok dari luar, misalnya LSM, atau lembaga sosial lainnya. Dalam konteks seperti itu, lagi-lagi rakyat diposisikan sebagai pihak yang selalu “salah”.

Jika kita melihat politik stigmatisasi ini secara seksama, dan jika kita tempatkan lagi dalam konteks di Maluku, ternyata tujuan politik stigmatisasi itu adalah instrumen utama dari politik mengisolasi kekuatan sipil yang dinilai bisa menghambat target politik kelompok yang berkuasa.
Kekuatan mana yang paling efektif untuk melakukan stigmatisasi di Indonesia? Tentunya aparatur negara. Dengan pendekatan keamanan (security approach) seperti lazim di zaman Orde Baru, kita menyaksikan betapa rakyat terpojok oleh berbagai stigmatisasi, termasuk label “subversif” atau pun “komunis”, “separatis”. Sebenarnya tidak hanya itu, dalam bidang ekonomi, masyara¬kat pun distigmakan dengan sebutan “kawasan tertinggal”, atau “desa IDT (Inpres Desa Tertinggal)”. Pola stigma juga ada dalam bidang kebudayaan, terutama dengan sebutan “Bagian Timur Indonesia”.

Khusus di Maluku, kita cukup lama berada dalam stigmatisasi yang mengisolasi partisipasi politik kita di pentas politik nasional. Negara bahkan berdiri vis a vis dengan masyarakat Maluku atas nama stigma. Kita tentu akan bertanya, apa tujuannya menstigmakan masyarakat Maluku? Ada apa dengan masyarakat Maluku sehingga politik isolasi itu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, padahal kita dahulu adalah Provinsi yang melahirkan bangsa ini?

Separatis adalah bentuk politik stigma yang sangat melemahkan posisi tawar Maluku di pentas politik nasional. Ini melemahkan posisi semua masyarakat Maluku tanpa melihat latar belakang agama mereka; baik Salam maupun Sarane, kita menderita politik stigmatisasi yang mengisolasi kita secara politik.
belakangan ini stigmatisasi separatisme telah disebut dalam sebutan yang paling spesifik lagi yaitu makar. Pertanyaannya adalah apakah ada perbuatan memberontak kepada negara dengan perlawanan senjata di Maluku? Mengapa stigmatisasi di Maluku demikian gencarnya, padahal Pemerintah memberi permition dan sangat getol bernegosiasi dengan personil dan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau GPK di Papua?

Ironi. Provinsi yang atas kesadaran berbangsa, telah melahirkan Indonesia pada 1945, kini distigmakan dengan berbagai label yang tidak menguntungkan, dan kita terjebak di dalamnya, lalu akibatnya di level antar-masyarakat, kita saling mempersalahkan satu terhadap lainnya. Lebih ironi lagi, kita yang sama-sama menjadi korban, malah balik saling tuding, dan telah terjebak dalam sentimen yang sangat naif, untuk menyebut suatu kelompok radikal dengan mengatasnamakan suatu kelompok agama.

Ambil misal, sebutan Republik Maluku Serane, pada Republik Maluku Selatan, dan melabelkan gerakan separatis RMS sebagai gerakan orang Kristen. Jika sesama orang Maluku sudah saling menuduh satu terhadap lain dengan stigma seperti itu, kita telah masuk dalam perangkap provokasi kelompok yang memaksa kita untuk “terus merasa bersalah”.

Tidak ada yang salah dan tidak perlu mencari siapa yang salah. Selama ini yang salah adalah sistem politik di negara kita yang terkesan menstigmakan kita, orang Maluku. Di moment Pilkada Maluku 2008, sebagai Pilkada Damai ini, mari kita bersama melawan aksi stigmatisasi yang mengesankan seakan-akan kita adalah warga negara yang paling salah di negara ini. Padahal kitalah yang melahirkan Indonesia. Sudah saatnya kita tuntut pensejahteraan. Pilkada damai adalah instrumen untuk menuntut pensejahteraan kepada semua masyarakat Maluku.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara