Posts

Showing posts from April, 2008

Stigmatisasi Sosial

Elifas Tomix Maspaitella “Sejak Orde Baru, orang Maluku tidak satupun menjadi Menteri”. Ini bukan hanya sebuah pomeo, tetapi suatu kenyataan sosio-politik yang kita alami sebagai warga negara di bumi “merdeka” ini. Tentu kita tidak kekurangan kader. Sumberdaya manusia Maluku tidak kalah bersaing di level nasional, juga tidak kalah pintar dengan orang dari daerah lain. Kita memiliki sejumlah pejabat daerah yang pintar-pintar, dan memiliki golongan di pemerintahan yang memenuhi syarat untuk semakin berkembang. Para akademisi kita pun adalah orang-orang brilian, bahkan hasil kajian dan pemikiran mereka dijadikan rujukan di pemerintahan, dan tidak sedikit dari mereka menyandang gelar Doktor, Profesor. Di Militer, sampai saat ini tidak satu pun anak Maluku yang menyandang Bintang Empat di pundaknya. Jika ada yang dapat Bintang, itu pun job untuk pensiun. Bayangkan saja, para mantan Panglima Kodam XVI Pattimura, semisal Joko Santoso dan Agustadi. Selepas jabatan Pandam XVI Pattimura, terus m

Waspadai Politik Stigmatisasi

Elifas Tomix Maspaitella DALAM kamus politik, stigmatisasi sering diterjemahkan juga politik labeling. Istilah lain yang sering disetarakan dengan itu adalah politik kambing hitam, atau politik fitnah, atau politik saling menghujat (blaphemy), sebagai suatu kecenderungan lain dalam perilaku perpolitikan di Indonesia, atau yang kini sering muncul juga di Maluku, terutama dalam masa menjelang Pilkada Maluku 2008. Politik stigmatisasi selalu dipraktekkan oleh pihak yang memiliki kekuatan untuk memaksa. Stigmatisasi itu selalu dilatarbelakangi oleh mindset yang memandang rakyat sebagai unsur pasif yang tidak memiliki hak untuk terlibat menentukan kebijakan ekonomi, sosial, dan politik. Rakyat dipandang sebagai obyek pembangunan, dan cukup menerima apa saja yang direncanakan dan diputuskan penguasa; atau malah menerima semua labeling atau stigma yang dituduhkan kepada mereka. Mereka ditempatkan sebagai pihak yang tidak memiliki hak untuk menolak, apalagi melawan, walaupun stigma atau suatu

Memahami Politik Media Wilders dari Film “Fitna”:

Suatu Jelajah Dengan Wacana Analisa Kritis Elifas Tomix Maspaitella I Kita masih mengingat juga kesalahan ketik di salah satu koran lokal di Ambon beberapa tahun lalu, perihal “tertukarnya” huruf “N” dengan “B”, pada sebuah gelar suci agama yang memang tidak boleh disalahtuliskan atau disalahucapkan. [Jika anda perhatikan keyboard computer, memang tombol dua huruf itu berdekatan, sehingga bisa saja terjadi kesalahan “tekan”]. Tetapi bahasa media tidak bisa diartikan sebagai kesalahan “tekan” atau “salah mencet”. Bahasa media akan dipahami sebagai suatu bentuk politik media. Oleh sebab itu, hasil cetakan media yang menyinggung “sense of believe” masyarakat akan menuai kritik dan serangan yang bisa juga anarkhis. Secara global, karikatur Nabi Muhammad, dalam media di Denmark, juga bukan suatu unsur “joke” atau “kreatifitas”, apalagi “seni”. Ketika karikatur itu muncul di media, karikatur itu menyertakan di dalamnya pesan politik media yang selalu bisa saja provokatif. Bukan hanya orang