TIGA BATU TUNGKU:

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Penting, menjadi sadar
TULISAN ini merupakan ringkasan dan refleksi lanjutan atas Tesis yang saya tulis pada tahun 2001 di Universitas Kristen Satya Wacana – Salatiga. Setelah tesis itu dibaca kembali, renungan akademis memunculkan sebuah kesadaran kultural, akan berbagai mekanisme kontrol sosial yang sebetulnya telah ada dalam budaya masyarakat kita di Maluku. Tiga Batu Tungku (TBT) dalam defenisi itu merupakan salah satunya, di samping beberapa yang patut disebut seperti masohi, hamaren, sosoki, badati, sasahil, dll. Hanya saja, spesifikasi TBT tentu terletak pada jaringan yang terpintal di dalamnya. Umumnya, sistem kerjasama TBT ini dikenal di semua negeri (Kristen) di Maluku, yang terdiri dari unsur Pemerintah Negeri, Majelis Jemaat (Gereja), dan Dewan Guru (Pendidikan).

Di negeri-negeri Islam, sistem ini lazim disebut Tetua Teru. Sistem ini umumnya berkembang di negeri-negeri Islam Leihitu, terdiri atas Siatawa – Raja Hitu – Timu Lau. Agak berbeda dengan corak di negeri-negeri kristen, ini merupakan corak pemerintahan yang menempatkan Raja Hitu sebagai pusat (centrum) pemerintahan, dan Siatawa serta Timu Lau, merupakan jaringan pemerintahan yang mengawasi daerah-daerah di dalam kawasan pemerintahan Hitu itu. Sistem ini kemudian dikembangkan secara khusus di Tial sebagai suatu pola pembagian struktur sosial.
Prinsipnya, bagaimana pun corak pelembagaan TBT itu, ia tetap merupakan sebuah mekanisme kerjasama sosial yang dapat memberi kontribusi positif bagi pembangunan negeri. Bahkan dalam era otonomisasi, dengan tekanan kuat pada revitalisasi pemerintahan adat, sistem-sistem kerjasama adatis seperti ini dapat pula menjadi bagian dari sistem kendali sosial dan penguatan jaringan sipil dalam tatanan masyarakat yang luas.


2. Menilik Istilah TBT
Saya tentu tidak akan memaparkan detail sejarah TBT di sini. Beberapa peristiwa pokok dalam sejarah pengorganisasian TBT, serta pergeserannya akibat berbagai pengaruh, coba dipaparkan untuk memberi basis pemaknaan budaya terhadap sistem ini.

Istilah TBT menjadi bagian dari sistem semantik budaya orang-orang Maluku. Bahkan batu sebagai unsur material di dalam istilah itu, telah menjadi tanda budaya yang memiliki tautan nilai sakral bagi orang-orang Maluku.

Formulasi sei hale hatu, hetu lisa pei; sei lesi sou, sou lesi ei – siapa bale batu, batu tindis dia; siapa langgar sumpah, sumbah bunuh dia – merupakan formulasi hukum, di mana batu menjadi material legalisasi, yang diparalelkan dengan “hukum”.

Dalam kerangka itu, batu juga menjadi pusat ritus klen dan/atau komunitas negeri. Ini terlihat melalui batu teung yang dimiliki oleh setiap soa dan juga negeri. Batu teung pun menjadi tanda legal yang membatasi lingkungan permukiman antarsoa. Di Ema misalnya, di depan setiap batu teung, adalah rumah tua setiap soa. Pada beberapa negeri, terdapat pula batu pamale di setiap baileu.

Beberapa lingkungan permukiman atau tempat-tempat sakral dalam mitologi orang-orang Maluku pun mengandung istilah batu. Seperti, batu meja, batu karbou, batu merah, batu koneng, batu gong, batu capeu, batu gantung, batu bulan, batu marael, batu lubang, batu babunyi, dll.

TBT sendiri disebut dalam ragam istilah, seperti TBT, Batu Tungku Tiga, Tiga Tungku, Tungku Tiga. Ragam penyebutan itu pun bersumber dari adanya pusat-pusat sakral tertentu di masing-masing negeri.

Di Suli, istilah yang digunakan adalah Tungku Tiga. Istilah ini bersumber dari adanya susunan batu menyerupai batu tungku di pantai Suli sebagai simbol hubungan Pela Suli-Waai-Kaibobo. Ketiga batu itu adalah representasi dari ketiga negeri dimaksud. Istilah ini kemudian ditransfer untuk menyebut sistem kerjasama antarinstitusi dalam TBT tadi.

Berbeda halnya di Rutung, istilah yang digunakan adalah Batu Tungku Tiga, yang bersumber dari adanya susunan batu kapitan, batu malesi dan batu mauweng di negeri lama mereka. Ketiga batu itu berada di pusat beileu negeri di negeri lama, sebagai representasi kepemimpinan kolektif atas negeri. Istilah ini juga lalu ditransfer untuk menyebut sistem kerjasama TBT tadi.
Di Hatalai, susunan batu di batu marawel, atau biasa disebut batu bakar damar, menjadi sumber penggunaan istilah batu tungku, untuk kerjasama antarinstitusi dalam TBT. Namun di Akoon (Nusa Laut), justu pengistilahan TBT bersumber dari posisi Gereja, Baileu dan SD yang menyerupai susunan batu tungku. Orang-orang Ohoiwait di Kepulauan Kei, justru menggunakan istilah ini dengan bersumber pada adanya susunan batu menyerupai tungku di woma (negeri lama) mereka.

Pada setiap negeri tentu akan ada ragam pengistilahan yang menunjuk pada sumber-sumber khusus yang dijadikan acuan pengistilahan itu. Walau demikian, secara umum setiap istilah itu digunakan sebagai representasi hubungan kerjasama antarinstitusi Pemerintah Negeri, Majelis Jemaat, dan Pendidikan.

3. Sekilas Sejarah
Saya hanya akan menyoalkan kembali catatan-catatan etnografis kita. Relasi institusi-institusi sosial di dalam negeri-negeri (kristen) memang telah dipaparkan secara gamblang oleh Frank L. Cooley. Kita pun akan mengkritik Cooley, sebab ia melihat suatu fenomena konflik antarinstitusi, lalu melupakan sebuah mekanisme penyelesaian konflik yang sebetulnya telah ada di dalam negeri-negeri, bahkan tempat Cooley meneliti (Allang, Soya).

Mekanisme penyelesaian konflik antarinstitusi itu ialah TBT. Penelitian etnografis membuktikan bahwa mekanisme kerjasama TBT yang ada sekarang, adalah transfer atau modifikasi atas sistem yang sama, yang sudah ada jauh pada masa nenek moyang.

Formasi awalnya dapat dilihat dalam komposisi Saniri Tiga Batang Air – Eti – Tala – Sapalewa, di mana formasi di tempat pertemuan kepala air itu menggambarkan terstrukturnya unsur-unsur pimpinan adat dari masing-masing batang air. Namun, dalam struktur yang paling kecil, tampak dalam kolektifitas kepemimpinan Latu, Kepala adat dan Mauweng. Ketiga elemen ini ada dalam satu ikatan sosial pemerintahan adat. Latu bertanggung jawab atas semua segmen hidup masyarakat, terutama pemerintahan. Dalam urusan tertentu ia dibantu oleh kepala adat, sebagai pelaksana dan pengawas praktek adat masyarakat, dan mauweng untuk penyelenggaraan ritus adat atau agama. Ketiga unsur ini tidak menggambarkan struktur yang terpisah, tetapi perikatan yang utuh satu sama lain. Aksentuasi tugas dan perannya jatuh berat pada pemenuhan tanggung jawab adatis masyarakat. Adat menjadi sandaran pelaksanaan tugas.
Struktur ini berubah pada saat masuknya pengaruh kekristenan, terutama Belanda. Karena Portugis tidak secara terbuka mengubah tatanan adatis masyarakat di Maluku (Tengah). Perubahan status dan kedudukan latu ke raja, membuat formasi TBT pun berubah secara signifikan. Apalagi ketika posisi dan peran mauweng tereduksi dan digantikan oleh Gereja, dalam hal ini Pendeta. Serta-merta terjadi serangan besar-besaran terhadap adat. Adat dipandang mengandung unsur kekafiran, sebuah justifikasi teologi dan filsafat barat, yang jelas-jelas turut pula mereduksi teologi dan filsafat kebudayaan orang-orang Maluku.

Bersamaan dengan itu, posisi kepala adat teralienasi ke dalam Pemerintah Negeri, sebagai simbol kekuasaan sekuler, dan diganti oleh Pendidikan/Guru Djoemat, yang adalah juga bagian dari Gereja. Sebab pada masa itu, sekolah diselenggarakan oleh dan sebagai bagian dari penginjilan. Lalu kita memiliki matra yang baru yakni TBT dalam formasi Pemerintah Negeri – Majelis Jemaat – Dewan Guru, seperti ada saat ini.

Ketika diterapkan sistem pemerintahan sesuai UU no.5/1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa, perubahan struktur Saniri Negeri, telah pula membuat Sistem TBT termarginalisasi, karena birokrasi LMD/LKMD telah mengambil kendali kontrol terhadap pemerintah desa.
Mekanisme kerjasama TBT berjalan tidak seefektif sebelumnya, malahan di negeri-negeri kristen, yang terlihat hanya kegiatan ritual (Ibadah TBT) yang umumnya menjadi bagian dari kebijakan Gereja. Suatu perpindahan ruang tanggung jawab sosial TBT yang justru membuat sistem ini menjadi semakin rancu dan hilang keandalan sosialnya.

3.1. Akar Sosial Sistem TBT
Akar sosial sistem TBT di Maluku ada dalam pola hubungan antarinstitusi-institusi sosial dalam negeri satu sama lainnya. Runutan sejarahnya memerlukan penelitian mendalam, di samping ketersediaan bahan-bahan etnografi yang secara eksplisit maupun implisit menggambarkan sistem TBT itu. Agaknya bahan-bahan etnografi itu terbatas bahkan tidak memberikan gambaran spesifik tentang sistem ini. Sistem ini tidak muncul secara gamblang dalam beberapa bahan etnografi mengenai Maluku. F.J.P. Sachse[1] menjelaskan mengenai sistem sosial masyarakat dari zaman sebelum masuknya pengaruh luar, khusus di Pulau Seram. Cooley[2] hanya tiba pada deteksi sosial mengenai faktor-faktor sosio-budaya dalam hubungan antara lembaga keagamaan (gereja) dengan pemerintah, serta realita konflik kedua institusi itu. Chauvel[3] menggambarkan perkembangan dan partisipasi institusi Pemerintah Negeri (Raja), Pendidikan dan Gereja dalam dinamika politik lokal sejak 1880-1950. Hanya Jansen[4] yang secara eksplisit menyebut TBT (fire place, three tungku), terutama di Tial (Salam dan Sarane) sebagai bagian dari sistem tetua teru di Hitu.

Oleh sebab itu rekonstruksi sejarah merujuk dari sistem-sistem lama (tua) sebagai model asli dari sistem yang baru, dengan melihat motivasi dan nilai yang membidani terbentuknya kerjasama antarinstitusi atau antarelemen sosial, juga faktor-faktor penyebab perubahan dan/atau perkembangan dalam struktur sosial masyarakat.

a. Alam Pikiran Orang Maluku: Penjelajahan ke dalam kosmologi masyarakat
Tindakan sosial dalam skala apapun muncul karena dorongan kognisi dan motorik masyarakat. Ada motivasi dasar munculnya suatu tindakan sosial. Apa yang dilihat Elizabeth Traube mengenai hubungan antara tatanan sosial dengan tatanan kosmos mampu menjelaskan bahwa pandangan dunia atau kosmologi turut membidani suatu tindakan sosial.

Penekanan pada aspek kosmologis di sini tertuju pada pola-pola pandangan dunia (worldview) mengenai masyarakat dan pola kognisi dalam penyelenggaraan upacara adat serta pembagian wilayah teritori negeri. Secara personal setiap anggota masyarakat adalah manusia yang memiliki struktur-struktur fisik, sebagaimana tergambar dalam pembagian anatomi oleh Boulan[5], bahwa tubuh manusia terdiri dari bagian uru atau ulu (bagian kepala sampai atas pusat), bagian hesam hesa atau hesam asa (daerah pusat), dan bagian hatu (terj. Batu, landasan, alas), yaitu bagian kaki sampai bawah pusat. Di mana hesam hesa merupakan tempat bertemunya bagian uru dan hatu. Struktur anatomi itu memperlihatkan perspektif totalitas dengan penekanan pada titik pusat sebagai tempat pertemuan setiap unsur.

Perspektif totalitas itu berpengaruh dalam carapandang mengenai masyarakat sebagai totalitas komunitas adat yang memegang teguh aturan adatnya. Setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban untuk memenuhi semua aturan adat mulai dari lahir sampai dengan matinya. Semua gerak hidupnya dilingkupi oleh adat. Dalam kerangka itu pemerintahan adat merupakan elemen penting dalam mengawasi pelaksanaan adat oleh setiap anggota masyarakat. Pada sisi itu muncul person-person tertentu yang memegang jabatan adat, seperti kepala adat dan mauweng (imam/pendeta adat).

Perspektif totalitas dan sentralistis dan konsep-konsep keseimbangan juga mewarnai tata cara dan pola-pola penyelenggaraan upacara adat. Corak sentralistis nampak pada pandangan mengenai Nunusaku (Pusat pertemuan Tiga Batang Air: Eti, Tala, Sapalewa) sebagai pusat kosmis masyarakat Seram dan asal manusia Maluku. Pulau Seram diyakini sebagai Nusa Ina (Pulau Ibu), seperti halnya juga Baileu sebagai makrokosmos di dalam negeri. Pelaksanaan upacara adat dipusatkan pada tempat-tempat tertentu, seperti Negeri Lama, Batu Teung Negeri, Teung Soa, Baileu, Rumah Tua/Ruma Tau, dll.

Konsep keseimbangan dapat dilihat melalui struktur-struktur tanda (sign) yang menunjuk pada nilai seperti dalam sistem kepercayaan (konsep ketunggalan atau Asa di dalam alam)[6], sistem sosial (totalitas negeri sebagai teritori genealogis – Asa di dalam kehidupan sehari-hari atau di dalam negeri)[7], konsep Asa di dalam tubuh manusia, dan sistem hukum terutama dalam segi nominalitas hukum adat.[8]

Asa dalam sistem kepercayaan (agama suku) adalah refleksi ketunggalan terhadap Upu Ila(h) Kahuressi sebagai Pencipta alam semesta. Alam semesta dalam totalitas Asa terdiri dari Upu Ila(h) (sebagai Pencipta), Langit dan Bumi (sebagai ciptaan). Kosmos terbagi atas lingkungan atas, dikuasai oleh Upu Lanite (=Tuhan Langit), dan lingkungan bawa (=negeri), tempat tinggal masyarakat, dikuasai oleh Upu Ume/Upu Tepele (=Tuhan bumi).[9] Kedua lingkungan itu merupakan satu ikatan kosmos, bukan suatu sistem hierarkhis. Supreme being (Upu) ada dalam totalitas kosmis bersama dengan manusia. Upu dan masyarakat berada dalam kosmos yang utuh dengan peran dan fungsi yang berbeda-beda.

Kosep Asa terwujud dalam negeri sebagai teritori sosio-genealogis, tempat tinggal masyarakat, yaitu teritori sosio-genealogis dari persekutuan klen, atau soa. Soa-soa itu membagi wilayah masing-masing dalam teritori negeri, dan batas antarteritori ditandai dengan batu teung. Lingkungan negeri biasa dibagi atas daerah lao dan dara (daerah bawah dan atas, atau daerah ke arah laut dan daerah ke arah gunung). Ada pula negeri lama dan negeri, dan totalitas negeri itu biasa tercakup dalam daerah ewang – negeri (batas kaki gunung sampai ke pesisir pantai) – Laut.

Di dalam negeri nampak pula sistem klasifikasi pada struktur-struktur sosial. Soa sebagai satuan-satuan sosial yang terdiri dari beberapa mata rumah terbagi dalam dua bentuk yaitu soa batih yaitu mata-mata rumah asli di dalam negeri dan soa anaueng yaitu mata-mata rumah pendatang dari negeri lain yang kemudian menetap di dalam suatu negeri tertentu. Masing-masing soa dikepalai oleh Kepala Soa, yang juga merupakan anggota Saniri Negeri, bersama dengan Raja, sebagai pimpinan masyarakat, dibantu oleh perangkat-perangkat pejabat negeri lainnya seperti kapitan, malessi, dan marinyo.

Konsep Asa dibangun dari perspektif totalitas. Masyarakat memahami kosmosnya sebagai satu totalitas bukan fenomena dikotomis. Sehingga tata kosmos tidak mengarah pada pertentangan bagian-bagian, tidak juga menunjuk pada pola ordinatif dan subordinasi, atau hierarkhis. Kosmos merupakan satu totalitas. Prinsip totalitas mengitegrasikan unsur-unsur yang berbeda, sehingga yang nampak ialah relasi tiap-tiap bagian secara seimbang. Dominasi suatu unsur terhadap lainnya kecil, sejauh masing-masing unsur menjalankan fungsinya secara efektif.[10] Perbedaan hanya ada pada fungsi, posisi dan tempat di mana suatu unsur berada.

Alam pikiran atau pola kognisi masyarakat dalam apa yang dibahasakan perspektif totalitas, sentralistis dan keseimbangan (equalibrium) akan dijadikan perspektif dalam memandang dan menafsir data terutama hubungan antarinstitusi dalam TBT.

b. Sejarah Perkemangan Sistem Sosial
Institusi sosial menurut R.N. Bellah ialah suatu bentuk ekspetasi dari tindakan individu-individu dan kelompok yang berlangsung melalui sanksi-sanksi sosial, baik positif maupun negatif. Institusi merupakan bentuk normatif dan diselenggarakan melalui hukum-hukum dan kebiasaan (mores – tradisi dan praktek formal). Term tersebut mengarah pada bentuk konkrit dalam sebuah organisasi. Bellah membedakan antra institusi dan organisasi sosial dengan melihat pada korelasi antara institusi dan organisasi, sebab jika hanya berpikir mengenai organisasi dan tidak melihat pada institusi, artinya kita cenderung menyederhanakan masalah yang sesungguhnya.[11] Inti dari institusi ialah kerjasama (coorporation) dan tangggungjawab (responsibility).

Dalam masyarakat yang kompleks institusi sosial merupakan mekanisme sosial yang disusun untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemerintahan sebagai bagian dari pola institusionalisasi merupakan suatu sistem kontrol yang berada di atas semua segmen sekuler kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan sudah dimulai dari zaman nenek moyang, walaupun dengan jabaran tugas, fungsi dan pembagian yang masih sederhana.

Jauh pada masa leluhur masyarakat Maluku (di Pulau Seram) terdapat dua suku yakni Wemale dan Alune.[12] Dalam suku-suku itu hidup kelompok-kelompok kecil masyarakat; yaitu keluarga-keluarga (ditandai dengan fam) yang membentuk satu persekutuan mata rumah. Kelompok mata rumah terdiri dari beberapa keluarga yang berasal dari satu leluhur. Mata-mata rumah kemudian tergabung dalam suatu unit sosial yang disebut soa.

Tiap-tiap soa dipimpin oleh seorang Upu, dan menempati teritori Aman atau Hena. Masing-masing soa membagi wilayahnya, di mana batas antarsoa ditandai tengan batu teung. Corak masyarakatnya homogen, baik dalam komposisi soa maupun peran-peran kepemimpinan. Belum ada pembagian tugas dan wewenang yang tegas.

Aman dipimpin oleh seorang Upu. Karena awalnya upu adalah juga pemimpin soa, maka Upu yang memimpin suatu Aman biasa disebut Amanupui, atau di tempat tertentu dinamakan Latu-Nusa.[13] Dalam Aman pola pengorganisasian sosial mulai berkembang. Cooley menulis bahwa “upu bertanggungjawab atas semua urusan keduniaan. Dalam urusan peperangan ia dibantu oleh seorang malessi. Sedangkan urusan agama dan “dunia seberang” diselenggarakan oleh mauweng dan pembantunya malimu atau maitale.[14] Komposisi kepemimpinan itu dinamakan Saniri Negeri.

Pola pembagian tugas dan peran sosial itu menunjuk bahwa belum ada perbedaan (diferensiasi) yang mencolok dalam pola pengorganiasian masyarakat.[15] Peran-peran masih bersifat sederhana, meliputi segmen-segmen sosial yang terbatas, berkaitan dengan bagaimana hidup di alam dan bagaimana hubungan masyarakat dengan dunia seberang. Bobot peran dipegang oleh tokoh-tokoh kharismatik dalam masyarakat.

Lambat laun soa menjadi besar. Muncul usaha untuk memperluas teritori baik secara spontan maupun agresi sosial. Peperangan antarsuku Wemale dan Alune misalnya dalam sejarah migrasi orang-orang Wemale di Honitetu dengan Alune di Rumberu (Seram Bagian Barat) memperlihatkan bahwa konflik menjadi salah satu upaya pembentukan teritori baru. Pertambahan anggota soa (fertilitas) dan/atau konflik mendorong ekspansi sosial untuk memperluas dan/atau mencari teritori baru ke luar Seram. Terjadilah gelombang migrasi beberapa mata rumah atau soa pada satu Aman/Hena dari Pulau Seram ke pulau-pulau Ambon-Lease (Ulias).[16] Pada masa migrasi leluhur sebagian kelompok migran dipimpin oleh seorang Kapitan. Di negeri yang baru struktur dan sistem pemerintahan Aman dipertahankan. Hanya saja kepala pemerintahan ialah kapitan, menggantikan posisi Amanupui/Latu-Nusa, dibantu oleh Malessi dan Mauweng. Pembantu-pembantu lainnya ialah marinyo dan kewang. Masa kepemimpinan Kapitan relatif singkat; lebih banyak berkaitan dengan perebutan atau penetapan teritori baru. Sampai dengan penetapan sebuah teritori defenitif, Kapitan masih berfungsi untuk beberapa saat hingga diangkatnya Amanupui yang baru.

Pada saat yang hampir bersamaan terjadi ekspansi dari kerajaan Ternate dan Tidore ke Ambon-Lease, yang berakibat pada terbentuknya persekutuan Uli, terdiri dari beberapa kelompok Aman/Hena. Sistem Uli sendiri tidak memiliki hierarkhi kepemimpinan yang jelas. Bukti-bukti sejarah mengenai struktur dan pola kepemimpinan dalam Uli sulit ditelusuri. Namun kesan umum dari bahan-bahan etnografis yang ada serta sistem Uli yang masih ada (mis. Uli Hatuhaha – di Pulau Haruku) agaknya Uli merupakan sistem koordinatif politis antarAman/Hena; terutama yang memiliki garis keleluhuran dan pola penataan sosial yang (mirip) sama. Dalam hal ini orang Maluku Tengah menyebutnya Pata ­– Pata Siwa, Pata Lima, orang Maluku Tenggara menyebutnya Ur – Ur Siw, Ur Lim.

Dalam Uli, tiap-tiap Aman dipimpin oleh Upu atau Latu-nya sendiri. Bagi Aman yang secara demografis sedikit, dipimpin oleh Patih atau Orang Kaya; dan setiap aman memiliki status otonom.

Sistem Uli bertahan sampai dengan masuknya pengaruh Barat ke Maluku. Masuknya Portugis ke Maluku (1511/12) atau Pulau Ambon (1525) tidak lalu mereduksi sistem-sistem asali itu ke dalam sistem politis ala Barat. Portugis justru memanfaatkan persekutuan-persekutuan politik lokal untuk membantu tujuan ekspansinya (ekonomis). Dalam sejarah misi Katolik di Pulau Ambon, Fanciscus Xaverius menggunakan persekutuan Uli dalam rangka koordinatif pelayanan di beberapa negeri yang dikunjunginya. Misalnya, Ema dijadikan sebagai pusat jemaat dari negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Ema, yaitu Ema, Hukurila, Leahari dan Rutung.[17]
Berbeda dengan sikap Portugis, VOC justru bersikap sebaliknya. Persekutuan-persekutuan politik lokal diubah dengan sistem-sistem baru. Persekutuan-persekutuan Uli dihapus dengan jalan mendirikan republik-republik negeri (abad ke-17).[18] Teritori Aman/hena dipindahkan dari pegunungan ke pesisir pantai untuk mempermudah rantai kendali VOC dalam mengatur, mengusahakan serta menguasai jalur perdagangan rempah-rempah (cengkih).

Diangkatlah Raja, keturunan langsung dari Upu atau mata rumah yang secara adatis berhak menempati posisi itu, sehingga dapat dimengerti bahwa Raja dalam struktur adatis adalah nama baru bagi Upu atau Latu-Nusa, yaitu pimpinan masyarakat. Jika Upu identik dengan mata rumah, Amanupui dan Latu-Nusa identik dengan Aman/Hena, maka Raja identik dengan Negeri. Dalam penyelenggaraan tugasnya dibantu oleh staf Saniri Negeri, yang terdiri dari pada Kepala Soa. Urusan pemerintahan dalam bidang keamanan negeri dipegango oleh Kapitan dan Malessi. Pejabat lainnya ialah marinyo, yaitu “juru bicara” Raja, yang bertugas menyampaikan semua hasil keputusan Saniri kepada masyarakat. Urusan keagamaan dipegang oleh seorang mauweng, atau juga almanan, dan kewang sebagai pengawas wilayah petuanan (darat dan laut) negeri serta batas-batas tanah antarsoa yang satu dengan lainnya.

Perubahan struktur-struktur sosial masyarakat merupakan fakta evolutif atau perkembangan sosial-budaya masyarakat. Mengenai evolusi masyarakat/sosial, Lewis A. Morgan melihat ada tingkatan perkembangan dari tahap terendah, pertengahan dan tinggi. Dalam istilah lain, Morgan menyebut perkembangan itu adari tahap savagery, barbarism dan civilization. Tingkatan perubahan terjadi melalui lower – medium – upper savagery, lower – medium – upper barbarism, dan lower – medium – upper civilization, yang ditentukan oleh faktor teknologi. Evolusi atau “progresi” dalam pemahaman Morgan memperlihatkan kuatnya faktor-faktor dari dalam lingkungan masyarakat. Ada kesadaran kolektif karena pengalaman dan faktor lingkungan.[19]

Pada sisi lain, Herbert Spencer melihat terjadinya evolusi budaya ditentukan oleh tindakan-tindakan dari luar yang diterima oleh masyarakat (difusi). Ada perubahan progresif dalam lingkungan masyarakat; sekilas kita memandang pada bentuk asilnya.[20] Perubahan itu dimungkinkan sebab masyarakat turut membagi peran-peran dan fungsi yang berbeda-beda pula. Pada tataran itu Robert N. Bellah mendefenisikan:

Evolusi merupakan suatu proses meningkatnya diferensiasi dan kompleksitas organisasi yang memberi organisme, sistem sosial atau satuan apapun barangkali, dengan kemampuan beradaptasi lebih besar terhadap lingkungannya sehingga sistem tersebut secara relatif lebih otonom terhadap lingkungannya dibandingkan sistem yang kurang kompleks pada masa nenek moyang.[21]

Secara umum evolusi budaya di suatu lingkungan berbeda dengan lingkungan lainnya. Tiap-tiap lingkungan mengalami kadar pertumbuhan dan/atau perubahan akibat pengaruh yang berbeda-beda. Karenanya teori evolusi berguna untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi.[22] Berkaitan dengan organisasi atau institusi sosial, evolusi mengindikasikan adanya perubahan dan/atau perkembangan dalam peran dan fungsi tiaptiap elemen struktural sosial.[23]

3.2. Faktor-faktor Terbentuknya TBT
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan terbentuknya TBT, yaitu [a] faktor kosmologis dan [b] faktor sosial.

[a] Faktor Kosmologis
Munculnya TBT tidak dapat dilepaskan dari motivasi dan perspektif dasar masyarakat. Perspektif itu tergambar dalam pandangan dunia mereka, yang tampak dalam mitos dan simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat (sebagai yang mengandung pesan tertentu).
Materi-materi mitos masyarakat Maluku memperlihatkan struktur-struktur nilai mengenai terjadinya sebuah persekutuan hidup (mis. mitos pela). Di samping itu ada pula penggunaan simbol-simbol untuk memberi dasar legitimasi bagi persekutuan hidup itu. Dalam mitos pela dapat dilihat berbagai simbol. Dalam bentuk pela darah, darah merupakan simbol legitimasi persekutuan pela.

Di samping darah, batu juga menjadi simbol legitimasi pela, misalnya antara negeri Kaibobu (Seram Barat), Waai dan Suli (Pulau Ambon – Leihitu). Simbol pela ketiga negeri ini ada di negeri Suli, dan dikenal dengan nama TBT. Di mana masing-masing batu merupakan representasi ketiga negeri itu. Sedangkan batu sebagai simbol legalisasi pela negeri Kilang dan Hukurila (Pulau Ambon – Leitimor) dikenal dengan nama batu potong tusa (kucing).
Hal lain dalam legalisasi pela ialah formulasi sumpah: sei hale hatu, hatu lisa pei; sei lesi sou, sou lesi ei – terj. Siapa membalikkan/membongkar susunan batu, batu [terbalik menindih) tindis dia, siapa melanggar sumpah, sumpah membunuh dia. Dalam formulasi itu sumpah dianalogikan dengan batu (hatu).

Batu di sini memiliki makna sakral dalam struktur kosmologis masyarakat Maluku. di setiap negeri adat umumnya ada batu teung, batu pintu negeri, batu pamali, dll. Pada negeri-negeri terentu juga dikenal batu kapitan, batu malessi, batu mauweng (di Rutung disebut Batu Tungku Tiga), ada pula batu peringatan Latusia (batu kucing di Hukurila). Bahkan baileu negeri Hukurila dan Soya adalah susunan batu-batu yang menyerupai sebuah ruangan tempat musyawarah. Di antara tumpukan batu itu ada batu raja, batu kapitan, batu kepala soa, batu bastori (=mimbar). Tempat-tempat sakral di Rutung, Ema, Soya ada yang bernama batu minum air, dan di Hatalai disebut batu marawel.

Bahkan beberapa lokasi permukiman di Ambon dinamai dengan istilah batu, seperti Batu Gajah, Batu Meja, Batu Gong, Batu Gantung, Batu Bulan. Ada pula tempat-tempat yang bernuansa mitologis seperti Batu Capeu, Batu Babunyi, Batu Lubang, dll. Penamaan itu memiliki mitos masing-masing.

Faktor kosmologis itu memperlihatkan bahwa dalam rangka memaknai TBT didekati dari beberapa pengistilahan lokal (ordinary language) mengenai sistem dimaksud. Istilah-istilah lokal itu a.l: Tiga Tungku, Tungku Tiga, Batu TUngku, Batu Tungku Tiga, dan Tiga Batu Tungku. Ada latar sosial khusus yang membidani penggunaan istilah-istilah itu di mana ia digunakan. Istilah Tiga Tungku menunjuk pada suatu sistem pemerintahan Tetua Teru di Hitu. Istilah ini nampak dalam pembagian struktur sosial di Tial, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Hitu. Sistem Tiga Tungku di Tial terdiri atas Siatawa – Raja Hitu – Timu Lau. Komposisi itu menempatkan Hitu sebagai struktur pusat.

Di Suli dikenal istila Tungku Tiga, yang bersumber dari mitos sejarah Pela Kaibobu, Waai, dan Suli. Tanda hubungan pela itu ialah tiga buah batu yang diletakkan di pesisir pantai Suli sebagai representasi ketiga negeri dimaksud. Ketiga batu itu dikenal dengan sebutan Tungku Tiga. Istilah itu kemudian ditransfer untuk menyebut sistem kerjasama antarinstitusi Pemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan oleh masyarakat Suli, Waai dan juga Kaibobu.
Sedangkan istilah Batu Tungku Tiga di Rutung didasarkan pada adanya susunan batu kapitan, batu malessi, dan batu mauweng yang mengapit baru negeri (batu raja) di negeri lama. Istilah itu diterjemahkan langsung untuk menyebut sistem kerjasama antarinstitusi Pemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan. Dengan demikian istilah-istilah itu menunjuk pada sistem klasifikasi sosial dari apa yang pernah ada dalam sejarah sosial masyarakat.

Di Hatalae kerjasama antarinstitusi Pemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan disebut Batu Tungku. Istilah ini juga ditransfer langsung dari istilah yang sama yang menunjuk pada susunan batu di negeri lama (batu marawael) sebagai tempat keramat masyarakat Hatalae. Susunan batu itu juga sering disebut “batu bakar damar”, karena dahulu di tempat itu masyarakat biasanya membakar damar sebagai sarana penerangan negeri lama.

Pada negeri-negeri di Pulau Ambon, umumnya istilah TBT menunjuk pada kerjasama antarPemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan. Model kerjasama ini dikembangkan dari pranata lama yaitu hubungan antara kepala adat, Latu Nusa dan Mauweng, serta realitas terbaru masyarakat, terutama kompleksitas pengorganisasian sosial bersamam dengan perubahan sistem sosial masyarakat itu sendiri.

Dalam pengalaman terbaru, yaitu ketika masuknya Injil ke Maluku, ada pertentangan antara institusi pemerintah negeri (representasi adat) dan gereja serta pendidikan (representasi agama Kristen). Konflik antarinstitusi itu mendorong munculnya kesadaran dan tindakan sosial yang mengarah pada invensi budaya melalui penciptaan mekanisme TBT.

Dari varian istilah itu dapat dikatakan bahwa TBT memiliki makna denotatif (sintagmatik) dan konotatif (paradigmatik). Makna denotatif dari TBT menunjuk pada batu sebagai unsur alamiah yang digunakan sebagai simbol legalisasi suatu persekutuan hidup. Di sini, TBT adalah susunan tiga buah batu untk tempat memasak (fire stone). Bahan bakar yang digunakan adalah kayu. Kayu dinyalakan di antara susunan tiga buah batu yang diatasnya diletakkan belanga, kuali, atau peralatan sejenis. Cara itu disebut folkways, yaitu cara melakukan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dalam suatu kelompok khusus dari masyarakat. Jika kebiasaan itu tetap dilakukan dari generasi ke generasi, cepat atau lambat akan menghasilkan suatu cara yang benar.[24] Jika terjadi demikian maka folkways itu mengarah pada tatanan norma tertentu. Orang tidak lagi beraktifitas karena kebiasaan, melainkan karena ada norma yang harus dipatuhi. Itu berarti folkways menjadi sebuah mores yaitu cara yang efisien atau panas dan bisa diterima atau folkways yang dirasionalkan.[25]

Secara konotatif TBT menunjuk pada sistem sosial. Simbol-simbol alamiah beralih fungsi sebagai tanda (sign) representas makna menunjuk pada suatu sistem sosial.[26] Unsur yang penting di sini ialah fungsi tanda, tanda itu sendiri, siapa yang menggunakan tanda itu, dan apa yang ditunjuk atau diterangkan oleh tanda itu.[27]

Tiga buah batu tungku merupakan tanda yang menunjuk pada adanya tiga institusi sosial, yaitu Pemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan. Ketiga institusi itu terwakili oleh salah satu batu dalam komposisi TBT. Fungsinya bergeser, tidak lagi menjadi tempat untuk memasak sebagaimana kebiasaan (folkways) masyarakat, melainkan secara analogik “untuk memasak negeri”. Lokasinya dari dapur berpindah ke lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat. Tidak lagi dalam lingkungan domestik, melainkan publik.

Batu tidak lagi menunjuk suatu unsur alamiah, melainkan representasi dari institusi Pemerintah Negeri, Gereja dan Pendidikan. Batu mengandung makna sosial yang luas, dan tidak menunjuk pada person tertentu dalam masing-masing institusi, melainkan kolektifitasnya. Secara fisik batu itu harus sama besar agar ada keseimbangan, karena itu tidak ada dominasi satu terhadap lainnya.

[b] Faktor sosial budaya
Rujukan yang paling adekuat untuk menunjuk kepemimpinan Tiga unsur adalah dalam formasi Saniri Tiga Batang Air: Eti – Tala – Sapalewa di Pulau Seram. Dalam waktu-waktu yang telah ditentukan, Saniri Tiga Batang Air ini bertemu untuk membicarakan masalah hidup bersama.
Dalam formasi pemerintahan negeri, kepemimpinan tiga unsur dikembangkan dalam formasi tetap: Raja – Kepala adat – Mauweng. Namun formasi itu tidak bertahan lama, digantikan dengan formasu baru pada saat masuknya injil ke negeri-negeri di Maluku, maka terbentuklah TBT dalam: Pemerintah Negeri – sebagai representasi lebaga adat dan sosial masyarakat, Gereja untuk melakukan tugas pelayanan keagamaan dan kehidupan berjemaat, dan Pendidikan yang diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia dan peran penyeimbang.
Formasi TBT yang baru ini membuat gereja dan pendidikan menggantikan kedudukan kepala adat dan mauweng dalam formasi dasarnya. Pelibatan unsur pendidikan ke dalam sistem kerjasama TBT merupakan sebuah mekanisme pencairan ketegangan antara institusi Pemerintah Negeri dengan gereja atas klaim-klaim sosial terhadap masyaraka/jemaat. Namun realitas ketegangan itu sebetulnya berpangkal pada perbedaan carapandang mengenai siapakah masyarakat itu. Pemerintah Negeri sebagai pemegang otoritas sekuler mengklaim masyarakat sebagai komunitas adat yang terorganisasi di dalam satu lingkungan sisstem sosial negeri. Berbeda dengan itu, gereja memandang masyarakat sebagai jemaat dan oleh sebab itu memiliki tingkat kepatuhan kepada hukum-hukum gerejawi (agama Kristen Protestan).

Kedua bentuk klaim itu merupakan sebuah pertentangan kosmologis yang berimplikasi pada pengenaan status ganda kepada setiap anggota masyarakat. Di satu pihak adalah anggota masyarakat yang terhisab ke dalam sistem sosial negeri, dan di pihak lain adalah anggota jemaat yang terhisab ke dalam sistem sosial gereja. Penetapan status ganda itu menyebabkan segregasi dan pengelompokkan dalam masyarakat/jemaat. Kondisi itu dirasakan tidak menguntungkan, oleh sebab itu perlu dicari mekanisme yang lebih baik. Masyarakat belajar kembali pada pengalaman masa lampau, bahwa perluada perikatan hubungan antarinstitusi yang dapat membawa kepada kesejahteraan rakyat. Ada jaringan yang hilang ketika gereja mengambil alih keseluruhan dimensi religiositas masyarakat. Peran pendampingan dalam sistem pemerintahan adat yang semula menjadi tugas mauweng yang kini berada di tangan Pendeta agaknya kurang efektif dalam menjalankan fungsi dimaksud. Alasannya pendeta telah memposisikan diri sebagai representasi institusi gereja yang mau tidak mau berada berhadap-hadapan dengan pemerintah negeri.

Dalam kondisi itulah, pelibatan unsur pendidikan signifikan untuk menjaga tatanan kohesif dan kesejahteraan tadi. Adapun beberapa faktor sosial-budaya yang sebagai faktor pembentuk sistem TBT a.l:

[1] Pertambahan jumlah pendiduk sebagai akibat dari pertambahan jumlah anggota dalam satu mata rumah. Hal ini membawa dampak sosial yaitu pelembagaan yang lebih meluas, meliputi klen, atau suku. Secara struktural terbentuklah persekutuan soa yang terdiri dari beberapa mata rumah. Kompleksitas masalah sosial muncul seiring dengan perubahan komposisi kependudukan. Muncul solidaritas sosial secara mekanis yang mendorong perubahan dalam sistem sosial masyarakat (community).[28]
[2] Faktor demografis mendorong ekspansi dan migrasi sosial. Perpindahan geo-sosial sekaligus terjadi juga perpindahan geo-budaya. Pelembagaan masyarakat di tempat yang baru membutuhkan penyesuaian-penyesuaian seadanya dengan situasi lingkungan yang baru pula. Faktor ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam sistem sosial dari tempat asal. Ada penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan.
[3] Migrasi sosial membawa dampak langsung dalam budaya masyarakat yaitu difusi budaya. Secara teoretik difusi budaya ialah penyebaran satu unsur budaya dari tempat asalnya ke tempat lain, atau proses di mana unsur-unsur budaya tertentu ditransfer dari satu masyarakat ke masyarakat lainna melalui migrasi, perdagangan, peperangan atau bentuk-bentuk kontak lainnya.[29] Paul Landis menegaskan bahwa difusi budaya mempertemukan dua karakter budaya yang berbeda dalam satu lingkungan. Dari polanya Landis menggolongkan difusi budaya ke dalam, pertama, purposeful – yaitu penyebaran unsur budaya tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sengaja ke dalam suatu lingkungan tertentu lainnya.
Contohnya penyebaran agama Kristen dan Islam. Kedua, nonpurposeful – yaitu penyebaran suatu unsur budaya tertentu di mana seseorang atau sekelompok orang tidak bermaksud menemukan suatu tempat di dalam lingkungan budaya lainnya.[30] Ada kondisi-kondisi tertentu dari suatu proses difusi. Pertama, difusi mendorong terjadinya modifikasi unsur-unsur budaya tertentu dari lingkungan yang didatangi oleh pengaruh luar, kedua, unsur-unsur budaya setempat berakulturasi dengan unsur budaya baru yang masuk, ketiga, resistensi budaya (cultural inertia) setempat sehingga tetap menjadi struktur yang dominan dalam lingkungannya (menjurus pada akulturasi budaya).
[4] Tingkat kemajemukan yang tinggi dalam kelompok sosial maupun meningkatkan kebutuhan masyarakat menjadi penyebab lain dari pergeseran dan perubahan dalam sistem sosial. Ini dapat dilihat dalam sketsa di atas.
[5] Dinamika dan perubahan tata politik lokal karena tata politik universal dapat mendorong perubahan-perubahan dalam sistem budaya lokal.

Kepustakaan:
Ajawaila, Jacob W., “Orang Ambon dan Peranan Nenek Moyang (Leluhur), makalah diskusi, Ambon, 2000
Alisjahbana, S. Takdir, Antropologi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1986
Bartels, Dieter, In de Schaduw Van de Berg Nunusaku: Een cultuur-historische verhandeling over de bevolking van de Midden-Molukken, Utrecht: Landelijk Steunpunt Edukatie Molukkers, 1994
Bellah, Robert N. (eds.,) Emile Durkheim on Morality and Society, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1973
Bellah, R.N. & Phillip E. Hammoud, Varieties of Civil Religion, San Francisco: Harper & Row Publ., 1980
Bellah, Robert N., et.al, The Good Society, New York: Vintage Books – A Division of Random House, Inc., 1992
Bellah, R.N., “Evolusi Agama” dalam Rolland Robertson (eds.,), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993
Boulan, M.C., Uru: The Son of Sunrise, terj. S.J.M. Sijauta, Belgium: Antrhoplogical Center, Universite Libre de Bruxelles, 1984
Briedstedt, Robert, The Making of Society, New York: Modern Library, 1959
Chakov, Kelly, Nineteen Century Social Evolutionism, Departement of Anthropological College of Arts and Sciences The University of Alabama, 2001
Chauvel, Richard, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Island From Colonialism to Revolt, Leiden: KITLV Press, 1990
Cooley, F.L., Ambonese Adat, New Haven: Yale University – Southeast Asia Studies, 1962
……………., Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987
Coser, Lewis A., Master of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, second edition, New York-Chicago-San Francisco-Atlanta: Hartcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977
Eisenstadt, S.N. (eds.,) Readings in Social Evolution and Development, Oxford, London, New York: Pergamon Press, 1970
Greenberg, Joseph H., “Linguistics and Ethnology” dalam Dell Hymes (eds.,) Language in Culture and Society: A reader in Linguistics and Anthropology, New York, Evanston, and London: Harper & Row Publisher, 1964
Jansen, H.J., “Indigenous Classification System in the Ambonese Moluccas”, dalam De Jong, P.E. De Josselin, Structural Anthropology in the Netherlands, Netherland: Foris Publication Holland/U.S.A, 1983
King, Gail and Meghan Wright, Difusionism and Acculturation, Departement of Anthropology College of Arts and Sciences The University of Alabama – diakses dari http://www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/936/difusion.htm
Landis, Paul H., Introductory Sociology, New York: The Ronald Press Company, 1958
Leirissa, R.Z., et.al., Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Jakarta: Dep. Pendidikan & Kebudayaan – Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982/1983
Lurie, Nancy Oestreich, “Cultural Change”, dalam James A. Cliftton (eds.,), Introduction to Cultural Anthropology, New York – Atlanta: Houghton Miffin Company Boston, 1968
Morgan, Lewis A., Ancient Society in the Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization, Chicago: Charles H. Kerr, 1877
Nanda, Serena, Cultural Anthropology, California: Wadsworth Publ., 1991
Sachse, F.J.P., Seran en Sune Bewonwers, edisi terjemahan oleh T. Tuarissa, Direktorat Jenderal Kebudayaan-Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon, 1996/1997
Schurhammer, Georg, Francis Xavier: His Life, His Time, Vol. III, Indonesia and India 1545-1549, Translated by M. Joseph Castelloe, Itally: The Jesuit Historical Institute, 1980
Scott, W.R., Institution and Organizations, London & New Delhi: Sage Publ., 1995
Scott, W.R. & Soren Christensen (eds.,), The Institutional Construction of Organization: International and Longitudinal Studies, London & New Delhi: Sage Publ., 1995
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (Peny.,), Serba-serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
Wouden, F.A.E. Van, Klen, Mithos dan Kekuasaan, Jakarta: Grafiti Press, 1985




[1] F.J.P. Sachse, Seran en Sune Bewonwers, edisi terjemahan oleh T. Tuarissa, Direktorat Jenderal Kebudayaan-Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon, 1996/1997
[2] Baca. F. L. Cooley, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, atau Cooley, Ambonese Adat, New Haven: Yale University – Southeast Asia Studies, 1962
[3] Baca. Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Island From Colonialism to Revolt, Leiden: KITLV Press, 1990
[4] Baca H.J. Jansen, “Indigenous Classification System in the Ambonese Moluccas”, dalam De Jong, P.E. De Josselin, Structural Anthropology in the Netherlands, Netherland: Foris Publication Holland/U.S.A, 1983, 100-115
[5] Baca M.C. Boulan, Uru: The Son of Sunrise, terj. S.J.M. Sijauta, Belgium: Antrhoplogical Center, Universite Libre de Bruxelles, 1984, 1,7
[6] Baca Boulan, ibid., 1-3,7
[7] Asa dalam hal ini adalah refleksi ketunggalan mengenai empat elemen dasar dari alam semesta yaitu hawa (udara), api, air dan tanah. Keempat elemen itu ada dalam bumi, yaitu negeri sebagai tempat tinggal masyarakat. Pusat kosmos di negeri sebagai gambaran totalitas adalah baileu.
[8] Konsep itu berpangkal dari carapandang terhadap manusia sebagai totalitas fisik dan psikhis (dimensi antrophomorfis dalam worldview). Baca Boulan, ibid., 1-7. Mengenai sistem hukum, dapat dilihat pada aturan pembayaran denda adat di hampir setiap sub-suku di Maluku. Ada ketentuan pada sisi jumlah barang-barang atau uang yang harus dibayarkan sebagai bentuk sanksi adat, atau aturan hukum, termasuk dalam jumlah barang harta kawin, dll.
[9] Baca Jacob W. Ajawaila, “Orang Ambon dan Peranan Nenek Moyang (Leluhur), makalah diskusi, Ambon, 2000, 2-3
[10] Baca. S. Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1986, 25-26
[11] Bnd. Robert N. Bellah, et.al, The Good Society, New York: Vintage Books – A Division of Random House, Inc., 1992, 10-11; R.N. Bellah & Phillip E. Hammoud, Varieties of Civil Religion, San Francisco: Harper & Row Publ., 1980, viii; bnd. W.R. Scott, Institution and Organizations, London & New Delhi: Sage Publ., 1995, 33; W.R. Scott & Soren Christensen (eds.,), The Institutional Construction of Organization: International and Longitudinal Studies, London & New Delhi: Sage Publ., 1995, xiii
[12] Tentang Wemale dan Alune, lihat Dieter Bartels, In de Schaduw Van de Berg Nunusaku: Een cultuur-historische verhandeling over de bevolking van de Midden-Molukken, Utrecht: Landelijk Steunpunt Edukatie Molukkers, 1994, 35-37
[13] Baca F.A.E. Van Wouden, Klen, Mithos dan Kekuasaan, Jakarta: Grafiti Press, 1985, 143, 144
[14] Cooley, ibid., 1987, 222
[15] Bnd. R.N. Bellah, “Evolusi Agama” dalam Rolland Robertson (eds.,), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, 306 dyb
[16] Migrasi ini yang membidani terbentuknya Sejarah Pela/Gandong di Maluku (Tengah)
[17] Lht. Georg Schurhammer, Francis Xavier: His Life, His Time, Vol. III, Indonesia and India 1545-1549, Translated by M. Joseph Castelloe, Itally: The Jesuit Historical Institute, 1980, 81-2, 85-6
[18] Bnd. R.Z. Leirissa, et.al., Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Jakarta: Dep. Pendidikan & Kebudayaan – Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1982/1983, 11
[19] Baca Lewis A. Morgan, Ancient Society in the Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization, Chicago: Charles H. Kerr, 1877, 5,6; bnd. Kelly Chakov, Nineteen Century Social Evolutionism, Departement of Anthropological College of Arts and Sciences The University of Alabama, 2001; bnd. Serena Nanda, Cultural Anthropology, California: Wadsworth Publ., 1991, 34
[20] Spencer dalam Robert Briedstedt, The Making of Society, New York: Modern Library, 1959, 253-257
[21] Bellah, “Evolusi Agama”, dalam Roland Robertson (eds.,) ibid., 304
[22] Bnd. Nancy Oestreich Lurie, “Cultural Change”, dalam James A. Cliftton (eds.,), Introduction to Cultural Anthropology, New York – Atlanta: Houghton Miffin Company Boston, 1968, 276
[23] Baca S.N. Eisenstadt (eds.,) Readings in Social Evolution and Development, Oxford, London, New York: Pergamon Press, 1970, 153-210
[24] Bnd. Paul H. Landis, Introductory Sociology, New York: The Ronald Press Company, 1958, 16-18
[25] Ibid., 19
[26] Bnd. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (Peny.,), Serba-serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, vii, 3, dyb.
[27] Joseph H. Greenberg, “Linguistics and Ethnology” dalam Dell Hymes (eds.,) Language in Culture and Society: A reader in Linguistics and Anthropology, New York, Evanston, and London: Harper & Row Publisher, 1964, 27
[28] Baca Lewis A. Coser, Master of Sociological Thought: Ideas in Historical and Social Context, second edition, New York-Chicago-San Francisco-Atlanta: Hartcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, 131; juga Robert N. Bellah (eds.,) Emile Durkheim on Morality and Society, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1973, 63-65
[29] Mischa Titiev and Robert H. Winthrop seperti dikutip Gail King and Meghan Wright, Difusionism and Acculturation, Departement of Anthropology College of Arts and Sciences The University of Alabama – diakses dari http://www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/936/difusion.htm
[30] Paul H. Landis, ibid., 65, 67, 70

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara