HERMENEUTIKA GADAMER

HERMENEUTIKA GADAMER
dalam konteks membahasa masyarakat

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella



00. Hermeneutika sebagai Pendekatan Kritik
SUDAH. Kata itu pada dirinya melukiskan suatu gerak perubahan. Menerangkan suatu peristiwa yang terjadi dalam ruang dan melintasi suatu tarikh [waktu] tertentu. Dari sisi gramatikal, ia merupakan kata keterangan, menunjuk ke waktu lampau (past), menerangkan pada genus kerja/aktivitas tertentu dan telah selesai. Aktivitas tersebut memberi hasil tertentu, yang dapat dilihat, dinikmati. Tetapi juga residu yang selalu dapat dipersoalkan plausibilitasnya. Pada sisi ini, verifikasi dan persoalan relevansi selalu menjadi bagian dari pekerjaan hermeneutik yang dibentuk dalam kerangka kritik sejarah[1] dan kritik rasional.[2] Kritik rasional akan menghadapkannya pada “kebenaran” dan “ketakbenaran” (true and false).

Mewacanakan aspek-aspek “kebenaran” dan “ketakbenaran” dalam lingkup kehidupan manusia [=sejarah] merupakan cara menerjemahkan secara empiris pengalaman sosial masyarakat, menunjuk pada hubungan-hubungan interpersonal di antara mereka. Hubungan yang dipintal melalui sistem dan simbol-simbol komunikasi. Bahasa adalah simbol yang efektif dalam komunikasi itu, dan membahasa merupakan sistem verbalis yang merangkainya menjadi satu kesatuan makna.

Sejarah, dan/atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem tadi. Di dalamnya, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain. Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general. Di sini, bahasa suatu masyarakat [native language] adalah simbol yang merepresentasi diri [self] tetapi juga karakter [nature] dan pemikiran atau pandangannya [worldview, thought, weltanschaung]. Ia memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas ujar setempat [native speaker]. Orang lain yang hendak memahaminya harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka.

Native language suatu masyarakat dapat pula mengalami polisemi, atau juga “kematian bahasa” [death of language]. Akibatnya sistem makna asali telah jauh dari kognisi komunitas ujar. Pencarian terhadapnya dapat terhalang oleh hilangnya “bahasa asli”. Kosa kata setempat ditransposisi dengan kosa kata baru dari luar yang tentu saja asing bagi komunitas setempat. Hilangnya bahasa setempat, digantikan dengan bahasa “baru” yang semula tidak dikenal komunitas ujar, atau berkembangnya bahasa serapan.

Dalam konteks tadi seorang penafsir berada dalam situasi katastrophal berhadapan dengan kerangka metodologi untuk mengungkapkan makna bahasa suatu komunitas ujar. Berarti hermeneutika menjadi metode yang signifikan, memposisikan penafsir dengan komunitas ujar di dalam suatu sistem membahasa. Gadamer memperlihatkan bahwa, usaha masuk ke dalam sistem berpikir [melalui pemahaman kebahasaan] komunitas ujar tertentu, memerlukan “kesadaran sejarah” sebagai cantolannya [starting point].

Kesadaran sejarah adalah bagian dari usaha mendalami cara-cara membahasa komunitas ujar, dengan bertanya “mengapa mereka tidak lagi membahasa dengan bahasa mereka, melainkan menggunakan bahasa baru yang semula tidak dikenalnya”. “Bagaimana memahami perilaku dan karya masyarakat yang telah kehilangan bahasa [native language] mereka?”. Di sinilah mengapa teori Gadamer dipilih sebagai tools.

01. Historical Consciousness: selalu ada “efek” sejarah
Sejak masa Dilthey, ilmu-ilmu manusiawi [geistesweissenschaften] mengalami berbagai tantangan, terutama dalam kaitan dengan aspek-aspek epistemologis, metodologis, atau suatu tantangan yang mensugestikan hal-hal ontologis dari keberadaan [struktur dasein] itu sendiri. Immanuel Kant – melalui Critique of the Pure Reason – menetapkan mathemetico-scientific mode sebagai suatu ilmu baru. Ia mentransendensikan “kebenaran” sebagai hal yang dapat diukur melalui pengetahuan yang bertumpu pada konsep pengetahuan ilmiah dan konsep ilmiah atas kenyataan. Tujuannya adalah untuk memahami “pengalaman” [erfahrung].[3]

Untuk maksud yang sama, Hegel mendasarkan asumsi “kebenarannya” sebagai hal yang ada dalam seluruh pengalaman estetik dan pada saat yang sama akan terkait dengan kesadaran sejarah.[4]

Kritik “kesadaran sejarah” yang dikemukakan Gadamer merupakan suatu usaha menafsir dan memahami sejarah atau historisitas itu sendiri. Ia melakukan suatu analisis filsafat dan sejarah yang ketat terhadap berkembangnya term ini sejak Hegel sampai penggunaannya secara teknikus oleh Dilthey.[5] Ia juga menggunakan, secara metodologis, kerangka pemikiran Kant dalam mengelaborasi konsep filsafat dan fenomenologi sejarah yang digunakan Dilthey sebagai seorang Neo-Kantian. Mempersoalkan posisi “aku” di dalam historisitas itu, sebagai bagian utuh dari apa yang disebutnya sebagai “kebenaran” [truth]. Baginya, kemengadaan “aku” adalah sesuatu yang terjadi di dalam proses sejarah. “Aku” bukan saja makhluk sejarah, seperti Dilthey dan Vico, tetapi dengan kesadaran sejarah, “self” memiliki di dalamnya dimensi universalitas, dan bahwa oleh kesadaran sejarah pula, seluruh data sejarah dimanifestasikan dalam apa yang disebut “hidup” [life], sebab di sini “hidup hanya bisa dimengerti oleh hidup”.[6]

Bagi Gadamer, berada di dalam sejarah berarti berada dengan kerangka pemikiran [worldview] dan pengetahuan [self-knowledge] yang dibentuk di dalam seluruh proses sejarah. Kritik kesadaran sejarah, sebagai sebuah kerangka kritik hermeneutis, bukanlah suatu derivasi dari kesadaran estetis, tetapi bagian dari pengetahuan manusia yang memiliki dasar-dasar koherensi dan plausibilitasnya tersendiri.

Kritik kesadaran sejarah yang dikemukakan Gadamer adalah lanjutan dari bahasannya yang ketat terhadap “self-understanding” yang dibentangkan Dilthey dalam hermeneutikanya. Dilthey berada dalam ketegangan antara hermeneutik estetis dan filsafat sejarah. Ia merasa berkewajiban menerangkan fakta yang diakuinya sebagai sebuah persoalan epistemologi, di mana pandangan sejarah selalu terkait dengan idealisme. Berbeda dengan Ranke dan Droysen yang melihat similaritas antara idealisme dan empirisme, Dilthey melanjutkannya dalam dikotomi yang mencuat secara tajam.[7]

Dilthey, seperti ditunjukkan Gadamer, masih berada di dalam kerangka filsafat Kant. Ia tentu mengembangkan mathematico-scientific modenya Kant, dengan memberi masukan baru ke dalam filsafat kritis, melihat pada aspek pengalaman sebagai sesuatu yang “verifiable discoveries”. Dengan kerangka itu pula, Dilthey melihat pada pentingnya historisitas internal yang melekat pada pengalaman; apa yang disebut pengalaman [erfahrung] yang diterima melalui pengalaman adalah suatu proses sejarah kehidupan.[8] Argumen Dilthey, menurut Gadamer, hanya menunjuk pada pengalaman dan pengalaman kembali yang terjadi secara individual, ini menjadi starting point bagi teori epistemologinya. Dengan mengelaborasi jalan kehidupan seseorang, Dilthey berharap hal itu berlaku dalam kontinyutas historis dan pengetahuan terhadapnya.[9]

Pada point itu, Dilthey lebih banyak berorientasi ke masa lampau. Sejarah dibentangkan untuk melihat sesuatu yang terjadi di belakang [past]. Pijakannya itu dinilai Gadamer sebagai kelemahan-kelemahan asumsi Dilthey, dan juga Heidegger, mengenai aspek-aspek ontologi dari dasein. Pemahaman dan kritik Gadamer terhadap hal itu tampak dalam apa yang disebutnya “fusion of horizons” [horizontsvershmelzung], di antara masa lampau, masa kini, dan masa depan, di mana kita selalu berada di dalam suatu lingkaran gerakan makna.[10]

Fusi horizon dalam apa yang dipaparkan Gadamer adalah caranya menjelaskan kaitan manusia dengan historisitasnya. Baginya, sejarah bukan saja menjadi milik kita, melainkan kita adalah milik dari sejarah. Lama sebelum kita memahami diri melalui proses pengujian yang kita buat sendiri, kita memahami diri kita di dalam suatu bukti bahwa kita adalah bagian dari keluarga, masyarakat dan negara di mana kita berada.[11]

Dari gambaran-gambaran tadi, kritik kesadaran sejarah Gadamer menjadi kunci usaha “memahami” dasar ontologi dasein. Berada di dalam sejarah, bersamaan dengan itu terjadi kritik sejarah. Aspek yang penting di sini adalah apa yang disebutnya sebagai “kehidupan” [life]. “Kehidupan” sebagai suatu kebenaran menentukan kemengadaan seseorang. Ia juga ditentukan oleh sejarah. Kehidupan memberi tipologi tertentu terhadap “self-knowledge”, istilah khas Gadamer. “Self-knowledge” adalah sesuatu yang historis. Dalam hermeneutikanya, “self-knowledge” memiliki hubungan coinside dengan “life”.

Di sini Gadamer memandang penting “tradisi” sebagai suatu kesemestaan yang ada secara ontologis bersama dengan manusia.[12] Tradisi, sebagai bagian dari bildung memiliki makna yang lebih luas dari apa yang dipahami sebagai “formation” atau “budaya” [culture]. Karena ketika dalam bahasa “bildung” diartikan sebagai sesuatu yang ada pada puncak tertinggi dan juga apa yang ada di dalam, mengalir melalui harmoni ke dalam sensibilitas dan karakter mendasar. Ia bukan hasil dari konstruksi teknis, melainkan berkembang melalui suatu proses pembentukan dan pencarian, untuk itu memiliki karakter berkelanjutan.[13]

Dengan kerangka itu, Gadamer sebetulnya mengembangkan bukan “historical consciousness”, tetapi suatu “historically effected consiousness”, sebagai kerangka lanjutan epistemologi “horizontsvershmelzung”. Ia memaksudkan bahwa terkadang di dalam sejarah dijumpai pengaruh dari tugas-tugas khusus. Sehingga sering muncul keterbatasan-keterbatasan di dalam horizon sejarah kita.

Di sini muncul pertanyaan mengenai apakah usaha kita sendiri dalam hermeneutika sejarah tidak juga dikritik. Apakah kita telah berhasil melepaskan diri dari klaim-klaim metafisik dalam refleksi filsafat kita?

Penting disadari bahwa suatu refleksi absolut akan semakin kuat dan perhatian kita mesti diarahkan ke masalah-masalah hermeneutika sejarah – daripada sekedar mengembangkan kritik dialektika Hegel – oleh sebab itu mendalami struktur dasar dari refleksi sejarah.[14] Kebenaran sejarah dan obyektifitas sejarawan tidak hanya dilihat sejuhmana ia ada di dalam sejarah, melainkan sejarah itu sebagai sumber kebenaran. Kebenaran sejarah semakin kuat dalam perlawanannya terhadap kebenaran masa lampau, dan kebenaran mengenai sejarah dapat menghancurkan masa lampau.[15]

Di situlah mengapa kritik kesadaran sejarah menjadi penting. Kesadaran tentu bukan semata suatu lintang hubungan antara subyek [historians] dengan obyek [history], atau antara manusia sebagai milik sejarah dengan event-event yang terjadi di dalam proses sejarah.

Kesadaran selalu adalah kesadaran mengenai sesuatu. Ini jelas terkait dengan “self-knowledge” dan “understanding” dalam kerangka kritik Gadamer. Kesadaran mengenai sesuatu itu berarti, apa yang ada di dalam pikiran seseorang, itulah yang menentukan perilaku dan sikapnya di dalam sejarah.

“Apa yang ada di dalam pikiranku” bukanlah suatu kenyataan yang dapat dijelaskan secara psikologis, yaitu “suatu kenyataan yang kupikirkan”. Sebaliknya, “Apa yang ada di dalam pikiranku” berada “di luar” pikiran. Ia adalah fakta konkrit, oleh sebab itu, ketika “aku berpikir”, sesuatu itu adalah abstrak bagi pikiranku. Tetapi seketika pada waktu aku bertindak, saat itulah aku membuat apa yang ku pikirkan termaterialisasikan. Antara yang kupikirkan dan perbuatanku ada korelasi yang kuat.

Kritik kesadaran sejarah menghubungkan seseorang, termasuk “life” dengan sesuatu yang berada di luarnya. Interelasi antara seseorang dengan sesuatu di luarnya itu memberi gambaran fulgar mengenai sejarah atau historisitas.

02. Bahasa Sebagai Kunci Hermeneutika Gadamer
Kerangka verstehen dan erkleren dalam tradisi hermeneutika bisa berjalan baik jika ada komunikasi. Bahasa, dalam kaitan itu tidak saja menjadi media pengungkapan diri, tetapi adalah teks yang berintensi. Ia berintensi melalui percakapan atau pembicaraan. Terjadi suatu hubungan berhadap-hadapan antara pemahaman dengan penafsiran. Perstiwa yang terjadi dalam intensi itu adalah pembicaraan [speaking] dan bersuara [giving speeches] antara seseorang dengan orang lainnya.[16] Di dalamnya terjadi pertukaran informasi dan juga penurunalihan sudut pandang atau pandangan dunia.

Teks yang berintensi berada di dalam suatu lingkungan conversation atau percakapan. Menurut Gadamer, di dalam conversation, setiap orang berusaha memahami “tingkah laku” dalam setiap percakapan. Namun terkadang kita pun gagal memahami perilaku yang tampak melalui percakapan. Akibatnya, kita cenderung berusaha membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri. Percakapan itu mengandung suatu kekuatan asali [genuine] di dalam dirinya. Ia merupakan cara mengungkapkan diri dan perilaku. Kekuatan itu muncul melalui bahasa sebagai medium yang di dalamnya terletak pemahaman dan persetujuan substantif di antara dua orang [yang bercakap-cakap].[17]

Bahasa menjadi penting dalam hermeneutika Gadamer karena percakapan adalah suatu proses verbalis. Proses verbalis itu memperlihatkan adanya dua jalur pembahasaan yang terjadi di antara dua subyek yang bercakap-cakap. Keduanya memiliki bahasa yang sama, sehingga terjadi di dalam percakapan itu komunikasi makna. Partisipan yang terlibat mentransformasikan makna satu sama lain. Tugas hermeneutik di sini menjadi mudah jika penafsir adalah orang yang berbahasa sama dengan partisipan yang bercakap-cakap tadi, atau penafsir adalah partisipan itu sendiri. Tugasnya menjadi semakin menantang, dalam kacamata Gadamer, jika ternyata penafsir adalah orang di luar lingkungan membahasa partisipan. Oleh sebab itu hermeneutika akan pertama-tama berhadapan dengan tugas “translation” [menterjemahkan]. Penerjamahan ini yang membuat Gadamer memberi peringatan mengenai kemungkinan adanya kegagalan di dalam menafsir tingkah laku orang melalui percakapan.

Aspek “translation” menjadi penting jika medium percakapan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki bahasa yang berbeda. Di sini penerjemah harus menterjemahkan maknanya agar dapat dimengerti ke dalam konteks berbahasa yang lain. Tidak berarti penerjemah bebas membuat falsifikasi makna menurut dirinya, melainkan memahami percakapan itu di dalam konteks membahasa yang baru. Apa yang kemudian disebut Gadamer sebagai kesenjangan di antara jiwa asli kata dengan reproduksi makna yang dihasilkan oleh kata-kata itu. Akibatnya proses memahami dalam kaitan itu tidak hanya terjadi di antara partisipan yang bercakap-cakap, tetapi melibatkan penerjemah dan suatu lingkungan membahasa yang baru.[18]

Struktur pemahaman bahasa bertindih rapat dengan dimensi gramatikal [pengkalimatan], sebagai unsur aritmatika dari bahasa melalui kalimat sebagai manifestasinya. Setiap kalimat “berpengertian”. Sebuah kalimat dalam percakapan juga merepresentasi perilaku. Artinya, kalimat dalam bahasa percakapan juga mengandung aspek sintaksis. Ini memungkinkan sebuah pencarian makna melalui aturan tata kalimat. Maksudnya, pengertian yang benar tergambar melalui penataan kalimat yang benar pula. Kalimat dapat pula merepresentasi suatu tata tanda [semiotik], dan darinya makna atau pengertian selalu terkait dengan sistem tanda yang dikembangkan dalam cara membahasa masyarakat.

Bahasa dalam hermeneutika Gadamer memiliki hubungan yang erat dengan kritik kesadaran sejarah. Di dalam dan melalui kritik kesadaran sejarah, terbentang perkembangan kebahasaan masyarakat, baik apa yang disebutnya “living speech” maupun “dead language”. Kedua sifat membahasa ini mengarah pada pentingnya aspek pemahaman [understanding] yang terkandung di dalam cara membahasa masyarakat, dan adalah tugas hermeneutika.[19]

Bahasa dalam kaitan itu adalah juga teks yang harus dapat melepaskan diri dan kenaifan-kenaifan, yang kemudian dianggap sebagai yang tidak berubah. Sebab dalam proses sejarah, muncul pula variente [varian-varian] membahasa yang dikaitkan pula dengan “kelupaan bahasa”, artinya kita membahasa dari suatu cara dan suatu bahasa tertentu, tetapi pada masa kemudian makna membahasa tadi dapat dilupakan. Ini yang menggejala kemudian dalam apa yang disebut bahasa baku atau bahasa formal dengan lingua franca. Memahami corak membahasa masyarakat dalam kaitan dengan aspek ini sangat membantu untuk memahami perilaku yang muncul dari membahasa itu. Sebab pada tataran hermeneutik, tidak ada argumen yang terbuka. Selalu saja ada kendala [atau kesenjangan [gap] dalam bahasa Gadamer] untuk mengaitkan bahasa dengan pertimbangan-pertimbangan semantis yang dapat mewakili penangkapan bahasa instrumental. Argumen-argumen tadi penting dibawa ke tataran ontologis berhadapan dengan historisitas, yang memang cut ke cut tidak dapat dipertahankan begitu saja.
Ini bertujuan untuk mencari konsep “genius” di dalam membahasa masyarakat sebagai hal yang fundamental bagi seorang penafsir [Hermes]. Pentingnya konsep “genius” tadi karena ia berkembang dari “popular consciousness” dan merupakan bagian dari “critical mind”. Di sini hermes atau penafsir/penerjemah, menurut Gadamer, mesti memiliki kemampuan “pure seeing” dan “pure hearing” sebagai abstraksi dogmatik yang secara artifisial dapat mereduksi suatu fenomena membahasa masyarakat.[20]

Pentingnya bahasa dalam hermeneutik Gadamer sekaligus memberi ciri pada hermeneutikanya yang kerap dikaitkan dengan aspek-aspek linguistikalitas. Bahasa bukan saja menjadi medium dalam percakapan, tetapi juga medium yang memediasi masa lalu dan masa kini dan menyediakan argumen yang kuat menantang obyektivitas ideal yang dikembangkan geisteswissenschaften.[21] Bagi Gadamer itu berarti bahasa dapat dikonstruksi dan ditetapkan dalam suatu term original yang menerangkan “sesuatu” secara memadai. Ia berkaitan dengan tanda dan fungsi [yang tergambar melalui kata], sebagai yang menunjuk pada konsep “correctness” [kebenaran, ketepatan] yang menghadirkan diri di dalam dan melalui bahasa tersebut. Dengan begitu bahasa memiliki kapasitas aktual untuk mengkomunikasikan apa yang tepat dan benar di dalam locusnya.[22]

Kritik kesadaran sejarah mengantar Gadamer melihat bahwa dalam abad ke-18 - 20, prinsip kebahasaan telah menjadi sistem panandaan yang merepresentasi suatu totalitas pengetahuan masyarakat. Bahwa dalam kaitan itu tidak hanya berkembang tanda kebahasaan yang matematis, tetapi sebuah masalah “metalanguage” yang mungkin tidak bisa dipecahkan begitu saja. Di sini penting hermeneutika yang mampu beranjak dari sekedar persoalan-persoalan univocal dan terminus teknikus di dalam bahasa. Hermeneutika yang melihat fenomena kebahasaan secara panggah, utuh, dan mendalami ke akar pengetahuan dan perilaku masyarakat yang membahasa.

03. Native Speaker yang kehilangan bahasa asli: Fenomena Membahasa dan Tugas Hermeneutik

Bagian ini merupakan semacam usaha mengimplementasi pendekatan Gadamer, dan terutama hermeneutika sebagai sebuah seni dan pendekatan untuk memahami perilaku dan sistem pengetahuan suatu masyarakat.

Core sociale yang dijadikan sebagai contoh adalah komunitas orang-orang Jazirah Leitimor di pulau Ambon.[23] Kelompok ini, kecuali orang-orang Batumerah, adalah pemeluk agama Kristen [Sarane]. Melalui sejarah keleluhuran pada masing-masing negeri, agaknya komunitas Leitimor lebih banyak memiliki hubungan dengan daerah Seram Barat. Beberapa di antaranya dengan Seram Timur, tetapi juga dengan Jawa. Dari sisi linguistikalitas dapat disimpulkan bahwa bahasa orang-orang Leitimor pada awalnya sama dengan orang-orang Seram, walau dari cabangan yang berbeda-beda.

Dari cabangan-cabangan kebahasaan di Maluku, bahasa orang-orang Ambon tergolong ke dalam rumpun bahasa Melayu Ambon. Pengguna bahasa ini tersebar di Maluku Tengah, Ambon, Haruku, Nusa Laut, Saparua, pesisir Seram dan Maluku Selatan. Terdapat 200.000 pengguna yang memakainya sebagai bahasa pertama, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.[24] Penduduk di Pulau Ambon [khususnya Leitimor] yang berbahasa secara bidialectal, yaitu menggunakan bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia dalam komunikasi mereka.[25]
Penggunaan bahasa Melayu Ambon secara meluas merupakan fakta membahasa baru di Ambon. Bahasa ibu [indigenous language] mereka telah hilang, dan hampir tidak ada orang yang bisa menyebut dengan tepat apa bahasa ibu mereka. Fenomena ini hanya ada di negeri-negeri Kristen, karena negeri-negeri Islam [Leihitu] masih membahasa dengan bahasa ibu mereka.[26]
Fenomena matinya bahasa itu disebabkan oleh beberapa faktor. David Crystal mengatakan, suatu bahasa mati jika semua pembahasanya juga mati sebagai akibat dari genocide atau bencana alam, atau pengaruh yang berdampak langsung bagi hancurnya komunitas bahasa. Adakala pula oleh perubahan budaya dan penggantian bahasa, oleh asimilasi dari suatu budaya dan bahasa dominan.[27]

Apa yang dilihat Crystal itu, yang juga dijelaskan Collins dengan membentangkan sejarah dominasi penjajahan Belanda [dan Portugis] sebagai kekuatan pengaruh signifikan bagi matinya bahasa orang-orang Leitimor [atau Kristen di Maluku pada umumnya]. Dimulai dengan penaklukan Banda pada 1621, sebagai suatu tindak penaklukan yang brutal dan tidak manusiawi. Tindakan mana berakibat pada diangkutnya orang-orang Banda untuk dipekerjakan sebagai budak di Batavia. Sebagiannya lagi menjadi pengungsi di kepulauan Kei [400 km seberang laut dari pulau Banda]. Bahwa dalam kaitan itu, komunitas ini berada di dalam suatu lingkungan membahasa yang baru, sebagai bukan lingkungan membahasa mereka.[28]

Penelusuran sejarah mengenai matinya bahasa orang-orang Leitimor akan menampilkan penyebab yang tentu berbeda pada sisi tertentu dengan apa yang terjadi atas orang-orang Banda. Dominasi budaya kolonial dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang turut menyebabkan hilangnya bahasa ibu orang-orang Leitimor. Tetapi faktor mendasar yang menyebabkan hal itu adalah gerakan “Melayunisasi” yang dibawa oleh para Missionaris Katolik dan Protestan. Kelompok ini yang memiliki kontak langsung secara mutual dengan penduduk Leitimor pada seluruh golongan umur dan status sosial.

Bahkan para missionaris yang akan datang ke Maluku dituntut untuk bisa dapat berbahasa Melayu. Pada saat mengabarkan injil di Ambon pun, mereka telah atau kemudian menterjemahkan dokumen-dokumen penginjilan ke dalam bahasa Melayu, dan itulah yang diajarkan kepada penduduk. Tidak hanya itu, komunikasi dalam lembaga pendidikan yang didirikan Zending pun menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar utama.
Pada saat itu, orang-orang Leitimor di daerah pesisir masih juga menggunakan bahasa Alune dan Wemale, sebagai bahasa yang dibawa dari Seram oleh leluhurnya. Dengan “Melayunisasi” tadi maka mereka membahasa dengan dua bahasa itu [bidialectal]. Kelompok elite negeri [Raja] dan Guru Djoemat, kemudian juga berbahasa Belanda, walau jumlahnya lebih kecil dari yang menggunakan bahasa Melayu dan Alune/Wemale. Komunitas yang berbahasa Belanda itu kemudian menempatkan diri sebagai yang “berkelas” di antara masyarakat. Akibatnya, masyarakat terkonstruksi atas kelompok yang “berbahasa elite” [Belanda] dengan “berbahasa kampung” [Alune/Wemale-Melayu Ambon].

Otomatis komunikasi di antara penduduk pun tersusun atas tingkatan membahasa. Orang-orang yang setia pada kekristenan, meninggalkan bahasa ibu mereka, dan hanya berbahasa Melayu Ambon. Bahasa ibu lalu distigmakan dengan “kekafiran”. Ini terkait dengan tindakan para penginjil yang memangkas seluruh elemen adat, termasuk bahasa ibu, karena dianggap berbau barbaris dan merepresentasi kekafiran.[29] Kelompok yang berpendidikan cenderung menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, dan bahasa Belanda sebagai bahasa pertama.

Apa yang dipaparkan itu memperlihatkan bahwa fenomena matinya bahasa di Leitimor, dalam kerangka hermeneutis, dapat menyebabkan memudarnya makna “genius” dari membahasa masyarakat itu sendiri. Mereka bukan saja mengalami gejala kelupaan bahasa, tetapi kehilangan bahasa, yang bisa berdampak pada sulitnya mendalami sistem pengetahuan dan perilaku masyarakat.

Tantangan hermeneutik dalam kaitan ini tidak saja bersifat gramatikal, tetapi sebuah tantangan semiotis dan sintagmatik. Akan sulit mendalami weltanschaung orang-orang Ambon yang telah kehilangan bahasa ibu mereka itu. Gadamer mengingatkan untuk memperhatikan aspek “ketepatan” dan “kebenaran” dalam hermeneutika bahasa. Di dalam komunitas yang bidialectal seperti orang-orang Ambon, kesulitan itu akan tampak sebagai juga sebuah masalah filsafat kebahasaan.[30]

Tentu Gadamer, melalui kritik kesadaran sejarah dan linguistikalitas, memberikan dasar-dasar metodologis dan teknikus yang koheren untuk mendalami perilaku masyarakat melalui bahasa. Walau begitu penting diingat bahwa memahami dan menafsir perilaku masyarakat melalui bahasa harus dapat menerobos tembok-tembok sejarah linguistik masyarakat. Sejarah linguistik yang sarat akan dominasi kebudayaan asing, yang meruntuhkan aspek-aspek kebahasaan setempat. Dengan demikian, apakah juga akan muncul suatu perilaku yang arbiter dari masyarakat atau sebuah perilaku yang imitatif. Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dijawab dalam pengerjaan hermeneutika secara praktis, sebagai suatu seni di dalam masyarakat.

KEPUSTAKAAN

1. Buku-buku terpublikasi:
Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003
Collins, James T., “Language death in Maluku; The impact of the VOC”, dalam Bijdragen: Journal of Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania – 159.2/3, 2003
Gadamer, Hans-Georg, “The Problem of Historical Consciousness”, dalam Interpretative Social Science: A Reader, edited by. Paul Rabinow and William M. Sullivan, Berkley: University of California Press, 1979
---------------------, Truth and Method, New York: Continuum, 1995
--------------------, “Rhetoric and Hermeneutic” [trans. by. Joel Weinsheimer], dalam Rhetoric and Hermeneutics in our time, edited by. Walter Jost & Michael J. Hyde, New Haven & London: Yale University Press, 1997
Jervolino, Domenico, The Cogito and Hermeneutics: The Question of the Subject in Ricoeur, Dordrecht-Boston-London: Kluwer Academic Publishers, 1990
Kant, Immanuel, Critique of Practical Reason, New York: The Library of Liberal Arts, 1956
Palmer, Richard, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969
----------------, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, [terj. Masnur Hery & Damanhuri Muhammed],Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Putnam, Hilary, Mind Language and Reality, London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979
Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Wachterhauser, Brice R., “Must We be What We Say? Gadamer on Truth in the Human Sciences”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wachterhauser, New York: State University of New York Press, 1986
Weinsheimer, Joel C., Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven & London: Yale Universtity Press, 1985

2. Situs/Website:
http://www.sil.org/ftp/ETHNOLOG13/AREAS/ASIA/INDM.TXT , 12 Maret 2004
Margaret Florey, “Language contact in East Nusantara – Alune”, diakses dari http://rspas.anu.edu.au/linguistics/Conferences/EastNusantara/ContactAlune.rtf , 12 Maret 2004
David Crystal, “Language Death”, diakses dari http://dannyreviews.com/h/Language_Death.html, 12 Maret 2004


[1] Hans-Georg Gadamer mengembangkan kritik sejarah (historical ciriticism) sebagai usaha mengembangkan postulat-postulat Geisesweisenschaften. Hermeneutikanya dibingkai dalam historical consciousness, yang selalu terkait dengan hakekat kemengadaan manusia di dalam lingkungan, waktu dan proses tertentu. Baca. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: Continuum, 1995, h. 231 dyb; baca juga Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven & London: Yale Universtity Press, 1985, h. 118 dyb
[2] Kritik rasional menjadi salah satu subsistem dalam kerangka kritik filsafat. Ia berkembang dalam jalur pemikiran dan teori kritis, sebagai suatu bentuk kritik yang berada pada mainline yang lain dari positivisme. Kritik rasional telah diperkenalkan Kant dan juga Plato, ketika mempersoalkan kerangka logika dalam mengamati, memahami dan menafsir obyek material. Dalam studi kebahasaan, kritik rasional mempersoalkan hal-hal “kebenaran” dan “ketakbenaran” dari percakapan atau pernyataan seseorang di masa lampau dan masa kini. Baca Hilary Putnam, Mind Language and Reality, London-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1979, Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, New York: The Library of Liberal Arts, 1956, Domenico Jervolino, The Cogito and Hermeneutics: The Question of the Subject in Ricoeur, Dordrecht-Boston-London: Kluwer Academic Publishers, 1990
[3] lht. Hans-Georg Gadamer, TM, h.98, 220
[4] ibid, h.98
[5] Gadamer mengakui tema “historical consciousness” ini dibidani oleh kerangka keilmuan di Jerman. Ia muncul dalam konteks ketika geistesweisenschaften berada dalam kerangka menuju sebuah ilmu dibayang-bayangi oleh Natural Science yang telah lama berdiri sebagai ilmu yang independen. Ia berkembang di kalangan Borjuius di Jerman yang kemudian dibentuk secara ilmiah dan digunakan dalam hermeneutika melalui Schleiermacher dan Dilthey. Lht. Gadamer, “The Problem of Historical Consciousness”, dalam Interpretative Social Science: A Reader, edited by. Paul Rabinow and William M. Sullivan, Berkley: University of California Press, 1979, h.103-105
[6] Gadamer, TM, h.229
[7] Gadamer, TM, h.218
[8] ibid, h.221
[9] ibid, h.222
[10] Brice R. Wachterhauser, “Must We be What We Say? Gadamer on Truth in the Human Sciences”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wachterhauser, New York: State University of New York Press, 1986, h.223
[11] Gadamer, TM, h.245; lht. juga Wachterhauser, “Must We be What We Say?, dalam Wachterhauser (eds.), op.cit, h.225
[12] bnd. E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, h.69;. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, h.163
[13] Gadamer, op.cit, h.10-11
[14] Gadamer, TM, h.342
[15] Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven and London: Yale University Press, 1985, h. 154
[16] Hans-Georg Gadamer, “Rhetoric and Hermeneutic” [trans. by. Joel Weinsheimer], dalam Rhetoric and Hermeneutics in our time, edited by. Walter Jost & Michael J. Hyde, New Haven & London: Yale University Press, 1997, h.57
[17] Gadamer, TM, h.383-384
[18] Gadamer, TM, h.384. Penafsiran Alkitab sesungguhnya pertama-tama berhadapan dengan fenomena ini. Ia pada awalnya bertugas menterjemahkan bahasa Semitis ke dalam lingkungan membahasa yang baru. Tugas penafsir adalah juga menterjemahkan makna bahasa itu dalam lingkungan penggunaannya yang baru, tanpa harus meninggalkan jiwa asli kata-katanya serta juga reproduksi makna dari kata-kata itu.
[19] Gadamer, op.cit, h. 385
[20] Gadamer, TM, h.91-93
[21] lht. Komentar Josef Bleicher mengenai linguistikalitas Gadamer. Baca. Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003, h. 168
[22] Gadamer, op.cit, h.410,411
[23] Masyarakat di pulau Ambon terkonstruksi secara geografis-genealogis ke dalam dua jazirah, yaitu jazirah Leihitu dan Leitimor. Dari aspek linguistik, kedua jazirah ini pun memiliki corak membahasa yang berbeda. Tidak hanya itu, tetapi dari pertemuannya dengan Kolonial [Portugis, Belanda], tampak fenomena membahasa yang juga berbeda. Orang-orang Leihitu [yang umumnya Salam/Islam] masih memelihara bahasa dan cara membahasa mereka sampai saat ini. Berbeda dengan orang-orang Leitimor yang telah mengalami “death of language”nya. Ini yang akan dijadikan kerangka pendalaman tulisan ini.
[24] Data SIL juga menunjukkan bahwa komunitas pengguna bahasa Melayu Ambon ini ada pula di Belanda [45.000], dan di USA [20-25.000], dan + 23,5.000 di berbagai negara. Lht. http://www.sil.org/ftp/ETHNOLOG13/AREAS/ASIA/INDM.TXT , 12 Maret 2004
[25] lht. Margaret Florey, “Language contact in East Nusantara – Alune”, diakses dari http://rspas.anu.edu.au/linguistics/Conferences/EastNusantara/ContactAlune.rtf , 12 Maret 2004
[26] lht. James T. Collins, “Language death in Maluku; The impact of the VOC”, dalam Bijdragen: Journal of Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania – 159.2/3, 2003, h.266
[27] lht. David Crystal, “Language Death”, diakses dari http://dannyreviews.com/h/Language_Death.html, 12 Maret 2004
[28] Collins, “Language death in Maluku”, dalam Bijdragen, h.249
[29] Hal itu pula yang menyebabkan mengapa bahasa ibu hanya digunakan pada saat penyelenggaraan ritus adat. Ia tidak lagi menjadi lingua franca, sehingga pula struktur dan kosa kata bahasa asli yang tersimpan dalam memori masyarakat Leitimor sedikit dan cenderung dicampur-baurkan dengan bahasa Indonesia atau Melayu Ambon. Misalnya dalam bagian ritus adat tertentu sering terdengar ucapan “Horomate Upu Lanite…” [sembah pada Tuhan Langit]. Kata “horomate” di sini adalah penambahan sufix “e” pada kata “hormat”. Sufix “e” memang populer dalam cara membahasa orang-orang Ambon, untuk menunjuk makna superlative pada suatu kata, seperti “Manis” menjadi “Manise”, atau “dangke” [Belanda], menjadi “dangke lai e”. Pencampuran itu merupakan sebuah tantangan baru dalam hermeneutika untuk mendalami “genius” perilaku masyarakat melalui bahasa.
[30] lebih jelas baca. Hilary Putnam, op.cit, h.1-32, 215-271

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara