KONFLIK DAN PLURALITAS

KONFLIK DAN PLURALITAS SEBAGAI KONTEKS TEOLOGI PASTORAL DI MALUKU

OLEH. Elifas Tomix Maspaitella

0. Latar Belakang
Perubahan-perubahan cepat dalam masyarakat di Indonesia sarat masalah. “Multi-dimensional”, demikian istilah yang selalu menunjuk kejamakan dan kerumitan masalah sosial di negeri ini. Di situ terkadang diperlukan bukan saja satu pendekatan dalam mendiagnosa suatu masalah, sebab, satu langkah terapi sosial terhadap satu masalah sosial, selalu kurang memadai menyelesaikan masalah itu sendiri.

Agama-agama di Indonesia telah lama mengembangkan dialog antar iman sebagai suatu mekanisme penanganan pluralitas masyarakat. Bahkan teologia religionum telah menjadi paradigma teologi yang menempatkan agama-agama sebagai bagian yang sama di dalam masyarakat, bangsa dan negara. Semua agama memiliki hakekat masa depan yang sama, yaitu kesejahteraan, keadilan dan keamanan; atau kasih, keadilan, dan keutuhan ciptaan. Bahkan dalam iklim global, Ethic Global, telah menjadi semacam kaidah dasar kehidupan beragama di dunia. Setiap agama memiliki kedudukan yang setara dan bersama-sama berjuang untuk kemanusiaan.[1]

Di Maluku, format penanganan kehidupan plural, khusus hubungan antaragama telah lama dibangun dari dasar-dasar kebudayaan setempat. Bentuk kebudayaan Pela-Gandong [Maluku Tengah], Kidabela dan hukum larvul ngabal [Maluku Tenggara], merupakan local genus atau kearifan lokal yang ribuan tahun teruji sebagai kekuatan kontrol dan pranata sosial-budaya. Ia mampu mempertahankan harmonitas masyarakat, karena hubungan-hubungan genealogis yang kuat antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, termasuk yang berbeda agama.
Sebagai suatu sistem nilai, bentuk-bentuk kearifan lokal itu telah membentuk sensetivitas yang tinggi di kalangan masyarakat Maluku. Suasana hidup saling tolong-menolong dalam berbagai hal, merupakan implementasi dari nilai “basudara” [persaudaraan] yang muncul dari sistem sosial budaya tadi. Pada tataran ideal, sistem-sistem itu mengandung the good and virtue yang telah berkembang menjadi common good and value bagi orang Maluku.

Dari situ, sebetulnya di dalam sistem-sistem budaya masyarakat, terkandung suatu mekanisme pastoral, yakni integrasi dan hubungan interpersonal dalam masyarakat. Suatu mekanisme pastoral yang bertumpu pada hubungan antarindividu, melalui komunikasi-komunikasi sosial. Tokoh-tokoh masyarakat dan para pemangku kebudayaan telah berperan selama ribuan tahun dan pada setiap generasi sebagai konselor yang menterjemahkan relasi persaudaraan sebagai materi-materi pembinaan praktis untuk mempererat kehidupan antara komunitas yang berbeda-beda itu.

Mekanisme-mekanisme itu kemudian dihadapmukakan dengan perubahan gradual dan kontemporer dalam masyarakat. Berbagai kepentingan politik pada skala nasional, dan tarik-menarik di tingkat lokal [daerah] telah menjadikan suatu budaya dominan sebagai tiran atas budaya lokal. Dalam kaitan itu, pluralitas tidak lagi menjadi kekayaan kebudayaan, melainkan menjadi pendulum yang efektif untuk menggerakkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.

Maluku, dengan kenyataan plural itu lalu menjadi arena konflik yang semakin meningkatkan kurva dan piramida korban manusia. Ia juga menjadi peta sungsang akan kehidupan pluralitas agama karena setiap kelompok agama telah membentengi diri dengan eksklusifisme dan sikap-sikap yang radikal dalam beragama.

Masyarakat yang dinamis ini telah ada dalam situasi katastroph, di mana sesekali, karena alasan-alasan tertentu, dapat digiring masuk kembali ke wilayah konflik. Sudah barang tentu tesis itu menjadi relevan karena nilai-nilai moral agama telah tereliminasi oleh berbagai kepentingan, dan akan tetap diperjuangkan sebagai yang dominan atas nilai moral agama kelompok lainnya.

Selama kurun waktu konflik [1999] sampai dengan yang terjadi baru-baru ini [25 April 2004], angka korban manusia terus tinggi. Korban cacat fisik pun terus bertambah, dan yang paling mendasar adalah hilangnya rasa saling percaya [trust] antara satu kelompok agama terhadap lainnya.

Pembinaan moral pada setiap agama akan cenderung merupakan bagian dari usaha mempertahankan status quo, yakni suatu wajah hubungan antaragama yang kaku, karena semangat triumphalistik yang terus menguat. Tantangan ini mesti dapat dijembatani dengan membangun lagi komunikasi antaragama yang bebas dari fanatisme dan menjadi lebih inklusif.
Konflik pastinya telah turut meninggalkan residu bagi teologi, dan juga teologi pastoral. Suatu residu yang turut mempertanyakan reliabilitas teologi pastoral dalam masyarakat plural; teologi pastoral yang juga menjadikan konteks beragama sebagai konteks pastoral itu sendiri.

Konteks mana tanpa disadari membawa dan mengharuskan adanya suatu perubahan paradigmatis, termasuk dan terutama dalam teologi pastoral. Suatu paradigma yang lebih terbuka dan terlepas dari kungkungan eksklusifisme. Oleh sebab itu asumsi yang digunakan untuk membangun tulisan ini adalah perlunya suatu teologi pastoral yang ekumenikal, dalam artian lintas batas denominasi, yakni pastoral yang juga menjangkau komunitas di luar gereja. Suatu teologi pastoral religionum.

1. Kasus: “Ale bakar, beta bakar”
Bagian ini mencoba mengetengahkan sekelumit kasus dalam konflik Maluku sebagai konteks teologi pastoral. Dengan kata lain, dari kasus itu kemudian akan dilihat bagaimana teologi pastoral itu sendiri, atau apa sebetulnya teologi pastoral dalam konteks dimaksud. Kasus ini tentu merupakan penonjolan-penonjolan dalam bentuk aksi dan simbolisasi. Sebab konteks berteologi [pastoral] mengandung di dalamnya tindakan masyarakat serta pandangan hidup yang dapat dilihat dari simbol-simbol yang digunakannya. Berteologi pastoral dalam kaitan itu pula mesti melihat latarbelakang kehidupan, perbuatan, dan idiom-idom [client idioms] yang digunakan masyarakat, termasuk masyarakat plural.[2]

Acang dan Obet[3]
dalam bahasa melayu Ambon
Obet : Acang e, beta su lama seng lia ale. Ale ada bae-bae sa ka?
Acang: Iyo, abis mau biking bagumana, dong masih bakalai di mana-mana, beta su rindu pi skolah
Obet : Iyo, beta lai. Acang ee, jang katong dua baku marah lai e
Acang : Iyo, Obet

dalam bahasa Indonesia
Obet: Acang, sudah lama aku tidak melihat kamu. Apakah kamu baik-baik saja?
Acang : Iya. Bagaimana ya, masih ada konflik di mana-mana. Aku sudah rindu ke sekolah.
Obet : Aku juga. Acang, kita berdua jangan saling memarahi lagi ya
Acang : Iya, Obet

Dialog ini terjadi di antara dua anak berusia sekolah yang berbeda agama. Acang [Salam/Islam] dan Obet [Sarane/Kristen]. Mereka mempresentasikan suatu harapan akan peradamaian, yakni pulihnya hubungan persaudaraan di antara komunitas Salam-Sarene di Ambon.

Dialog mana memperlihatkan pergeseran dalam kehidupan beragama. Relasi berasma telah dipisahkan oleh perbedaan agama masing-masing. Orang tidak bisa lagi berada dalam suatu arena bersama secara simultan, karena sekat-sekat agama telah menebal dan dijadikan sebagai faktor determinan dalam menata hubungan satu sama lain. Dialog Acang dan Obet adalah menunjuk pada idiom-idiom kebudayaan dan agama yang berada pada titik transisi. Bahkan perdamaian sebagai tema bersama semua agama pun termarginalkan oleh konflik. Kemanusiaan sebagai isu mendasar dan tujuan setiap agama juga berada pada ambang keterpurukan, karena melemahnya sistem pertahanan diri masing-masing agama. Agama tidak lagi menjadi tiang moral yang menuntun pada perilaku [attitude] yang manusiawi, tetapi dijadikan alat legitimasi konflik.

Acang dan Obet merupakan representasi adanya pemisahan yang tajam dalam kehidupan masyarakat Maluku. Tradisi sosial, sebagai cerminan kehidupan masyarakat plural tereliminasi oleh emosi-emosi keagamaan yang sempit.

Donald A. Groskreutz menyebutnya sebagai suatu perkembangan dinamis dalam kehidupan personal seseorang atau sekelompok yang didasarkan pada dinamika perubahan sosial.[4] Konflik telah membawa perubahan secara gradual dalam kehidupan sosial dan agama di Maluku. Perubahan mana berpengaruh terhadap kehidupan setiap individu dan kelompok. Termasuk di dalamnya umat beragama.

Irama dan intensitas konflik akan turut berpengaruh dalam hubungan antar dan interpersonal di Maluku. Demikian pun dalam hubungan antar agama. Suatu corak kehidupan yang egaliter dan harmonis akan sulit dijumpai dalam masyarakat plural di Maluku, karena konflik telah menjadi back mind pada diri setiap orang. Ia dapat menjadi sebab “trauma” tertentu dalam memulai setiap hubungan.[5]

2. Teologi Pastoral yang Inter-religion
Konteks hubungan beragama di Maluku menantang diperlukannya suatu teologi pastoral inter-religion. Tema inter-religion telah lama dibicarakan dalam kaitan dengan missiologi. Suatu tema yang menempatkan setiap agama dalam horizon dialog dan kerjasama. Namun ia sering terganjal oleh faktor-faktor dogmatis dan fanatisme kelompok.

Untuk urusan ini, teologi pastoral tidak harus berkutat pada dokumen-dokumen agama yang verbalis, melainkan masuk ke dalam “living human documents” dan dari sana mempercakapkan persoalan kemanusiaan manusia melalui bahasa agama yang mampu mengangkat mereka.
Konteks konflik dan pluralitas di Maluku memerlukan paradigma baru dalam teologi pastoral. Di sini dialog menjadi kekuatan kunci dari teologi pastoral. Dan dialog di sini mesti benar-benar menggunakan matra bahasa agama, bukan hanya sebagai data yang harus direfleksikan, melainkan juga dievaluasi dan ditafsir untuk suatu kebutuhan pemanusiaan manusia.

Dialog yang dimaksudkan di sini adalah dialog antar-personal, dialog antar-profesional, dan/atau inter-disipliner, dengan melibatkan pula ilmu-ilmu manusiawi lainnya [geistesweissenschaften – Schleiermacher dan Dilthey]. Tentu dialog yang diharapkan adalah dialog yang menghasilkan buah [condition for fruitful dialogue], oleh sebab itu diskusinya mesti difokuskan pada masalah-masalah bersama dari sifat-sifat manusia dan menuju suatu transformasi.

Dengan dialog itu, kita menggunakan seluruh kemampuan “mendengar’ [listening skill] untuk dapat mengerti dan memasuki dunia klient, yang mungkin kebetulan berbeda agama dengan kita. Ini bertujuan untuk memahami karakter klient dan dari situ bagaimana merumuskan metode pendampingan [pastoral care] yang tepat.

Mengenai pentingnya dialog ini, Hiltner, seperti dalam Leighton M. McCutchen, telah merintis suatu model yang patut dipertimbangkan pula dalam konteks plural, yaitu bentuk “conversational” [percakapan]. Dengan itu, Hiltner, seperti dijelaskan McCutchen, memaksudkan adanya suatu “ciritical investigation” yang bertujuan untuk memahami perspektif agama atau sudut pandang personal.[6]

Dalam konteks itu, agama ditempatkan di dalam dialog antarperson, dan ia mesti menjadi bagian dari konsern gereja, tetapi juga konsern ilmu dan metodologi teologi. Sebab, teologi pastoral, dengan kekuatan dialog itu, menjangkau komunitas di dalam dan di luar gereja.

Di teologi pastoral adalah suatu perjumpaan dan percakapan [encounter and conversation]. Ia bukan lagi suatu disiplin dan norma di dalam gereja, tetapi menjangkau segmen-segmen sekuler di luar batasan gereja itu. Masuk ke dalam horizon pergaulan antar umat beragama. Namun demikian, ia masih tetap harus dibedakan dari model-model pelayanan sekuler lainnya. Suatu corak religion caring and counseling yaitu suatu relasi pelayanan interpersonal dalam perspektif yang utuh dari kehidupan manusia. Ia harus dapat membuat masyarakat terbebas atau membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang merusak, termasuk konflik itu pula.

Di dalam teologi pastoral seperti dimaksudkan tadi, maka setiap komponen agama memainkan peran kunci dalam mengembangkan dialog yang menyejukkan. Setiap relasi antar agama harus ditempatkan dalam perspektif reconciling sebagai salah satu fungsi teologi pastoral.

Clebsch secara khusus mendiskusikan fungsi ini dengan melihat bukan saja memulihkan relasi antar manusia, tetapi juga relasi beriman dengan Tuhan. Oleh sebab itu, reconciling meliputi aspek mental, spiritual, dan iman. Di dalam reconciling penting sikap “mengampuni”, dan melupakan masalah lama yang menyebabkan terjadinya suatu kondisi trauma. Demikian pun tindakan pengampunan Tuhan terhadap manusia adalah suatu proses reconciling hubungan Tuhan dengan manusia itu. Pada sisi ini, reconciling terkait dengan pengampunan dosa.[7]
Dengan begitu, teologi pastoral yang inter-religion adalah juga suatu tindakan pembebasan dan pemersatu. Ia harus menggerakkan elemen-elemen sosial lintas agama untuk mempromosikan rekonsiliasi masyarakat. Suatu hubungan harmoni yang terlepas dari beban “gelap” di masa lampau, dan bersama menata kehidupan ke masa depan dalam kerangka perdamaian dan kesetaraan.

Kepustakaan

Browning, Don S., Religious Ethics and Pastoral Care, Philadelphia: Fortress Press, 1983

Clebsch, William A. dan Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspecticve: An Essay with Exhibits, New York: Harper Torchbooks, 1967

Cobb, John B., Jr, Theology and Pastoral Care, Philadelphia: Fortress Press, 1977

Frankl, Viktor E., Man’s Search For Meaning, New York: Pocket Books, 1985

--------------------, Man’s Search for Ultimate Meaning, Cambridge: Perseus Publishing, 2000

Groskreutz, Donald A., “Modern Pastoral Theology and the Christian Tradition”, dalam The New Shape of Pastoral Theology: Essays in Honor of Seward Hiltner, edited by. William B. Oglesby, Jr, Nashvile and New York: Abingdon Press, 1969

Küng, Hans dan Karl-Josef Kuschel, Etik Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

McCutchen, Leighton M., “Dialogue in the Religious Academy”, dalam dalam The New Shape of Pastoral Theology: Essays in Honor of Seward Hiltner, edited by. William B. Oglesby, Jr, Nashvile and New York: Abingdon Press, 1969

Nouwen, Henri J.M., Pelayanan Yang Kreatif, Yogyakarta: Kanisius, 1987

Susabda, Yakub B., Pastoral Konseling, Malang: Gandung Mas, 1983

Wiryasaputra, Totok Soemartho, “New Pastoral Care Ministry in Historical Perspective and Its Practice in Indonesian Context”, Prociding Paper for Princeton Theological Seminary, Ph.D Studies Program, New Jersey, USA

[1] baca. Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel, Etik Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
[2] lht. Don S. Browning, Religious Ethics and Pastoral Care, Philadelphia: Fortress Press, 1983, h.12-13; bnd. Totok Soemartho Wiryasaputra, op.cit, h. 11-12
[3] Acang adalah nama panggilan untuk Hasan di kalangan Salam [Islam] Ambon; sedangkan Obet adalah nama panggilan untuk Robert di kalangan Sarane [Kristen] Ambon. Istilah ini mencuat dalam iklan perdamaian TV pada kurun waktu 1999.
[4] Donald A. Groskreutz, “Modern Pastoral Theology and the Christian Tradition”, dalam The New Shape of Pastoral Theology: Essays in Honor of Seward Hiltner, edited by. William B. Oglesby, Jr, Nashvile and New York: Abingdon Press, 1969, h. 63
[5] Mungkin term “logoteraphy” akan menjadi kritik tersendiri bagi orang Maluku, yakni bagaimana menarik makna dari konflik bagi kehidupan bersama. Tetapi pada sisi tertentu, konflik telah membuat sulit memisahkan dendam dalam setiap pola relasi sosial antar agama dan masyarakat. Viktor E. Frankl, Man’s Search For Meaning, New York: Pocket Books, 1985, hlm.119-121; bnd. Frankl, Man’s Search for Ultimate Meaning, Cambridge: Perseus Publishing, 2000, hlm.123
[6] Leighton M. McCutchen, “Dialogue in the Religious Academy”, dalam dalam The New Shape of Pastoral Theology: Essays in Honor of Seward Hiltner, edited by. William B. Oglesby, Jr, Nashvile and New York: Abingdon Press, 1969, h. 180-1
[7] William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspecticve: An Essay with Exhibits, New York: Harper Torchbooks, 1967, hlm.33-66

Comments

Steve Gaspersz said…
Broer, artikelnya bagus2. Sekadar usul: ada beberapa kesalahan teknis yang perlu editing sebelum posting supaya nampak lebih "manis".

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara