MASA DEPAN: SEJARAH DAN TETEORI SOSIAL

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Suatu Debat Panjang
Tulisan ini berangkat dari tesis, bahwa ketika suatu ilmu berdiri secara independen, dan terus berangkat dalam proses membentuk, ia berada dalam terpaan konteks, sebagai lokus pengujiannya. Persoalannya bukan ia diterima atau tidak oleh kalangan yang luas, tetapi relevansi makna ilmu bagi dan di dalam konteksnya. Ilmu-ilmu manusiawi [geisteswissenschaften] yang memiliki obyek pada manusia sebagai makhluk yang berkesadaran, bermaksud, dan bertanggung jawab,[1] akan dihadapkan pada hal dimaksud.
Sifat kesosialannya, sistematis, koheren, komprehensif, membuat disiplin ini ada dalam kekaitan yang kuat dengan masyarakat [sebagai persona yang menjadi aktor, sekaligus obyek studinya] – aksi [yang juga sarat dengan kontradiksi, atau bahkan reaksi dan berbagai bentuk negasi] – serta konteks [tidak hanya ruang, tetapi waktu yang di dalamnya seluruh proses/sejarah itu berlangsung. Tetapi juga dengan perangkat metodologis yang komprehensif dan terukur plausibilitasnya.

Dari situ, sebuah pendekatan atau teori, selalu dihasilkan oleh teoritisi, bukan semata karena lingkungan dan perkembangan sosial yang dihadapinya, tetapi juga karena minat dan sikap dasar yang dimiliki oleh teoritisi. Para teoritisi mengembangkan perspektifnya dan cenderung berpegang pada teorinya. Minatnya menjadi karakter [habitus] yang mencirikan kepribadiannya.[2]

Paparan lugas Peter Burke membantu peneropongan sejarah [abad ke-18 – 20] ketika teori sosial dan [ilmu] sejarah mulai membentuk dan menjadi “tetangga yang dekat”. Para teotitisi membangun sikap-sikap kontradiktif satu terhadap yang lain, bahkan pada suatu masa ketika kemudian “teori dan sejarah sosial” mengalami kemunduran [decline]. Comte, kemudian para ekonom sekelas Marx, Adam Smith, dan para pendiri sosiologi modern seperti Durkheim, Max Weber, yang kemudian membangkitkan teteori sosial,[3] sampai tiba pada sosiologi kritis.
“Penyelesaian sengketa” antara teteori sosial dengan sejarah terjadi ketika berkembang konsep “evolusi” dalam “sosiologi” oleh kalangan teori kosmis seperti Comte dan Spencer.[4] Gerhard Hauck menjelaskan kekaitan konsep evolusi Comte dan Spencer dengan pendekatan sejarah melalui perkembangan masyarakat sebagai suatu gesselschaft. Ia malah menyebut teori evolusi [evolutionstheorie] sebagai menschheitsgeschichte.[5] Comte beranjak dari konsepnya mengenai wissenschaft, ordnung, forschritt. Oleh Hauck, tipologi Comte itu kemudian berkembang dalam dua jalur. Pertama theologisches stadium, sebagai abstraksi terhadap sifat naturalitas manusia, dan metaphysiches stadium sebagai abstraksi [sejarah] kemanusiaan [wesenheieten]. Sedangkan Spencer, karena lebih banyak menggunakan pendekatan ilmu-ilmu alam [naturwissenschaften] dalam sosiologinya, berkembang dalam jalur yang agar berbeda dari Comte. Ia melihat pada fungsi manusia di dalam lingkungannya.[6] Di sini menjadi jelas bahwa sejak zaman Comte dan Spencer, teteori sosial tidak dapat dilepas kaitannya begitu saja dengan sejarah. Ia adalah sebuah wissenschaftlichen rationalität,[7] yang juga reflektif sifatnya.
Pada bidang yang lain, terutama teteori politik, terjadi penggunaan pendekatan sejarah yang ketat ke dalam karya-karya sosial seperti oleh Shmuel N. Eisenstadt [The Political Systems of Empires – 1963], atau Seymor M. Lipset [The First Nation – 1963], Charles Tilly [The Vendee – 1964], Barrington Moore [Social Origins of Dictatoriship and Democrary – 1966], Eric Wolf [Peasant Wars – 1969], dan bahkan ke dalam antropologi seperti muncul dalam karya-karya mutakhir Clifford Geertz dan Marshal Sahlins. Para sejarawan, seperti Ranke dan Francis Bacon, juga mulai meninggalkan sejarah sosial dan membentuk sejarah politik, melihat pentingnya pencarian sumber utama data dan pemrosesannya ke dalam klausa-klausa yang dapat menjelaskan setiap pergeseran atau perbedaan di dalam masyarakat.[8]

Silang sikap itu diperlihatkan Burke sebagai yang mencirikan adanya perbedaan tipologi antara teteori sosial dan sejarah pada masa-masa tertentu. Burke mengkiritik sejarawan dan sosiologiwan karena silang sikap tadi. Baginya, kedua ilmu [atau pendekatan] ini sama-sama mengambil masyarakat sebagai obyeknya. Ia menyebut kedua pendekatan ini sebagai “tetangga dekat yang tak selalu akur”.[9]

Silang sikap itu terjadi karena berkembangnya paham parokialisme [pengkotak-kotakan] di antara sejarawan dan teoritisi sosial. Di sini menjadi jelas, terutama di Inggris, mengapa sosiologiwan mengkritik sejarawan sebagai fact-collector.

Mereka dinilai terjebak di dalam pengkhususan kawasan-kawasan tertentu yang cenderung merupakan perampatan dari waktu [time] ketimbang tempat [social setting]. Sebaliknya sejarawan menimpali sosiologiwan sebagai yang suka menggunakan istilah “selingkungan” [jargon] yang kasar dan abstrak, lalu membungkusnya dengan istilah “ilmiah”. Beberapa sejarawan lain menolak sosiologi karena dipandang terlalu ilmiah, dalam arti abstrak.[10]

Dari sisi sejarah teori, dapat ditarik kesimpulan bahwa, silang sikap tadi terjadi karena masing-masing kelompok, dengan teorinya, berusaha membangun suatu hegemoni intelektual. Pada suatu masa, ketika suatu aliran teori, karena alasan tertentu teralienasi oleh kevakuman dan/atau tirani kekuasaan, aliran teori lain muncul dan mendominasi cara berpikir zaman. Ini menjadi matra yang kemudian dapat dilihat melalui berkembangnya berbagai cabangan teori baru ke dalam khazanah keilmuan dan kemasyarakatan. Misalnya, melalui munculnya berbagai term post/pasca sebagai perkembangan mutakhir dari suatu teori konvensional.[11]

2. “Tetangga yang tidak akur”
Pertanyaan Burke “apa gunanya teori sosial bagi sejarawan, dan sebaliknya apa gunanya sejarah bagi teoritisi sosial?”, telah menjadi postulat dasar yang mensugestikan bukan hanya jawaban “karena begini dan bukan begitu”, tetapi perlunya sebuah penjajakan ke dasar-dasar plausibilitas kedua pendekatan ini.

Dalam waktu yang cukup panjang rupanya kedua tetangga ini tidak akur dalam mengembangkan profesi dan minat mereka. Terlihat bukan saja sikap kontradiktif dalam penggunaan suatu pendekatan, tetapi juga tantangan-tantangan metodologis yang suatu ketika membuat pendekatan itu mengalami kemunduran dan diskontinyutas.

Kemunduran teori dalam sejarah keilmuan lebih banyak disebabkan oleh menurunnya militansi intelektual teoritisi dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang berkembang semakin cepat. Ini bukan suatu gejala kelambanan, melainkan memudarnya parameter epistemologis untuk menjelaskan fenomena yang berubah cepat. Bryan S. Turner menyebutnya sebagai akibat dari kecenderungan formalisasi proposisi-proposisi umum ke suatu bentuk operasionalisasi dari penelitian empiris.[12] Gejala itu pula yang disitir Jonathan Turner bahwa dalam kondisi seperti itu diperlukan suatu program yang besar dari pembentukan teori.[13]
Peter Burke menampilkan sketsa historis yang cukup representatif untuk menggambarkan interelasi teteori sosial dan sejarah. Beberapa karya klasik misalnya dari Montesquieu [Spirits of the Law-1748] telah turut berpengaruh terhadap Möser [History of Osnabrück], sebuah sejarah lokal yang didasarkan pada dokumen asli, sekaligus contoh klasik tentang sumbangan teori sosial kepada telaahan sejarah.[14] Demikian juga karya Gibbon [Decline and fall of the Roman Empire – 1776-88], yang lalu membentuk basis-basis epistemologis sejarah politik; sebuah karya yang seabad kemudian menjadi dasar dalam pertimbangan analisis Leopold Von Ranke, sejarawan akhir abad ke-19. Ia mengintroduksi penggunaan dokumen-dokumen resmi sebagai sumber sejarah, dan membangun kembali sejarah politik yang dalam segi tertentu telah pula meninggalkan sejarah sosial.[15]

Kritik balik dari para sosiologiwan terhadap sejarawan telah menambah ketegangan ini. Comte dan Spencer, seperti dipaparkan Burke, secara sinis memandang karya sejarawan sebagai “detail yang tak perlu yang dikumpulkan secara kekanak-kanakan”.[16] Ini adalah sebuah kritik metodologis. Agaknya minat sejarawan terhadap ilmunya telah membawa mereka secara simplisistis melihat teknik pengumpulan data dari sumber-sumber masa lampau, dan umumnya cerita dan dokumen-dokumen resmi [aliran Ranke], tidak terlalu membutuhkan metodologi dan riset yang berbelit-belit seperti sosiologiwan. Kesan ini juga disadari oleh Sartono Kartodirdjo sebagai semacam wabah yang cukup lama mendominasi pola kerja sejarawan.[17]

Kritik tadi membuat banyak teoritisi sosial secara ketat melakukan penelitian langsung, dan mulai meninggalkan masa lalu [sejarah]. Ini merupakan sebuah perkembangan menarik di dalam teteori sosial, sebuah gerakan metodologis yang konsern pada pergeseran-pergeseran di dalam masyarakat, dan penjajakan langsung ke dalam klausa-klausa yang menyebabkan terjadinya pergeseran tadi. Dapat dicatat perjalanan riset para teoritisi sosial ke berbagai belahan dunia. Untuk masa yang cukup lama mereka tinggal di daerah-daerah terpencil, dan melakukan studi kemasyarakatan yang cukup komprehensif. Dokumen-dokumen sejarah, seperti catatan misionaris, mulai kurang mendapat perhatian penuh para teoritisi sosial. Sebaliknya informasi dan hasil amatan [observasi] langsung di dalam lingkungan suatu masyarakatlah yang diandalkan sebagai data yang akurat dan aktual.[18]

Dari situ dapat dimengerti bahwa teoritisi sosial dan sejarawan berkutat dengan sumber-sumber yang mereka andalkan sebagai pemberi data yang menyajikan, menggambarkan obyek studi mereka, yakni masyarakat itu sendiri. Hanya saja, tampak pula distingsi metodologis.
Gerald J.Schnepp, dalam Mihanovich, dan juga Burke, melihat bahwa silang sikap di antara teoritisi sosial dan sejarawan terjadi di dalam area-area yang tidak terpecahkan [unresolved area]. Mengikuti Schnepp, area-area yang tidak terpecahkan itu meliputi terminologi, klarifikasi makna “teori sosiologi”, hubungan antara teori dengan penelitian.[19] Burke membahasakan unresolved area itu dalam apa yang ia sebut Model dan Metode serta Konsep-konsep Pokok.[20]

Burke menjelaskan bahwa perbedaan metodologis di antara teoritisi sosial dan sejarawan pertama-tama terletak pada perbedaan pandangan mengenai metode komparasi. Durkheim akan menjadi panutan dalam sosiologi komparatif. Kalangan teoritisi sosial tidak hanya mendiskripsikan masyarakat sebagaimana fakta adanya itu, melainkan selalu menganalisa penyebab-penyebab dasar yang membentuk suatu fakta sosial. Masyarakat tidak statis, sebaliknya dinamis. Dinamika tadi berbeda pada suatu lingkungan dengan lingkungan lainnya, dan juga antara suatu masa dengan masa lainnya. Tugas sosiologi komparatif adalah menganalisa mengapa perbedaan-perbedaan itu terjadi di dalam proses pemasyarakatan itu.
Dengan dasar itu, mereka memandang sejarawan telah gagal karena hanya memperhatikan hal-hal unik yang tidak berulang. Sebuah penyusunan kronik yang lalu melabelkan sejarah itu sebagai sejarah nonnaratif. Burke memberi contoh kritikan Weber terhadap Georg Von Below, mengenai sejarah kota, dengan menegaskan penting mengetahui kondisi kota-kota lainnya, seperti kota-kota kuno di Cina, sebagai bagian perspektif untuk merekonstruksi kondisi suatu kota di abad Pertengahan.[21] Komparasi itu yang menegakan pentingnya sejarah sosial. Tetapi juga perlunya pendekatan diakronik, untuk melengkapi pendekatan kronis di dalam penelitian sejarah.

Selanjutnya sejarawan menjadikan pendekatan kuantitatif sebagai satu-satunya cara praktis dalam memperoleh dan mengumpulkan data. Tetapi justru memiliki kelemahan dalam menggunakan pendekatan itu sendiri. Sebab statistik yang berhasil dikumpulkan diolah sesuai dengan kuantum-kuantum yang tampak melalui angka dan kecenderungan prosentase. Kritik teoritisi sosial terhadap kecenderungan ini bahwa mereka tidak pernah menganalisa perbedaan-perbedaan formasi dalam angka-angka itu. Pada sisi tertentu, Gilberto Freyre dan Paul Thompson justru menggunakan metode quota sampel untuk menentukan kelompok yang representatif sesuai dengan kategorisasi data yang telah mereka rancang. Bagi kalangan teoritisi sosial, sejarawan hanya memperhatikan angka-angka itu sebagai yang menggambarkan suatu keadaan di suatu masa tertentu. Suatu kecenderungan melihat hal-hal yang unik, tanpa menyadari bahwa justru ada perubahan-perubahan yang besar di antara angka-angka itu sendiri. Apa yang kemudian disebut sebagai “mementingkan data keras” yang bisa diukur tanpa “melihat pada data lunak” yang tidak bisa diukur. Kritik terhadap kecenderungan ini juga datang dari sosiologiwan agama, terutama bagaimana menentukan indeks pengukur intensitas atau kekolotan keyakinan agama.[22]

Schnepp, dalam Mihanovich, membentangkan sebuah signifikansi penelitian dan hubungannya dengan teori. Baginya ketika teoritisi sosial memilih melakukan penelitian, hal itu dibentuk oleh pemahaman mengenai pentingnya studi empiris. Vincent dan Kimball Young sama-sama sepakat bahwa, bagi sosiologiwan teori itu penting bagi suatu penelitian yang adequat, dan hasil penelitian kemudian dikelola oleh para perancang sistematis sebagai suatu hasil empiris ke dalam kerangka teori yang besar. Oleh sebab itu menurut Schnepp ada enam hal penting untuk memahami bagaimana sebuah temuan empiris itu membentuk teori, yakni [1] melalui perampatan teori baru; [2] melalui klarifikasi konsep [3] melalui kekuatan menolak beberapa aspek di dalam teori; [4] memprakirakan atau merancang reorganisasi teori baru; [5] menghilangkan bintik kebutaan teoritisi; [6] memasukkan teori baru.[23]

Aspek lainnya adalah perhatian terhadap model-model sosial di dalam masyarakat. Sejarawan dan teoritisi sosial sama-sama menstudikan suatu masa tertentu. Misalnya masa ketika sistem merkantilisme mendominasi sistem perekonomian. Sejarawan tidak suka memperhatikan merkantilisme sebagai sebuah model sosial, sebaliknya memandangnya sebagai suatu peristiwa [event] di dalam sejarah yang telah menunjukkan gejala-gejala unik tertentu. Bagi teoritisi sosial, merkantilisme merupakan model sosial yang jelas-jelas menunjuk pada perbedaan yang mendasar dengan model lama yang pernah ada. Demikian pun kapitalisme, dan/atau revolusi. Semua itu terjadi di dalam sejarah [bnd. sosiologi proses-Norbert Elias], dan bukan hanya merupakan peristiwa [event], melainkan menampilkan berlangsungnya suatu model sosial [proses].

Dalam kategori lainnya, Schnepp, dalam Mihanovich, dan juga Burke sepakat bahwa silang sikap di antara kedua kelompok ini karena aspek-aspek terminologis atau konsep-konsep pokok. Para sejarawan tidak terlalu menaruh minat pada terminologi sosial, sebaliknya menuduh teoritisi sosial sebagai pihak yang terlalu gampang terjebak di dalam “selingkungan” [jargon]. Mereka menggunakan istilah-istilah yang abstrak, tetapi malah membingkainya di dalam apa yang disebut “ilmiah”.

Silang sikap antara mereka telah berlangsung dalam kurun waktu akhir ke-19 awal abad ke-20. Ritzer[24] menjelaskan bahwa hal-hal itu terjadi di dalam berbagai gelombang perubahan masyarakat. Sejak abad ke-18, teteori sosial telah bertumbuh dan kemudian melembaga ke dalam cabangan-cabangan ilmu yang independen. Di abad ke-19, independensi setiap cabang ilmu semakin menohok terbentuknya ilmu [science]. Terjadi kontinyutas muilmu pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20, terutama berkembangnya berbagai cabangan baru dalam kerangka post/pasca.

3. Masa Depan Sejarah dan Teori Sosial
Di abad ke-20 telah terjadi perkembangan baru dalam teteori sosial dan sejarah. Perkembangan itu ditandai oleh mencairnya hubungan antara sejarawan dan sosiologiwan, melalui bangkitnya kesadaran akan hubungan interdependensi antara satu disiplin dengan disiplin lainnya. Minat pada ilmu-ilmu sosial membuat studi sejarah semakin menarik perhatian. Terutama ketika mulai bangkit kesadaran pada pentingnya sejarah naratif, yang juga di dalamnya menyangkut bagaimana memanfaatkan tradisi oral, meliputi mitos masyarakat sebagai sumber-sumber sejarah [lokal]. Sebuah proses transgresi di dalam studi sejarah, ketika pendekatan diakronik telah melengkapi pendekatan kronik. Bahwa pada saat itulah, sejarah sebagai sebuah proses telah menyertakan di dalamnya perubahan-perubahan sosial masyarakat.

Akibatnya, apa yang disebut peristiwa [event] dalam studi sejarah sudah tidak memadai lagi jika hanya direkam sebagaimana adanya. Ada batasan-batasan tertentu dalam pendekatan sejarah murni, ketika kemudian tiba pada pertanyaan-pertanyaan analitik mengenai penyebab-penyebab terjadinya sebuah event. Kalangan sejarawan mulai menyadari bahwa di sinilah perlu ada disiplin yang lain, yang lebih konkruen untuk menjelaskan fenomena di seputar event itu. Pada saat itulah pendekatan ilmu sosial signifikan sebagai solusi yang memecahkan “kekaburan analisis sejarah”.[25]

a. Masyarakat Dinamis
Argumentasi yang cukup sederhana untuk mengatakan bahwa masa depan teteori sosial dan sejarah tetap signifikan adalah bahwa masyarakat adalah sebuah fakta yang dinamis. Dinamika masyarakat pada setiap masa telah melahirkan atau dijelaskan melalui teteori substantif/formal yang terus berubah atau teruji di dalam proses yang panjang. Di samping itu, dinamika masyarakat telah menjadi sumber informasi sejarah yang digarap secara akademis maupun yang hidup di dalam memori-memori masyarakat itu sendiri.[26]

Perkembangan di dalam masyarakat telah melahirkan teteori sosial dan merevisi pendekatan sejarah terhadap masyarakat itu sendiri. Sejarah dan teteori sosial dihasilkan melalui perjumpaan dengan fakta sosial di dalam masyarakat. Ia bertugas menjelaskan dan menganalisis fenomena-fenomena yang tampak sebagai materialisasi suatu fakta sosial [social fact – Durkheim]. Di dalam perjumpaan tadi, teoritisi [aktor pelaku] berhadapan dengan pra-konstruksi, sebagai sudut pandang masyarakat [aktor pelaku]. Pra-konstruksi tadi kemudian dihimpun dan direfleksikan. Melalui refleksi, terjadi reduksi yang menyertakan kritik dan penataan secara sistematis dan panggah, menuju pada rekonstruksi baru.

Hasil rekonstruksi dalam sebuah teteori adalah sebuah fakta sosial yang telah lepas dari kemengadaan mula-mula. Keterlepasan itu adalah sebuah gejala metateori. Artinya, fenomena-fenomena yang tampak secara material dalam perilaku aktor pelaku [masyarakat] telah diolah dengan penerapan metodologi yang adequat untuk mengungkapkan mentifact-mentifact dari masyarakat. Teoritisi dalam hal itu bertugas mendefenisikan situasi untuk menggambarkan struktur nomenos, walau sebenarnya nomenos [das ding an sich – Kant] itu tidak dapat ditemukan, melainkan hanya fenomenanya saja.

Dapat dicatat beberapa karya sejarah sebagai sebuah tindakan refleksif atas perkembangan dan perubahan masyarakat. Atau sebaliknya karya-karya sosial yang juga menggunakan pendekatan heurestik atau historiografi sebagai perspektif dalam membangun analisis terhadap dinamika dalam masyarakat itu.

Ritzer mencontohkan munculnya sosialisme, adalah bagian dari perkembangan sosiologi pada masa awal, di kala Marx, tetapi juga Weber dan Durkheim melakukan pengetatan-pengetatan terhadap dinamika masyarakat yang mereka hadapi di tempat dan dalam zamannya. Demikian pula munculnya feminisme adalah reaksi atas pensubordinasi perempuan di berbagai tempat. Kalangan feminis melancarkan sikap protes dan melakukan berbagai diskursus akademis tentang fenomena diferensiasi, diskriminasi, dan subordinasi itu sendiri. Feminisme kemudian menjadi sebuah aliran di dalam sosiologi yang semakin hari semakin berkembang.[27]

Demikian pula pertumbuhan poststrukturalisme, postmodernisme, merupakan reaksi akademis dan empiris terhadap perubahan fakta sosial itu sendiri. Bahwa dalam perkembangan kontemporer, teori lama sudah tidak bisa bertahan begitu saja dalam menjelaskan fenomena mutakhir. Oleh sebab itu, gerakan postmo adalah suatu tindakan melampaui limitasi-limitasi teori dan fakta sosial tadi.

Fenomena itu dapat pula dilihat di Indonesia. Keberadaan kelompok minoritas, dari segi agama, merupakan bias fakta sosial dalam sebuah negara demokratis. Artinya demokrasi sudah tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan bersuara kaum minoritas, karena kelompok mayoritas terus memperkuat posisi untuk menjadi semakin dominan, termasuk dalam menentukan berbagai kebijakan publik. Bahwa tanpa disadari pula, karena selama ini kita dikooptasi oleh “politik uniformitas”, di mana kekuasan telah memaksa berlakunya suatu sistem tunggal mayoritas. Sebagai bagian dari propagandanya, diterapkan sistem tafsir tunggal atas sejarah, terutama selama 32 tahun kekuasaan Regim Orde Baru.

Itu berarti, teoritisi dan sejarawan akan selalu tertantang untuk terus menjelaskan kemenjadian fakta sosial itu sendiri. Dinamika dalam masyarakat mampu memaparkan secara transparan bahwa teteori sosial dan sejarah dituntut untuk melakukan refleksi cepat. Sebuah kegiatan refleksi yang juga harus melahirkan kritik terhadap sistem dan pola-pola bermasyarakat. Kemenjadian masyarakat harus pula dikontrol oleh teteori sosial dan sejarah, dan sebaliknya kedua disiplin ini pun harus pula terbuka untuk membaca fenomena perubahan yang terjadi. Interdependensi fakta sosial dan ilmu menjadi tema utama dalam mempelajari dan terus mengembangkan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan sejarah di dalam masyarakat.

b. Sosiologi Sejarah
Referensi bersama kita untuk memecahkan silang sikap teoritisi sosial dan sejarawan sebetulnya adalah diskrepansi [mengandung aspek kebijaksanan, konsep, keilmuan] muilmu itu sendiri.
Itu berarti kita memerlukan suatu sosiologi sejarah sebagai sebuah posibilitas yang dapat memecahkan masalah silang sikap tadi. Gerald J.Schnepp, dalam Mihanovich, mengingatkan kita pada kelemahan dari sosiologi sejarah itu sendiri ketika hanya memusatkan perhatian pada sifat unsur dasarnya saja. Bahwa seorang sosiolog sejarah dituntut kemahiran bukan hanya untuk menata, mendata dan membandingkan sebuah segmen empirik dari sejarah, tetapi bersamaan dengan itu mampu melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi teoritik dan verifikasi yang ketat.[28]

Di Indonesia usaha ke arah itu dipelopori oleh Sartono Kartodirjo, dan juga Kuntowijoyo, mengenai pentingnya pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Ada suatu kesadaran baru akan pentingnya suatu sejarah interdisipliner, yang oleh Kuntowijoyo sebagai suatu diskripsi dan analisis sejarah yang terbuka bagi sumbangan muilmu lain seperti geografi, linguistik, antropologi, dll.[29]

Usaha memelopori kebangkitan studi sejarah sosial sebagai suatu sejarah modern di Indonesia dimulai pada 1957, melalui Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 1970, problematika sejarah Indonesia agaknya terletak pada sudut pandang yang selama ini mendominasi cara berpikir dan bekerjanya para sejarawan akademis. Sudut pandang yang Neerlandocentrisme. Sudut pandang ini melihat sejarah masyarakat di Indonesia sebagai bentukan dan hasil pertemuan atau pengaruh “orang-orang luar”. Itu berarti sejarah dimaksud lebih banyak didominasi oleh sejarah politik, terutama invasi dan kolonisasi. Kesadaran lokal atau “pribumisasi” muncul dengan introduksi pendekatan Indonesiacentrisme, yang melihat pada pentingnya partisipasi orang-orang Indonesia sendiri di dalam sejarahnya. Suatu pendekatan yang mampu menyuarakan kebungkaman-kebungkaman akibat pemasungan politik kolonial.[30] Suatu pendekatan yang akhirnya melahirkan sebuah sejarah kritis.

Yang penting dari sudut pandang itu adalah sebuah kesadaran metodologis, bukan hanya untuk melihat dinamika masyarakat Indonesia sebagai aktor pelaku di dalam sejarahnya, tetapi juga membangkitkan cakrawala karya sejarah sosial meliputi seluruh daerah di Indonesia [tidak hanya Jawacentrisme].

Pada sisi yang lain, sosiologi sejarah harus mampu membuka “gudang-gudang” sumber data yang selama ini tertutup rapat. Salah satunya adalah mitos, atau tradisi oral sebagai bagian dari pencitraan lokal masyarakat. Semua sumber sejarah sosial harus diperlakukan sebagai item-item yang mendukung penggambaran detail masyarakat, termasuk dimensi mentifact, atau ideologi, simbol, cara berpikiri, perilaku, pandangan dunia [worldview/weltanschaung], bahasa, agama, politik, ekonomi, dll.

Kepustakaan

Bremen, Jan, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta: Grafiti, 1997

Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, [terj.Mestika Zed dan Zulfahmi], Jakarta: Yayasan Obor, 2003

Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius, 1994

Hauck, Gerhard, Geschichte de Sosiologischen Theorie: Eine ideologiekritische Einführung, Hamburg: Rowohlts ensyklopädie, 1984

Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2003

Loombada, Ania, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta: Bentang, 2000

Ritzer, Georg, Sociology Theory, Fourth Edition, New York: The McHraw-Hill Comp., Inc., 1996

Ritzer, Georg dan Doublas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam [terj.Alimandan], Jakarta: Prenadia Media, 2004

Schnepp, Gerald J., “The Future of Sociological Theory”, dalam Clement.S. Mihanovich, Social Theorists, Milwaukee: The Bruce Publ.Co., 1953

Turner, Bryan S [eds.]., “Introduction”, dalam The Blackwell Companion to Social Theory, edited by. Bryan S. Turner, Oxford UK & Cambridge USA, Blackwell, 1996

Turner, Jonathan H., The Structure of Social Theory, six edition, Belmont: Wadsworth Publ.Co., 1998

Vansina, Jan, Oral Tradition As History, London: The University of Wisconsin Press, 1985

Veeger, K.J., Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam cakrawala Sejarah Sosiologi, [cet. Ke-3] Jakarta: Gramedia, 1993
[1] Aspek ini menjadi tipologi Veeger untuk menunjukkan orientasi sosiologi pada masing-masing aliran [Verstehende Soziologie, Sosiologi Positivistis, Fungsionalisme, Sosiologi Konflik, Sosiologi Kritis [mazhab Frankfurt]], berbeda dengan pendekatan ilmu lainnya, termasuk ilmu Sejarah. Lht. K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam cakrawala Sejarah Sosiologi, [cet. Ke-3] Jakarta: Gramedia, 1993, h.1-2
[2] Setiap teoritisi berada di dalam suatu aliran [mainstream/mazhab] dan membangun sikap tertentu terhadap mazhab itu dan/atau terhadap mazhab yang lain. Beberapa karya sosiologi, seperti Tom Campbel, Tujuh Teori Sosial, memetakan para teoritisi sesuai dengan teori mereka. Tetapi juga karya George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, melengkapi penempatan para teoritisi sesuai dengan lingkungan sosial teori, waktu, serta minatnya. Hal yang sama dapat dilihat dalam karya editing Heine Andersen dan Lars Bo Kaspersen, Classical and Modern Social Theory. Ritzer dalam karyanya yang lain, Sociology Theory, menyajikan suatu perkembangan kontemporer dalam sosiologi. Demikian pun dalam karya editing Cl.S. Mihanovich, Social Theorists¸ juga Bryan S. Turner, The Blackwell Companion to Social Theory, dan Jonathan H. Tuner, The Structure of Sociological Theory.
[3] Yang dimaksud dengan teteori sosial di sini bukan hanya sosiologi, tetapi teteori dalam khazanah keilmuan kemanusiaan [geistesweissenschaften], jadi mencakup pula teori politik, ekonomi, agama/teologi, dll. Singkatnya teteori yang menjabarkan aspek-aspek pemasyarakatan [vergeschellschaftung] atau fenomena kemenjadian dan integrasi masyarakat di dalam apa yang dimaksudkan Schütz dengan dimensi “kekitaan”.
[4] Gerald J.Schnepp, “The Future of Sociological Theory”, dalam Clement.S. Mihanovich, Social Theorists, Milwaukee: The Bruce Publ.Co., 1953, h.369
[5] Gerhard Hauck, Geschichte de Sosiologischen Theorie: Eine ideologiekritische Einführung, Hamburg: Rowohlts ensyklopädie, 1984, h.16
[6] lht. ibid, h. 26-39
[7] ibid, h. 13
[8] Lht. Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, [terj.Mestika Zed dan Zulfahmi], Jakarta: Yayasan Obor, 2003, h.2-16, 25-27
[9] Ibid, h.2
[10] Ibid, h.4,10
[11] Beberapa term itu misalnya poststrukturalis, sebagai suatu penyeberangan dari pendekatan sosiologi strukturalis; atau juga term postmodernisme, dll. Ada suatu perjalanan melintas dan menembusi suatu sistem [teori] tertentu dengan maksud menerobos kemandegan-kemandegan yang ada dalam sistem [teori] konvensional. Perjalanan lintas batas itu kemudian menjadi suatu corak baru dalam teori-teori mutakhir belakangan ini.
[12] Bryan S. Turner, “Introduction”, dalam The Blackwell Companion to Social Theory, edited by. Bryan S. Turner, Oxford UK & Cambridge USA, Blackwell, 1996, h.6
[13] Jonathan S. Turner, The Structure of Sociological Theory, six edition, Belmont: Wadsworth Publ.Co., 1998, h.352
[14] Peter Burke, op.cit, h.7
[15] Peter Burke, op.cit, h.8,10
[16] ibid, h.13
[17] lht. Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1992, h.1-6
[18] Cara ini semakin memantapkan pendekatan komparatif dalam studi ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang kemudian pula melahirkan pendekatan “cross culture analysis”.
[19] Gerald J.Schnepp, “The Future of Sociological Theory, dalam Mihanovich, op.cit, h.371-372
[20] Peter Burke, op.cit, h.31-154
[21] ibid, h.32
[22] Peter Burke. op.cit, h.53,54
[23] Gerald J.Schnepp, “The Future of Sociological Theory, dalam Mihanovich, op.cit, h. 377-379
[24] lht. Georg Ritzer dan Doublas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam [terj.Alimandan], Jakarta: Prenadia Media, 2004, h.1-15
[25] Ini yang hendak ditekankan Sartono Kartodirdjo ketika melihat bahwa sejarah tidak cukup harus menceritakan sebuah event melainkan harus dapat menerangkan event itu. Sartono Kartodirdjo, op.cit, h.2. Masuk dan dimanfaatkannya pendekatan ilmu sosial dalam penelitian dan studi sejarah, oleh Kuntowijoyo, merupakan sebuah usaha menjembatani kelemahan-kelemahan metodologis dalam studi dan analisis sejarah. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, h.5
[26] Pada masa belum ada tradisi tulis, teori dan rekonstruksi sejarah dilakukan melalui “oral tradition”. Sebuah fakta paradoksal dalam teteori kemudian bahwa, “tradisi oral” itu pernah diragukan sebagai yang ilmiah, tetapi kemudian malah dipandang sebagai yang mengandung paparan lugas mengenai sebuah peristiwa dan model sosial pada suatu masa tertentu, dan penting dalam sosiologi komparatif dan sosiologi sejarah. baca Jan Vansina, Oral Tradition As History, London: The University of Wisconsin Press, 1985; Kuntowijoyo, op.cit, h.25
[27] Ritzer, op.cit, h. 9
[28] Gerald J.Schnepp, “The Future of Sociological Theory, dalam Mihanovich, op.cit, h. 413
[29] Kuntowijoyo, op.cit, h.9
[30] Jan Breman, salah seorang Indonesianis, telah memaparkan secara detail keterdesakan para kuli/budak di perkebunan karet dan lada di Jawa dan Aceh. Tulisannya ini merupakan sebuah sejarah kritis, sekaligus menjatuhkan plausibilitas metodologi sejarah kolonialisme yang selama ini merupakan sejarah “kelompok atas”. Baca. Jan Bremen, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta: Grafiti, 1997; bnd. juga Ania Loombada, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta: Bentang, 2000

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara