“Susahnya mengampuni”

Minggu 17 Februari 2008
Matius 18:21-35

Saudara-saudaraku,
mungkin kita sudah familiar dengan ungkapan Desmond Tutu: “tidak ada perdamaian tanpa pengampunan” (there is no peace without forgivness). Mungkinkah Desmond Tutu menterjemahkan matematika pengampunan yang disodorkan Yesus, perihal mengampuni itu harus 70x7 kali? Atau Desmond sekedar menegaskan bahwa pengampunan itu mahal, tetapi penting dan perlu?

Mari kita menyimak teks Matius 18:21-35 dan mencoba menggunakan kerangka analisa yang pernah disodorkan Immanuel Kant, sang filusuf yang memperkenalkan model analisa matematika (mathematico scientific model). Yang penting dari situ kita memahami proses penerapan rumus, lalu melihat korelasi angka dan pembilangannya, maka untuk bentuk soal bagaimana pun, kita bisa mengerjakannya dan mencapai hasil yang “tepat”.

Pada saat Petrus bertanya kepada Yesus “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (18:21). Mari kita belajar lagi dari pelajaran matematika waktu kita bersekolah. Simaklah bahwa ternyata Petrus yang mengajukan angka “7 x” (“tujuh kali”). Ini bukan sekedar angka sakral seperti lazim dalam tradisi keagamaan Yahudi. Simaklah bahwa Petrus yang mengajukan angka itu, sebagai sebuah pertanyaan interogatif kepada Yesus yang ia sapa “Tuhan” (yun. Kurios).

Pada saat Petrus mengajukannya, berarti Petrus menetapkan standarnya tersendiri, dan dia memposisikan Yesus pada sebuah kondisi di mana Yesus harus memberikan standar yang bisa dijadikan rujukan bersama. Ingatlah bahwa orang-orang Yahudi menganut hukum “gigi ganti gigi, mata ganti mata”, dan itu diperbarui Yesus dengan mengatakan:

“Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalan bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang meminjam daripadamu” (Mat.5:38-42).

Hukum ini sebenarnya dibentuk dalam suatu relasi yang disebut patron-klien, artinya dalam hubungan antara seorang yang lebih tinggi status sosialnya (majikan, raja, dll) dengan yang lebih rendah status sosialnya (budak, orang asing, orang miskin, dll).

Menurut kabarnya, dalam hukum Yahudi, seorang majikan bisa menampar budaknya [dengan tangan sebelah kiri] jika ia berbuat salah, tetapi dengan bagian dalam tangannya. Dalam posisi normal, seorang budak yang melakukan kesalahan itu hanya harus ditampar satu kali pada pipi bagian kirinya, sebab ia berdiri di hadapan majikannya. Jika ia ditampar berkali-kali, itu melawan hukum. Karena itu Yesus mengajarkan agar “berilah juga pipi kananmu”, dengan maksud agar majikan itu menampar dengan bagian luar tangannya. Itu berarti majikan itu melakukan pelanggaran hukum dalam hubungan dengan budaknya itu.

Begitu juga dengan pengaduan di pengadilan karena mengingini baju. Baju adalah pakian bagian dalam yang menutupi badan. Sedangkan jubah adalah bagian luarnya, yang multi-fungsi, termasuk untuk mencegah kedinginan, atau juga sebagai simbol status sosial. Jadi ajaran Yesus tadi bermaksud bahwa akhirnya orang itu “ditelanjangi”, dan itu berarti si pengadu yang mengingini baju itu melakukan tindak pelanggaran hukum.

Sama halnya dengan jarak berjalan satu mil. Ini pun adalah hukum dalam kaitan dengan sirkulasi pasukan militer dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk mengangkut logistik tentara, terkadang tentara memaksa rakyat; dengan maksud, biayanya lebih murah, bahkan bisa gratis. Di sisi lain, hal itu akan mengorbankan rakyat karena mereka tidak bisa bekerja untuk kebutuhan keluarga, termasuk untuk membayar hutang. Yesus mengajar “berjalan dua mil”, agar si tentara itulah yang melakukan pelanggaran hukum, dan karena itu, mereka mestinya harus dihukum.

Mari kita kembali ke mekanisme tawaran Petrus kepada Yesus dalam teks kita ini. Yesus, dalam beberapa kali “dicobai”, tidak menjawab secara langsung. Di situlah letak hebatnya penulis Injil menampilkan Yesus sebagai tokoh yang suka berdiplomasi (ingatlah juga dengan para Imam mengenai hal membayar pajak kepada Kaisar atau Tuhan – Mat. 22:15-22).

Ketika disodorkan standar “7 x”, Yesus langsung menjawab “bukan!” Wah, agaknya baru kali ini Yesus menjawab langsung dan benar-benar menyatakan tidak setuju terhadap Petrus. Apa maksud Yesus dengan bantahan ini? Sebentar dulu. Mari kita simak lagi. Yesus kemudian melanjutkan bantahan itu dengan berkata “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai 7 x, melainkan 70x7 kali”. Sampai di situ saja. Ayat selanjutnya itu sudah sebuah perumpamaan yang mungkin tidak bisa menjelaskan maksud Yesus dengan standar 70x7 kali itu. Walau sebetulnya, oleh pekerjaan menafsir, kita bisa mengatakan justru perumpamaan itu adalah penjelasan terhadap standar 70x7 kali tadi.

Kuanititas atau kualitas? Pengampunan tidak usah dipolemikkan di antara dua kutub itu. Bukan masalah kuantitas yang ditekankan Yesus, bukan pula masalah kualitas yang mau ditunjukkan melalui perumpamaan selanjutnya. Lalu apa?

Yesus hendak mengatakan begini: “manusia itu sangat sulit memberi pengampunan terhadap orang lain, termasuk kepada saudaranya sendiri”. Saudara-saudara tahu mengapa? Karena manusia, dalam relasi dengan saudara-saudaranya pun mengalami “krisis belas kasihan”. Ini yang membuat bahwa kita sangat sulit memberi pengampunan.

Dari situ, lalu mari kita berusaha memahami perumpamaan yang diutarakan Yesus. Bayangkan saja, sang raja itu bisa mengampuni hambanya yang berhutang 10 talenta kepadanya, karena ketika raja itu meminta hamba itu melunasi hutangnya, hamba itu memohon perpanjangan waktu.

Penulis injil Matius bercerita dengan sangat dramatis. “Maka sujudlah hamba itu dan menyembah dia..” Kita tidak perlu meragukan kualitas sujud dan menyembah. Atau juga tidak perlu mempersoalkan berapa kali ia bersujud sambil memohon. Tetapi tindakan itu memperlihatkan bahwa sang hamba tadi “memohon dengan sangat”. Menariknya ialah, ia tidak memohon dibebaskan dari hutang, tetapi ia memohon raja memberi [kelonggaran/dispensasi] waktu, agar ia bisa berusaha melunasi hutang tadi.

Yang lebih menarik lagi ialah, sang raja bukannya setuju dan memberi batas waktu pelunasan hutang yang baru, melainkan memberi pengampunan dan menghapus hutang-hutang hambanya itu. Mohon digarisbawahi lagi, bahwa raja itu memberi pengampunan dan menghapus hutang-hutang hambanya itu. Apa dasarnya? Bukan karena “tindakan sujud dan menyembah”, atau juga bukan pada besar kecilnya nilai hutang; melainkan berdasarkan pada “belas kasihan” sang raja kepada hambanya yang berhutang itu. Luar biasa bukan? Apakah kita memiliki “kualitas diri” seperti itu?

Ternyata gampang bukan? Untuk mengampuni orang lain, cukup memiliki sedikit rasa “belas kasihan”.

Jangan puas dulu, saudaraku. Yesus lalu bercerita lagi. Ternyata sang hamba tadi juga memberi pinjaman kepada rekannya yang lain sebesar 100 dinar. Jika dibandingkan dengan hutangnya kepada raja sebesar 10.000 talenta, totalnya ada 60.000.000 dinar (1 talenta = 6000 dinar). Jauh lebih besar 600.000 kali dari rekannya yang berhutang pada hamba tadi. Padahal 1 dinar itu adalah upah 1 hari kerja. Artinya 100 dinar adalah upah 100 hari kerja.

Lucunya ialah sang hamba yang pertama berhutang kepada raja 10.000 talenta = 60.000.000 dinar, atau total upah 60.000.000 hari kerja. Jika dihitung ke dalam jumlah tahun, berarti 60.000.000/12 yaitu 5.000.000 tahun, dan jika dibagi ke dalam jumlah abad berarti 5.000.000/100 tahun yaitu 50.000 abad, dan jika dihitung ke dalam jumlah generasi, maka 50.000/25 yaitu 2000 generasi. Ini berarti, beban hutangnya itu sangat besar, dan sebenarnya tidak bisa diampuni. Namun oleh “belas kasihan”, sang raja mengampuni orang itu dan membebaskan hutang-hutangnya.

Bagaimana dengan rekannya sesama hamba yang berhutang kepadanya? Sang hamba yang sudah diampuni sang raja itu tidak mengampuni rekannya, sesama hamba tadi, yang hanya berhutang 100 dinar, atau upah 100 hari kerja. Lucu bukan?

Mengapa? Karena memang “hal mengampuni” itu begitu sulitnya kita lakukan. Kita mengalami “krisis belas kasihan” yang sudah sangat parah karena kecenderungan materialistis yang sangat tinggi. Kita menjadi “harimau lapar” yang selalu mau menelan sesama saudara kita.

Maka tidak heran jika dalam masyarakat modern sampai saat ini, kita tetap suka “berhutang”. Untuk apa? Untuk membelanjakan “kepuasan dan kehormatan”, bukan sebaliknya bekerja untuk mendatangkan “sukacita dan membangun persaudaraan”.

Maka jangan heran pula jika hanya lantaran uang dan jabatan, setiap orang “sikut-menyikut”, kemudian karena itu korupsi sangat sulit diberantas, bahkan dengan alat hukum sekalipun, sebab hukum pun sudah menjadi barang dagangan yang “laris manis” bukan?

Itu secara materialistis. Bagaimana dengan relasi bersaudara kita? Orang sudah sulit saling mengampuni hanya karena dendam, trauma, dan berbagai alasan psikologis lainnya. Orang juga sudah sangat sulit saling mengampuni karena terpola dalam struktur “korban” (victimisasi).

Selamat beraktivitas! Semoga masih ada “belas kasihan” untuk sesama!

Comments

t4l4mburang said…
Perdamaian tanpa pengampunan kayanya memang seng jelas bung, tetapi pengampunan dengan pelupaan bukanlah pengampunan yang sejati. Pengampunan tidak membuka jalan bagi suatu keadaan amnesia baik pribadi maupun sosial.
Jadi intinya adalah "Pengendalian Diri" .... hehehe....
Steve Gaspersz said…
Bukankah "pengampunan" adalah sebentuk pengendalian diri untuk tidak terus mengingat kesalahan orang lain, tetapi juga tidak melupakan bahwa kesalahan adalah kodrat manusiawi? Bagaimana bung?
t4l4mburang said…
Mungkin itu yang namanya transformasi bosss.... mengubah suatu keadaan dimana kemarahan menguasai menjadi kasih yang meluap. Masalahnya adalah mentransformasi marah menjadi kasih itu seng samua orang bisa cuma dengan melupakan kesalahan orang. Entahlah, dalam pengalaman beta, transformasi seperti itu mungkin dilakukan dengan mengingat setiap detail peristiwa dan dalam pengertian sebagai manusia, melakukan pengampunan.
Mengampuni itu adalah Kebebasan dan Kebebasan adalah Dasar Moral... Manusia yang bermoral sebenarnya adalah yang siap dan mampu mengampuni karena ia sebenarnya bebas untuk tidak mengampuni. .....
Cuma refleksi dari pengalaman saja ni bosss
Steve Gaspersz said…
Sebelum "dia" melihat dunia ini dan memecah hening dengan huelenya yang pertama, kami sekeluarga hendak mengucap "selamat datang ke dunia!". [fam Gaspersz]

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara